Memaknai Hari Pahlawan Tanpa Harus Jadi Pahlawan "kesiangan"
10 November 1945 diperingati sebagai hari pahlawan. Yang mana dengan segala perjuangan dan tetes darah yang mengucur dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dari serangan pasukan sekutu di kota Surabaya kala itu.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Sepatutnya kita sebagai warga Negara, wajib menghormati dan menghargai tiap tetes keringat dan darah yang mengucur dari para pahlawan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Namun sayangnya makna pahlawan saat ini bertolak belakang dengan segala perjuangan pahlawan dahulu. Pejuang dahulu sangat gigih memperjuangkan Hak rakyat Indonesia untuk menghirup kemerdekaan tanpa intervensi penjajah.
Saat ini banyak orang yang bertindak selayaknya pahlawan dengan segala bentuk “pencitraan” diri, dengan kata lain menjadi “Pahlawan kesiangan”. Mereka berebut menjadi pahlawan dengan alasan “demi kepentingan rakyat dan Negara”, namun dibalik semua itu hanyalah “retorika” dengan kata lain “lips service”.
Dengan segala kekuatan politik yang mereka punyai baik di parlemen, birokrasi dan yudikasi, sepatutnya mereka wajib menjadi “pahlawan sebenarnya”, bukan menjadi “pahlawan kesiangan”, dengan berteriak “demi kepentingan rakyat Indonesia”.
Rasanya cukup sudah bagi kami “kaum marjinal” ini mendengar, melihat pertempuran demi kepentingan kelompok. Jangan jual nama rakyat, seolah-olah orang-orang berintelektual tinggi ini memang ingin menjadi pahlawan yang membela segala kepentingan rakyat.
Berhentilah menjadi “sok Pahlawan” bagi kami, yang dibutuhkan saat ini bukanlah “pahlawan kesiangan”, tetapi benar-benar menjadi pahlawan sesungguhnya dengan memperjuangkan segala hak dan kepentingan rakyat dan Negara tercinta Indonesia.
Penulis : Dicky Osmond
Wapemred www.dirgantaraonline.com
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Sepatutnya kita sebagai warga Negara, wajib menghormati dan menghargai tiap tetes keringat dan darah yang mengucur dari para pahlawan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Namun sayangnya makna pahlawan saat ini bertolak belakang dengan segala perjuangan pahlawan dahulu. Pejuang dahulu sangat gigih memperjuangkan Hak rakyat Indonesia untuk menghirup kemerdekaan tanpa intervensi penjajah.
Saat ini banyak orang yang bertindak selayaknya pahlawan dengan segala bentuk “pencitraan” diri, dengan kata lain menjadi “Pahlawan kesiangan”. Mereka berebut menjadi pahlawan dengan alasan “demi kepentingan rakyat dan Negara”, namun dibalik semua itu hanyalah “retorika” dengan kata lain “lips service”.
Dengan segala kekuatan politik yang mereka punyai baik di parlemen, birokrasi dan yudikasi, sepatutnya mereka wajib menjadi “pahlawan sebenarnya”, bukan menjadi “pahlawan kesiangan”, dengan berteriak “demi kepentingan rakyat Indonesia”.
Rasanya cukup sudah bagi kami “kaum marjinal” ini mendengar, melihat pertempuran demi kepentingan kelompok. Jangan jual nama rakyat, seolah-olah orang-orang berintelektual tinggi ini memang ingin menjadi pahlawan yang membela segala kepentingan rakyat.
Berhentilah menjadi “sok Pahlawan” bagi kami, yang dibutuhkan saat ini bukanlah “pahlawan kesiangan”, tetapi benar-benar menjadi pahlawan sesungguhnya dengan memperjuangkan segala hak dan kepentingan rakyat dan Negara tercinta Indonesia.
Penulis : Dicky Osmond
Wapemred www.dirgantaraonline.com