Etika Politik dan Pemikiran
Boby Firman |
TAHUN 399 SM, Socrates dimasukkan ke dalam penjara dan dihadapkan
pada sidang Pengadilan Heliast yang terdiri dari warga Athena. Socrates
telah dituduh melakukan kejahatan terhadap dewa-dewa resmi Yunani
karena sengaja menolak untuk menyembahnya, dan Socrates juga dituduh
telah merusak pikiran-pikiran anak muda Athena waktu itu dengan
pemikiran-pemikirannya.
Dalam pembelaannya, Socrates telah yakin bahwa dia tidak akan dapat
lolos dari jeratan hukum karena hakim-hakim yang mengadilinya adalah
musuh-musuhnya. Dengan tuduhan-tuduhan sebagai orang yang tidak
beragama, sebagai orang yang telah mencemarkan dan merusak pikiran
anak-anak muda Athena, dan ditambah lagi dengan ramalan dari kuil Apollo
di Delphi yang menyebutkan Socrates sebagai orang yang terpandai masa
itu. Dengan alasan itulah banyak orang Athena akhirnya membenci Socrates
karena iri dengan kelebihan yang dimilikinya.
Semua tuduhan-tuduhan yang mengarah kepada Socrates itu adalah hasil
rekayasa dan fitnah dari orang-orang yang benci kepadanya. Akhirnya para
murid-murid dan teman Socrates, seperti Crito berniat untuk menyuap
beberapa pejabat lembaga pemasyarakatan supaya Socrates dapat melarikan
diri. Tetapi niat para murid dan temannya itu ditampik oleh Socrates
walaupun dia sendiri mengetahui bahwa maksud dan keingginannya itu
sangat baik untuk keselamatan dirinya sendiri.
Socrates menggangap, bahwa melarikan diri dari penjara adalah sesuatu
kejahatan terhadap negara (crime against the state), dan Socrates juga
menolak untuk menggunakan uang hanya untuk tetap bertahan hidup
(survive), walaupun untuk mendapatkan kebebasannya sungguh sangat
mustahil (mendapatkan 208 suara lawan 221 di sidang pengadilan). Mungkin
lawan-lawan Socrates telah terlebih dulu menggunakan praktek uang.
Socrates melihat sidang pengadilan ini hanya sebagai alat bagi elite
politik yang menjadi musuhnya. Mereka telah mengabaikan etika berpolitik
dan membenarkan segala macam cara, termasuk di dalamnya proses money
politics supaya tujuan-tujuannya tercapai (the end justifies the means).
Akhir cerita, Socrates mati dengan rela untuk mendidik elite politik
bahwa dalam melaksanakan proses politik dalam alam demokrasi, perlu
dipegang teguh etika politik meski hal itu mengorbankan jiwa dan
raganya. Socrates telah menjadi salah satu peletak batu pertama (the
corner stone) dalam etika politik dan ketaatan pada hukum.
Dari kisah Socrates itu dapat diambil dua buah pelajaran yang bisa
dijadikan contoh betapa mulianya perjuangan yang dilakukan Socrates,
baik perjuangan untuk membentuk dirinya sendiri maupun untuk membentuk
kepribadian bangsanya (kepribadian para penguasa dan elite politik).
Pertama, dalam hal keyakinan. Keyakinan yang dimiliki oleh seorang
Socrates akan sesuatu yang benar dan sesuai dengan kepentingan dan
kemaslahatan masyarakat banyak. Keyakinan yang bersumber kepada
kebenaran itu telah diperjuangkan dan dijadikan bagian dari hidupnya
sehingga telah membuat Socrates terbebas dan terhindar dari
kepentingan-kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Kedua, dalam hal integritas. Keyakinan yang kokoh dan telah
terefleksikan dalam kehidupan pribadi Socrates telah membuatnya menjadi
seorang yang mempunyai integritas diri yang tidak diragukan lagi.
Seseorang yang mempunyai integritas tinggi adalah orang-orang yang
dengan penuh keberanian dan berusaha tanpa kenal putus asa untuk dapat
mencapai apa yang dicita-citakan. Cita-cita yang dimiliki itu mampu
untuk mendorong diri seseorang untuk tetap konsisten dengan langkahnya.
Integritas itu juga berhubungan dengan kejujuran karena integritas ini
tidak pernah berbohong dan integritas ini akan terefleksikan di dalam
kehidupan seseorang, yaitu antara adanya kesesuaian antara kata-kata dan
perbuatan yang berujung kepada sebuah kepercayaan. Sifat inilah yang
seharusnya ada dalam diri seorang pemimpin.
Untuk menjadi seorang pemimpin, banyak kriteria dan ciri-ciri yang
dipunyai dan melekat di dalamnya, seperti sifat yang dipunyai oleh
Socrates dalam cerita diatas yaitu keyakinan dan integritas, ditambah
lagi dengan kejujuran, harus bersih dan mempunyai talenta yang telah
teruji proses kepemimpinannya baik di pemerintahan maupun di masyarakat.
Semua kriteria dan ciri itu bermuara kepada adanya sebuah norma dan
etika dalam berpolitik (moral). Norma dan etika inilah yang nantinya
akan menuntun seorang pemimpin dan menjadi petunjuk bagi masyarakat
dalam mencari seorang pemimpin yang baik dan bijaksana.
Etika Politik
Menurut Haryatmoko, etika politik ini sangat urgen sekali dalam dunia
politik karena ada tiga alasan yang mendasarinya. Pertama, betapa kasar
dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini harus merujuk kepada norma-norma moral dan
nilai-nilai hukum. Disini letak celah dimana etika politik bisa
berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan
tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan
simpati dan reaksi terusik dan protes terhadap ketidakadilan.
Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar,
jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga,
pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan
membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan
adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu
kepada etika politik.
Jadi etika politik menurut Haryatmoko yang dikutipnya dari pendapat Paul
Ricoeur, merupakan sebuah penunjuk arah menuju kehidupan yang lebih
baik, bersama dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Masalah etika politik ini sangat berhubungan erat dan harus ada dalam
diri seorang pemimpin. Mengapa masalah etika politik ini sangat penting
sekali dalam hubungannya dengan mencari seorang calon pemimpin. Ada 2
(dua) alasan penting yang mendasarinya disamping banyak lagi alasan yang
lainnya, yaitu: Pertama, seorang pemimpin merupakan panutan. Panutan
disini adalah semuanya, baik sifatnya, intelektualitas dan
pengetahuannya.
Seorang yang dijadikan panutan haruslah seorang yang mempunyai sifat
yang baik (baik dalam artian luar-dalam). Apabila pemimpin itu mempunyai
sifat yang buruk, maka institusi beserta perangkat pasti akan
ketularan. Disini berlaku prinsip patron-clien.Kedua,seorang pemimpin
merupakan penentu dan penunjuk dalam hal keberhasilan atau kegagalan
bagi institusinya yang akhirnya membawa kepada kesejahteraan atau
malapetaka bagi bawahannya beserta semua yang dipimpinnya.
Dalam mencari seorang pemimpin negara semua sifat dan kriteria pemimpin
itu harus dan wajib ada, apalagi bagi seorang pemimpin negara yang
bernama Indonesia. Untuk merubah keadaan negara kita menjadi lebih baik,
sejahtera dan lebih demokratis, figur seorang pemimpin sangat
menentukan sekali. Mudah-mudahan Presiden dan Wakil Presiden kita yang
baru bisa mempunyai semua sifat yang dipersyaratkan tersebut. Semoga.
****
Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil
Pada Lingkup Pemerintah Kota Padang