Breaking News

Aksi Kekerasan Marak di Sekolah, Salah Siapa ???

D'On, Jakarta- Pendidikan hadir untuk mengubah ketidaktahuan menjadi pengetahuan, mengubah yang kesalahan menjadi kebenaran, dan mengubah yang buruk menjadi baik.

Tetapi menurut pengacara ternama di Amerika, Osofsky&Osofsky, evolusi pelajar dimulai dari lepasnya tahun 1940-an dinilai mulai mengakhawatirkan karena adanya perubahan di dunia pendidikan. Saat itu pelajar hanya mengenal mengunyah permen karet, membuat kegaduhan kelas, berlarian di lorong-lorong saat pembelajaran sebagai bentuk tidak disiplin.

Sekarang, tindak tak disiplin sudah sangat bergeser menjadi minum alkohol, menyalahgunakan narkoba, kepemilikan senjata tajam, membuat geng, hamil pada umur belia, pemerkosaan hingga pembunuhan.

Padahal undang-undang 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan itu adalah untuk mewujudkan proses pembelajaran agar siswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tapi mengapa semakin banyak masalah tindak kekerasan di lingkungan sekolah?

Akar kekerasan dunia pendidikan

Bukti riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan fakta mencengangkan terkait dengan kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Yaitu terdapat 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Ini terbukti dengan kasus-kasus kekerasan di dunia pendidikan yang mencuat di publik seperti ketika mahasiswa Universitas Islam Indonesia meninggal dalam kegiatan pendidikan SAR karena tindak kekerasan dari seniornya. Hingga kasus yang menjadi perbincangan saat ini tentang pembunuhan berencana oleh siswa SMA Taruna di Magelang dengan motif dendam.

Padahal Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak dari tindak kekerasan mulai dari UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tapi mengapa kasus seperti ini sering terulang kembali?

Senioritas, bullying, kurangnya tanaman moralitas yang baik hingga lemahnya sistem pengawasan di sekolah menjadi akar dari semua masalah kekerasan di atas. Sehingga dibutuhkan penanganan untuk menghentikan kekerasan yang semakin merebak di dunia pendidikan.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesema mengatakan, guru harus punya peran penting dalam menangani kasus kekerasan anak di sekolah. Ketua Yayasan Sejiwa Diena Haryana juga berpendapat, salah satu penyebab kekerasan di dunia pendidikan marak terjadi lantaran pihak terkait membiarkan kekerasan sebagai proses kewajaran pertumbuhan anak.

Padahal inilah yang berpotensi menjadi pemicu dendam hingga akhirnya berujung maut bagi pelaku kekerasan. Sebab korban menginginkan balas dendam. Sungguh tragis memang jika kita melihat kasus pembunuhan remaja 16 tahun karena dia sakit hati lantaran temannya (korban) memergoki pelaku sedang mencuri dan membawa ponsel, padahal itu jelas larangan di sekolah Taruna.

Bahkan yang lebih parah adalah sang pelaku merencakan bagimana cara agar bisa membunuh korban. Ini memang sudah memasuki ranah pembunuhan berencana sehingga dia dijerat dengan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana karena perilaku di luar nalar tersebut.

Tidak habis pikir yang kita rasakan, bagaimana tidak, anak yang masih sangat muda tega membunuh temannya sendiri dengan keji, padahal korban berusaha menegakkan keadilan karena memang pelaku dianggap berperilaku salah dengan perilaku melanggar aturan sekolah.

Pelaku tidak merasa bersalah atas perilakunya. Malah dendam terhadap korban karena melaporkan perilakunya.

Sehingga kasus ini bukan dikarenakan bullying sebagai penyebab utama melainkan kurangnya pengawasan dan bimbingan etika di sekolah. Karena ketika penanaman etika sudah ada sejak dini tentu dendam itu tidak akan ada karena sang pelaku bisa berevaluasi diri karena dia merasa bersalah.

Bahkan kita bisa melihat akibat dari perbuatan keji pelaku, mulai dari efek psikologi seperti dibenci dan tidak diterima oleh banyak orang, dikeluarkan dari sekolah, hukuman penjara hingga masa depan yang suram. Ini dikarenakan orang dengan catatan kriminal tidak akan diterima di perusahaan mana pun.

Berarti sang pelaku merusak hidupnya sendiri dengan membunuh. Terlebih lagi jika ada korban tindak kekerasan yang menjadi depresi, dia juga rentan untuk membalas dendam dan mengganti status korban menjadi pelaku karena pengalaman buruk itu.

Sukses meredam kekerasan

Finlandia adalah salah satu negara yang sukses meredam kasus kekerasan di dunia pendidikan dengan program Kiva Anti-Bullying. Program tersebut menekankan cara untuk berempati, menumbuhkan kepercayaan diri dan mendukung para korban kekerasan bangkit dari trauma.

Misalnya ada teman sekolah yang kesusahan di ekonomi, teman-teman lainnya akan membantu dengan memberikan sumbangan agar anak tersebut tidak sampai melakukan pencurian atau bahkan memalak karena kondisi ekonomi. Menurut Skiba & Peterson hukuman keras yang tidak berperasaan tidak perlu ditunjukkan di sekolah.

Bahkan hubungan antara siswa, guru, orang tua, dan masyarakat perlu dipertimbangkan dalam pengembangan program disiplin dan pengawasan agar kekerasan tidak akan muncul kembali. Bayangkan jika semua program seperti di atas ada di Indonesia dengan tingkat keberagaman, perbedaan dan kesenjangan yang tinggi, tentu kekerasan di dunia pendidikan bisa meredam karena banyak yang berempati terhadap orang lain dan pengawasan juga terlaksana dengan baik.

Tapi sayangnya memang di sana kekurangan Indonesia. Kita hanya berharap suatu saat ada upaya yang kuat dari negara dan seluruh elemen masyarakat ini untuk meredam kasus kekerasan di dunia pendidikan yang telah membuat banyak nyawa tidak berdosa yang melayang.

Ketika kita bertanya kekerasan di dunia pendidikan itu salah siapa, maka ini bukanlah saatnya untuk menyalahkan satu pihak, bukan saatnya kita mempermasalahkan siapa yang salah siapa yang benar dalam kasus kekerasan tersebut. Karena siapapun yang bersalah itu sebenarnya adalah tanggung jawab kita semua untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan.

Terlebih lagi dengan kondisi Indonesia yang tinggi akan perbedaan bisa menjadi pemicu aksi bullying hingga kekerasan. Diharapkan semua elemen masyarakat bisa meredamnya dengan menanamkan empati dan etika baik dalam keluarga maupun sekolah.

Ini semua menjadi masalah karena sejatinya pendidikan sekolah adalah tempat menimba ilmu, bukan tempat untuk beradu. Sekolah tempat untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan, dan bukan sebaliknya. Sehingga bukan salah negara, guru, salah orang tua, bukan salah korban ataupun pelaku. Tapi salahkan diri kita sendiri sebagai manusia jika ketidakpedulian yang muncul ketika ada kekerasan di dunia pendidikan.

#cnnind