FKI-1 Desak KPK Tindaklanjut Kasus Dugaan Korupsi KUD Talu Bank Nagari
D'On, Jakarta- Ditolaknya laporan Dewan Pimpinan Provinsi Fornt Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, tentang dugaan kasus korupsi yang ada di Bank Nagari, akhirnya ditindaklanjuti ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh FKI-1 pusat.
Alasan ditolaknya laporan FKI-1 Sumbar tersebut, menurut Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Barat, dalam suratnya yang bernomor : B-3442/N.3.5/Fd.1/12/2016 perihal Pemberitahuan tindak lanjut atas laporan/ pengaduan dugaan Tipikor di Bank Nagari, bahwa dugaan kasus yang dilaporkan oleh DPP FKI-1 Sumatera Barat sudah daluarsa.
Berdasarkan penolakan oleh Kejati tersebut, maka Dewan Pimpinan Provinsi Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Sumbar, menyerahkan kasus dugaan korupsi di Bank Nagari tersebut kepada Dewan Pimpinan Pusat FKI-1 di Jakarta, agar mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi ke Kejaksaan TInggi Sumatera Barat.
Menurut kata Rico Adi Utama, selaku Ketua DPP FKI-1 Sumbar, prosedur pelaporan sudah kami lakukan bahkan laporan ke Kejati sudah melebih 60 hari, yakni batas yang sudah diperbolehkan untuk tindakan supervisi.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Rico, alasan daluarsa oleh kejati Sumbar dalam kasus dugaan korupsi KUD Talu Bank Nagari yang dilaporkan oleh lembaganya, sangatlah tidak beralasan. Sebab seperti yang di diketahui, bahwa tinda pidana korupsi (Tipikor) merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka sudah seharusnya penanganan tipikor tersebut dengan cara yang luar biasa pula.
“Dalam Pasal 78 KUHP, bahwa daluarsa adalah tergantung pada tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan. FKI-1 melihat dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang kami laporkan, adalah kejahatan yang serius, karena disinyalir merugikan Negara dan perekonomian daerah. Pasal 3 Undang-undang Tipikor yang menyebutkan, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar. Artinya kasus yang kami laporkan diyakini belum daluwarsa, karena tuntutannya bisa 20 tahun dan kasus tersebut dalam waktu berjalan, belum sampai 20 tahun. Intinya masih bisa ditangani,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Rico, “kasus dugaan korupsi di Bank Nagari yang kami laporkan tersebut, berkemungkinan besar dapat dijerat dalam hukuman yang maksimal, apalagi dalam kami laporkan bukan hanya tipikor, tetapi juga berpotensi tindak pidana perbankan. Jadi untuk hal ini kami sangat menyayangkan apa yang sudah dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat terhadap laporan dugaan kasus korupsi ini. Untuk itulah laporan ini kami serahkan kepada Pimpinan Pusat FKI-1, agar mendesak KPK untuk mensupervisi Kejati Sumbar” jelas Rico Adi Utama.
Sementara itu Julian Manurung, Ketua Umum FKI-1 di Jakarta, menegaskan bahwa setelah menerima pelimpahan berkas dari FKI-1 Sumatera Barat ini, pihaknya akan menindak lanjuti berkas tersebut dan mendesak agar KPK melakukan supervisi ke Sumatera Barat atas dugaan kasus yang ada di Bank Nagari.
Menurut Julian, “Jika dilihat dari pengertiannya, kewenangan KPK untuk melakukan supervisi diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal tersebut, dijelaskan mengenai pengambilalihan penyidikan perkara oleh KPK dari Kejaksaan mau pun Kepolisian” ucap Julian.
Disamping itu, menurut Julian, dalam Pasal 9 huruf (d) UU KPK juga disebutkan bahwa KPK berhak mengambil alih penyidikan, apabila penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Sebelumnya dugaan korupsi kredit fiktif di Bank Nagari, merupakan penyaluran kredit kepada KUD Talu yang bekerjasama dengan PT. Agrosari Merapi. Pemberian kredit tersebut sejatinya diperuntukan untuk membeli lahan kebun kopi arabika yang dibiayai langsung oleh Bank Nagari cabang Simpang Empat Kabupaten Pasaman pada tahun 1999. Namun dalam perjalanannya kredit ini mengalami kemacetan hingga Bank Nagari dirugikan sebesar 11 miliar lebih.
Banyak terjadi kejanggalan-kejanggalan terhadap penyeluran kredit tersebut, seperti lahan yang dijadikan agunan kebun kopi ternyata hanya semak belukar yang sama sekali tidak jelas fungsinya. Selanjutnya nilai dari angunan hanya berkisar 2,6 miliar, sedangkan kredit yang dikucurkan mencapai 11 miliar lebih. Diduga kuat penyaluran kredit ini merupakan akal-akalan dari oknum pejabat Bank Nagari (Yondrival-red) dengan direksi lainnya yang menjabat kala itu.
