Leo Tolstoy Beritakan Cinta Tanpa Kekerasan
Seperti itukah dia pada depresi diri dunianya, ketika semua hal seakan sulit dibedakan, sebab tujuan telah membawanya pada ruang muskil realisme keindahan teramat filosofis di setiap titik, koma dan tanda petik kalimatnya.
Di setiap cerita dalam kisah panjang hidupnya, meski dia akhirnya sendirian setelah memberitakan cinta tanpa kekerasan, berakhir hidupnya di stasiun kereta Astapovo-Rusia, bersama pneumonia, akhir dari aristokratnya, Leo Tolstoy (1828-1910) wafat pada usia 82 tahun.
Akhir dari suatu perjalanan kisah anti kekerasan, akhir dari cerita pendek dan karya-karya novelnya, War and Peace (1869), Anna Karenina (1877). Puncak fiksi realis susastra negerinya, mendunia.
Tolstoy, bukan penulis penuh bahasa bunga dalam kepura-puraan, menyembunyikan kalimat hitam dibalik kepalsuan, pada kesombongan kata-kata seakan tulus diindahkan seraya berslogan.
Dialah penulis realisme zamannya, tetap terdepan sebuah pelajaran susastra. Kini memang tak lagi dulu, perjalanan tak pernah ada akhir di ujung pena waktu, meski hulu ke hilir telah menjadi perjalanan mata air ke sungai-sungai menuju lautan lepas.
Semoga kata tulus, kini, tak sekadar menjadi kepura-puraan, sembunyi tangan melempar batu atau sebaliknya, menjadi peribahasa pola laku jungkir balik di persembunyian kepribadian kelam absurd kecongkakkan perilaku, akhir dari tujuan melipat pisau menyobek hati, sebab khianat pada kata-kata sendiri.
Berhentilah bergunjing. Berteriak-teriak kian kemari, seakan mempesona dalam kisah imaji palsu cerita semu. Berhentilah membanggakan diri hanya karena pujian pelepas ketakaburan berkostum, sepantasnya demikian, segera kembali pada kesadaran kemanusiaan, menyadari nilai perilaku itu nol besar.
Pengkhianatan perasaan pada pola laku, bagian dari gaya hidup kepura-puraan peranan-peranan, melempar sampah ke dalam mulut sendiri, sekalipun lalat tak mau melahap kata slogan personalitas menuju massa, seolah mempesona, sesungguhnya tak laku lagi.
Leo Tolstoy, penulis realisme, susastra sepanjang zaman hebat itu. Tak bergunjing merobek hati sesama antar waktu seperti kodok bernyanyi, seakan pembuat kata-kata dalam huruf kapital, menohok kiri dan kanan, sebab kebenaran tak tertelan, tak paham hakikat hidup makrifat budi pekerti.
Dalam berkat Ilahiah diberikanlah semua kebaikan bagi persahabatan. Selamat belajar Adik dan Kakak, berhati-hatilah melangkah menuju cita-cita, tetap dalam pola santun pada kedua orang tuamu dan para gurumu.
Adik dan Kakak yang aku sayangi. Mulutmu tak boleh menjadi harimaumu. Hatimu adalah ucapan kebaikan imanmu. Salam cinta kasih dalam kesetaraan Indonesia Unit.
Di setiap cerita dalam kisah panjang hidupnya, meski dia akhirnya sendirian setelah memberitakan cinta tanpa kekerasan, berakhir hidupnya di stasiun kereta Astapovo-Rusia, bersama pneumonia, akhir dari aristokratnya, Leo Tolstoy (1828-1910) wafat pada usia 82 tahun.
Akhir dari suatu perjalanan kisah anti kekerasan, akhir dari cerita pendek dan karya-karya novelnya, War and Peace (1869), Anna Karenina (1877). Puncak fiksi realis susastra negerinya, mendunia.
Tolstoy, bukan penulis penuh bahasa bunga dalam kepura-puraan, menyembunyikan kalimat hitam dibalik kepalsuan, pada kesombongan kata-kata seakan tulus diindahkan seraya berslogan.
Dialah penulis realisme zamannya, tetap terdepan sebuah pelajaran susastra. Kini memang tak lagi dulu, perjalanan tak pernah ada akhir di ujung pena waktu, meski hulu ke hilir telah menjadi perjalanan mata air ke sungai-sungai menuju lautan lepas.
Semoga kata tulus, kini, tak sekadar menjadi kepura-puraan, sembunyi tangan melempar batu atau sebaliknya, menjadi peribahasa pola laku jungkir balik di persembunyian kepribadian kelam absurd kecongkakkan perilaku, akhir dari tujuan melipat pisau menyobek hati, sebab khianat pada kata-kata sendiri.
Berhentilah bergunjing. Berteriak-teriak kian kemari, seakan mempesona dalam kisah imaji palsu cerita semu. Berhentilah membanggakan diri hanya karena pujian pelepas ketakaburan berkostum, sepantasnya demikian, segera kembali pada kesadaran kemanusiaan, menyadari nilai perilaku itu nol besar.
Pengkhianatan perasaan pada pola laku, bagian dari gaya hidup kepura-puraan peranan-peranan, melempar sampah ke dalam mulut sendiri, sekalipun lalat tak mau melahap kata slogan personalitas menuju massa, seolah mempesona, sesungguhnya tak laku lagi.
Leo Tolstoy, penulis realisme, susastra sepanjang zaman hebat itu. Tak bergunjing merobek hati sesama antar waktu seperti kodok bernyanyi, seakan pembuat kata-kata dalam huruf kapital, menohok kiri dan kanan, sebab kebenaran tak tertelan, tak paham hakikat hidup makrifat budi pekerti.
Dalam berkat Ilahiah diberikanlah semua kebaikan bagi persahabatan. Selamat belajar Adik dan Kakak, berhati-hatilah melangkah menuju cita-cita, tetap dalam pola santun pada kedua orang tuamu dan para gurumu.
Adik dan Kakak yang aku sayangi. Mulutmu tak boleh menjadi harimaumu. Hatimu adalah ucapan kebaikan imanmu. Salam cinta kasih dalam kesetaraan Indonesia Unit.