Gross Split Lebih Baik untuk Mewujudkan Energi Berkeadilan di Indonesia
D'On, Jakarta- Demi mewujudkan energi yang berkeadilan di Indonesia, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan skema Gross Split, untuk
perhitungan bagi hasil kontrak pengelolaan wilayah kerja Minyak dan Gas
Bumi (Migas) di Indonesia. Skema Gross Split adalah skema dimana
perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara Pemerintah
dan Kontraktor Migas di perhitungkan dimuka. Melalui skema Gross Split,
Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara menjadi lebih
pasti. Negara pun tidak akan kehilangan kendali, karena penentuan
wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil
masih ditangan Negara. Oleh karenanya, penerapan skema ini diyakini akan
lebih baik dari skema bagi hasil sebelumnya.
Bagaimana perhitungan Skema Gross Split? Perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase Base Split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor. Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya. Hal ini membuat skema Gross Split menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan lebih besar.
Lalu apa yang membedakan skema Gross Split dengan skema Cost Recovery yang selama ini berlaku?
Tren cost recovery relatif meningkat tiap tahun. Cost recovery pada tahun 2010 sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014. Meskipun berdasarkan data tahun 2015 dan 2016 (unaudited), besaran cost recovery sempat menurun menjadi US$ 13,7 miliar dan US$ 11,5 miliar akibat rendahnya harga minyak dunia. Pada tahun 2016, penerimaan migas bagian Pemerintah hanya sebesar US$ 9,9 miliar atau lebih rendah dibanding cost recovery yaitu sekitar US$ 11,4 miliar. Kondisi lebih besarnya cost recovery dibanding penerimaan bagian negara terjadi sejak tahun 2015.
Oleh karenanya, dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab Kontraktor. Semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya semakin baik.
Peraturan terkait Gross Split
Untuk mendukung penerapan sistem bagi hasil ini, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil Gross Split. Permen ini menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Bagi Hasil yang memuat persyaratan antara lain: kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; modal dan risiko seluruhnya ditanggung Kontraktor; serta pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas. Ini sekaligus menghilangkan kekhawatiran hilangnya peran SKK Migas setelah diterapkannya Kontrak Bagi Hasil Gross Split. SKK Migas masih akan mengawasi pengajuan Plan of Development (POD), peningkatan lifting migas, keselamatan kerja migas, termasuk tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) serta pengawasan terhadap tenaga kerja dan asset-aset. Dengan semakin fokusnya tugas dan fungsi SKK migas, maka business process bagi para kontraktor (KKKS) pun akan lebih cepat. Disamping itu, Permen tentang Gross Split tersebut juga sudah mengantisipasi rendahnya harga minyak, sehingga rendahnya harga minyak bukan menjadi kendala untuk bereksplorasi.
Saat ini, kontrak wilayah kerja yang menerapkan skema Gross Split adalah Kontrak Wilayah Kerja (WK) Offhore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). Penerapan Skema Gross Split akan difokuskan kepada Kontrak WK perpanjangan dan Kontrak WK baru, sehingga kontrak WK yang masih berjalan tetap dihormati hingga waktu kontrak berakhir. (***)
Bagaimana perhitungan Skema Gross Split? Perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase Base Split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor. Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya. Hal ini membuat skema Gross Split menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan lebih besar.
Lalu apa yang membedakan skema Gross Split dengan skema Cost Recovery yang selama ini berlaku?
Tren cost recovery relatif meningkat tiap tahun. Cost recovery pada tahun 2010 sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014. Meskipun berdasarkan data tahun 2015 dan 2016 (unaudited), besaran cost recovery sempat menurun menjadi US$ 13,7 miliar dan US$ 11,5 miliar akibat rendahnya harga minyak dunia. Pada tahun 2016, penerimaan migas bagian Pemerintah hanya sebesar US$ 9,9 miliar atau lebih rendah dibanding cost recovery yaitu sekitar US$ 11,4 miliar. Kondisi lebih besarnya cost recovery dibanding penerimaan bagian negara terjadi sejak tahun 2015.
Oleh karenanya, dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab Kontraktor. Semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya semakin baik.
Peraturan terkait Gross Split
Untuk mendukung penerapan sistem bagi hasil ini, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil Gross Split. Permen ini menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Bagi Hasil yang memuat persyaratan antara lain: kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; modal dan risiko seluruhnya ditanggung Kontraktor; serta pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas. Ini sekaligus menghilangkan kekhawatiran hilangnya peran SKK Migas setelah diterapkannya Kontrak Bagi Hasil Gross Split. SKK Migas masih akan mengawasi pengajuan Plan of Development (POD), peningkatan lifting migas, keselamatan kerja migas, termasuk tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) serta pengawasan terhadap tenaga kerja dan asset-aset. Dengan semakin fokusnya tugas dan fungsi SKK migas, maka business process bagi para kontraktor (KKKS) pun akan lebih cepat. Disamping itu, Permen tentang Gross Split tersebut juga sudah mengantisipasi rendahnya harga minyak, sehingga rendahnya harga minyak bukan menjadi kendala untuk bereksplorasi.
Saat ini, kontrak wilayah kerja yang menerapkan skema Gross Split adalah Kontrak Wilayah Kerja (WK) Offhore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). Penerapan Skema Gross Split akan difokuskan kepada Kontrak WK perpanjangan dan Kontrak WK baru, sehingga kontrak WK yang masih berjalan tetap dihormati hingga waktu kontrak berakhir. (***)