Hadapi “Hoax”, Seskab : Harus Ada Literasi Media
D'On, Jakarta- Bangsa Indonesia perlu terus-menerus melakukan literasi media, yang memberikan ruang dan kesempatan kepada media, para pelaku, dan pengguna media untuk mengalami proses pendewasaan diri. Hal ini penting untuk menghadapi maraknya berita-berita kebohongan, kemarahan, sarkasme, dan hoax. Dimana masyarakat dapat dengan mudah meneruskan, men-twist dan mempercayai berita tersebut. Hal ini diungkapkan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung saat ditanya tentang peran pers Indonesia dalam rangka Hari Pers Nasional Tahun 2017, di Ruang Kerja Sekretaris Kabinet, Jakarta.
“Harus ada literasi media, membuat masyarakat juga, ada yang namanya Swasensor. Sehingga perlu masyarakat juga memahami tentang berita itu benar atau salah, berita itu mempunyai makna atau tidak,” tegas Seskab, Pramono Anung.
Literasi media, menurut Seskab akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam memanfaatkan, membaca, dan menggunakan informasi yang diperoleh dari media.
“Sehingga dengan demikian, ini juga menjadi tanggung jawab bersama, sebab kalau hoax kemudian ditelan mentah-mentah oleh publik, ini membahayakan dalam kehidupan kita,” tambah Seskab.
Meski demikian, Seskab menyakini bahwa nantinya masyarakat akan jenuh saat berita-berita yang palsu, hoax, dan tidak benar ini mendominasi kehidupan. Seperti halnya, tren di Eropa di mana masyarakatnya mulai mengurangi penggunaan media sosial, karena sudah mulai jenuh.
Untuk menghadapi beredarnya informasi hoax, Seskab menegaskan perlunya menumbuhkan dan mengembangkan kultur dan budaya Indonesia. Salah satunya dengan mendorong perlunya pemantapan ideologi Pancasila, Dewan Kerukunan Nasional, dan hal yang berkaitan dengan bela negara.
“Untuk menumbuhkan, membangkitkan, menimbulkan rasa kecintaan terhadap negara itu menjadi sangat penting. Sebab serbuan sosial media ini, jujur saya harus katakan bahwa, majority itu membawa masuk budaya luar ke dalam budaya kita, sehingga harus ada tameng, harus ada persiapan di dalam diri bangsa itu sendiri, anak-anak bangsa itu,” tambah Seskab.
Ke depan, menurut Seskab, kebebasan media dan media sosial tidak lagi menjadi ancaman atau kelemahan bagi Indonesia. Bahkan media sosial bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan (opportunity). Dalam konteks prioritas pembangunan nasional, Seskab juga mengajak media berperan aktif dalam menyebarkan, dan menyampaikan apa yang sudah dilakukan pemerintah, sekaligus informasi tentang ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih terjadi.
“Sehingga dengan demikian ada masukan dari pers atau dari media, pemerintah bisa mengambil langkah-langkah, sehingga ada pertemuan ataupun kesesuaian antara apa yang dibangun oleh media dan juga apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah,” pungkas Seskab di akhir wawancaranya. (stk)
“Harus ada literasi media, membuat masyarakat juga, ada yang namanya Swasensor. Sehingga perlu masyarakat juga memahami tentang berita itu benar atau salah, berita itu mempunyai makna atau tidak,” tegas Seskab, Pramono Anung.
Literasi media, menurut Seskab akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam memanfaatkan, membaca, dan menggunakan informasi yang diperoleh dari media.
“Sehingga dengan demikian, ini juga menjadi tanggung jawab bersama, sebab kalau hoax kemudian ditelan mentah-mentah oleh publik, ini membahayakan dalam kehidupan kita,” tambah Seskab.
Meski demikian, Seskab menyakini bahwa nantinya masyarakat akan jenuh saat berita-berita yang palsu, hoax, dan tidak benar ini mendominasi kehidupan. Seperti halnya, tren di Eropa di mana masyarakatnya mulai mengurangi penggunaan media sosial, karena sudah mulai jenuh.
Untuk menghadapi beredarnya informasi hoax, Seskab menegaskan perlunya menumbuhkan dan mengembangkan kultur dan budaya Indonesia. Salah satunya dengan mendorong perlunya pemantapan ideologi Pancasila, Dewan Kerukunan Nasional, dan hal yang berkaitan dengan bela negara.
“Untuk menumbuhkan, membangkitkan, menimbulkan rasa kecintaan terhadap negara itu menjadi sangat penting. Sebab serbuan sosial media ini, jujur saya harus katakan bahwa, majority itu membawa masuk budaya luar ke dalam budaya kita, sehingga harus ada tameng, harus ada persiapan di dalam diri bangsa itu sendiri, anak-anak bangsa itu,” tambah Seskab.
Ke depan, menurut Seskab, kebebasan media dan media sosial tidak lagi menjadi ancaman atau kelemahan bagi Indonesia. Bahkan media sosial bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan (opportunity). Dalam konteks prioritas pembangunan nasional, Seskab juga mengajak media berperan aktif dalam menyebarkan, dan menyampaikan apa yang sudah dilakukan pemerintah, sekaligus informasi tentang ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih terjadi.
“Sehingga dengan demikian ada masukan dari pers atau dari media, pemerintah bisa mengambil langkah-langkah, sehingga ada pertemuan ataupun kesesuaian antara apa yang dibangun oleh media dan juga apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah,” pungkas Seskab di akhir wawancaranya. (stk)