Merajut Komunikasi
H. Emzalmi |
Alkisah, di zaman lalu ada seorang pria yang ingin membeli seorang budak. Ia tertarik pada seorang budak yang tampak sehat tiada cacat. Sayangnya, si penjual mengatakan ada satu kekurangan pada budak itu yakni gemar menghasut. Tetapi peringatan itu tak dihiraukan pria itu, budak tersebut tetap dibelinya dan dibawanya ke rumah dengan sukacita.
Tak berapa lama bekerja, sang budak berkata pada istri majikannya, bahwa ia melihat gelagat tuannya yang akan menikah lagi. Budak itu terus menghasut,
“Itu semua dilakukan tuan karena ia tidak lagi mencintai nyonya”.
Si istri panik, merasa takut kehilangan suaminya lalu mulai terisak menangis. Melihat itu, si budak penghasut tersenyum sembari kembali berkata,“Janganlah nyonya cemas, kalau tak ingin tuan meninggalkan nyonya maka saat tuan terlelap tidur, ambillah beberapa helai bulu di bagian wajahnya dengan pisau cukur. Simpanlah, maka tuan pasti bakal mengurungkan niatnya.”
Tatkala bersua tuan majikannya, si budak berbisik-bisik mengatakan agar tuannya senantiasa waspada,“Nyonya akan membunuh tuan dengan pisau cukur begitu tuan terlelap tidur. Kalau tuan tak percaya, cobalah pura-pura tidur malam ini.”
Benar saja, ketika tidur malam, pria itu melihat sang istri mengendap-endap membawa pisau cukur mendekati wajahnya. Ia bergegas bangun sembari merebut pisau dari tangan istrinya. Sempat terjadi pergumulan yang tak berimbang dan berlangsung cepat. Kejadian berikut yang diingat si pria hanyalah tangannya menggenggam pisau cukur berlumur warna merah. Sementara sang istri terkapar tak bernyawa.
Kisah di atas memang membawa pesan untuk berhati-hati terhadap seorang pengadu domba. Alamat celaka yang didapat bila kesimpulan diambil hanya berdasar emosi yang didapat dari sebelah pihak.
Kejadian tragis tersebut, tentu tidak akan terjadi manakala sang suami atau sang istri saling berkomunikasi baik-baik, menelusuri kebenaran informasi yang diperoleh dari si budak.
Bangsa ini juga sempat terpecah akibat politik adu domba yang dijalankan penjajah Belanda. Namun perlu disadari, bahwa hasutan atau adu domba tersebut tak akan berhasil, manakala selalu dilakukan komunikasi. Selalu melakukan cek dan ricek terhadap informasi miring yang diterima.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kisah di atas terjadi pula dalam peristiwa-peristiwa di sekitar kita, bahkan tak jarang juga menghampiri kita. Coba perhatikan, jamak media menyiarkan berita pembunuhan, perkelahian, KDRT dan kriminal lainnya yang kalau direnungkan sesungguhnya berawal dari miskomunikasi, tidak ada keterus-terangan, kurangnya dialog antara kedua pihak.
Yang menjadi cukup ganjil, adalah apabila kasus-kasus seperti itu melanda negeri Minangkabau. Padahal, falsafah bahwa urang awak selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat sudah semenjak dulu berurat berakar dalam tatanan sosial masyarakat. Mulai dari etika berkata-kata, apa yang patut dikatakan, sampai siapa saja yang berhak memutuskan mufakat, semuanya diatur dalam adat kita.
Itulah sebabnya, bangsa Minangkabau dikenal sangat menghargai pendapat orang lain. Bila ada sengketa diselesaikan dengan bermusyawarah, bila ada masalah didialogkan secara kekeluargaan. Artinya adat berkomunikasi bagi orang minang sudah mentradisi dan jadi makanan sehari-hari.
Bukalah kembali lembaran sejarah Negara. Di masa perjuangan kemerdekaan RI, kita akan menemukan sederet nama orang Minang yang lihai merajut komunikasi seperti Mohammad Hatta, KH Haji Agus Salim, Tan Malaka, Syahrir, Buya Hamka, M.Yamin, Mohammad Natsir, Abdul Muis, Rohana Kudus dan banyak lainnya. Mereka berjuang dengan mengedepankan dialog, berdiplomasi, berceramah agama serta melalui tulisan-tulisan, baik tulisan artikel yang tajam maupun sastra yang menyentil seperti puisi, cerpen dan novel.
Tetapi, miris juga hati kita. Akhir-akhir ini marak terjadi penganiayaan, perkelahian, pergaulan bebas, kekerasan di sekolah dan rumah tangga hingga kecanduan narkoba dan penyalahgunaan lem dikalangan remaja dan pelajar kita. Dari data Badan Narkotika Nasional Sumbar bahwa pasien yang dirawat akibat kecanduan menghirup lem di RSJ HB Sa’anin Padang sebesar ¬+60%. Dan seluruh pasien itu berasal dari kalangan remaja dan pelajar kita, para generasi penerus bangsa.
Banyak lagi kasus-kasus yang tanpa disadari berlangsung di hadapan kita hanya akibat putusnya tali komunikasi. Sikap tidak mau peduli terhadap kondisi sekitar seakan tumbuh subur dan menjangkiti tatanan sosial kita. Menurut hemat saya, keluarga merupakan benteng pertahanan terbaik dalam menghadapi berbagai permasalahan. Para orang tua hendaknya kembali menghidupkan suasana keakraban dengan anggota keluarga lainnya. Hidupkan kembali sholat magrib berjamaah dengan ayah sebagai imam, makanlah bersama dengan diskusi-diskusi seputar permasalahan anak. Sehingga anak-anak tidak mencari pelarian kepada hal-hal yang negatif, diluar sepengetahuan orang tua.
Guru-guru di sekolah hendaknya juga memperhatikan perkembangan anak murid dengan lebih seksama. Bila ada menemukan kejanggalan-kejanggalan pada anak murid, dapat membicarakannya dengan baik tanpa memunculkan perasaan takut dalam diri anak, sehingga sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak benar-benar dapat tercipta.
Kepada tokoh masyarakat, agama, adat dan pemuda mari bersama bahu membahu untuk mengawasi dan menegur bila menemui keganjilan di lingkungan kita. Semarakkan kembali kegiatan-kegiatan remaja masjid, diskusi-diskusi kelompok memecahkan permasalahan sekitar. Karena dengan merajut komunikasi berarti kita telah menjalin rasa serta menutup pintu dari kesalahpahaman serta mengokohkan hubungan dalam keluarga dan lingkungan kita.)***wassalam