Dugaan ini diperkuat dengan pernyataan Yondrival sendiri kepada media ini, Rabu (28/6/2016) lalu, bahwa kredit KUD talu ini melibatkan banyak pihak, bahkan Yondrival siap membeberkan semua yang terlibat jika kasus ini memasuki ranah hukum. (mond/rul)
Alasan ditolaknya laporan FKI-1 Sumbar tersebut, menurut Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Barat, dalam suratnya yang bernomor : B-3442/N.3.5/Fd.1/12/2016 perihal Pemberitahuan tindak lanjut atas laporan/ pengaduan dugaan Tipikor di Bank Nagari, bahwa dugaan kasus yang dilaporkan oleh DPP FKI-1 Sumatera Barat sudah daluarsa.
Berdasarkan penolakan oleh Kejati tersebut, maka Dewan Pimpinan Provinsi Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Sumbar, menyerahkan kasus dugaan korupsi di Bank Nagari tersebut kepada Dewan Pimpinan Pusat FKI-1 di Jakarta, agar mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi ke Kejaksaan TInggi Sumatera Barat.
Menurut kata Rico Adi Utama, selaku Ketua DPP FKI-1 Sumbar, prosedur pelaporan sudah kami lakukan bahkan laporan ke Kejati sudah melebih 60 hari, yakni batas yang sudah diperbolehkan untuk tindakan supervisi.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Rico, alasan daluarsa oleh kejati Sumbar dalam kasus dugaan korupsi KUD Talu Bank Nagari yang dilaporkan oleh lembaganya, sangatlah tidak beralasan. Sebab seperti yang di diketahui, bahwa tinda pidana korupsi (Tipikor) merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka sudah seharusnya penanganan tipikor tersebut dengan cara yang luar biasa pula.
“Dalam Pasal 78 KUHP, bahwa daluarsa adalah tergantung pada tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan. FKI-1 melihat dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang kami laporkan, adalah kejahatan yang serius, karena disinyalir merugikan Negara dan perekonomian daerah. Pasal 3 Undang-undang Tipikor yang menyebutkan, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar. Artinya kasus yang kami laporkan diyakini belum daluwarsa, karena tuntutannya bisa 20 tahun dan kasus tersebut dalam waktu berjalan, belum sampai 20 tahun. Intinya masih bisa ditangani,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Rico, “kasus dugaan korupsi di Bank Nagari yang kami laporkan tersebut, berkemungkinan besar dapat dijerat dalam hukuman yang maksimal, apalagi dalam kami laporkan bukan hanya tipikor, tetapi juga berpotensi tindak pidana perbankan. Jadi untuk hal ini kami sangat menyayangkan apa yang sudah dilakukan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat terhadap laporan dugaan kasus korupsi ini. Untuk itulah laporan ini kami serahkan kepada Pimpinan Pusat FKI-1, agar mendesak KPK untuk mensupervisi Kejati Sumbar” jelas Rico Adi Utama.
Sementara itu Julian Manurung, Ketua Umum FKI-1 di Jakarta, menegaskan bahwa setelah menerima pelimpahan berkas dari FKI-1 Sumatera Barat ini, pihaknya akan menindak lanjuti berkas tersebut dan mendesak agar KPK melakukan supervisi ke Sumatera Barat atas dugaan kasus yang ada di Bank Nagari.
Menurut Julian, “Jika dilihat dari pengertiannya, kewenangan KPK untuk melakukan supervisi diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal tersebut, dijelaskan mengenai pengambilalihan penyidikan perkara oleh KPK dari Kejaksaan mau pun Kepolisian” ucap Julian.
Disamping itu, menurut Julian, dalam Pasal 9 huruf (d) UU KPK juga disebutkan bahwa KPK berhak mengambil alih penyidikan, apabila penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Sebelumnya dugaan korupsi kredit fiktif di Bank Nagari, merupakan penyaluran kredit kepada KUD Talu yang bekerjasama dengan PT. Agrosari Merapi. Pemberian kredit tersebut sejatinya diperuntukan untuk membeli lahan kebun kopi arabika yang dibiayai langsung oleh Bank Nagari cabang Simpang Empat Kabupaten Pasaman pada tahun 1999. Namun dalam perjalanannya kredit ini mengalami kemacetan hingga Bank Nagari dirugikan sebesar 11 miliar lebih.
Banyak terjadi kejanggalan-kejanggalan terhadap penyeluran kredit tersebut, seperti lahan yang dijadikan agunan kebun kopi ternyata hanya semak belukar yang sama sekali tidak jelas fungsinya. Selanjutnya nilai dari angunan hanya berkisar 2,6 miliar, sedangkan kredit yang dikucurkan mencapai 11 miliar lebih. Diduga kuat penyaluran kredit ini merupakan akal-akalan dari oknum pejabat Bank Nagari (Yondrival-red) dengan direksi lainnya yang menjabat kala itu.
Dugaan ini diperkuat dengan pernyataan Yondrival sendiri kepada media ini, Rabu (28/6/2016) lalu, bahwa kredit KUD talu ini melibatkan banyak pihak, bahkan Yondrival siap membeberkan semua yang terlibat jika kasus ini memasuki ranah hukum. (mond/rul)