Breaking News

Kisah Buram Perploncoan Dunia Pendidikan Indonesia

D'On-- Potret buram pengaderan dan perploncoan dalam dunia pendidikan kita kembali terjadi. Belum genap hilang duka atas kematian 3 Mahasiswa UII akibat kekerasan dalam Diksar Mapala Yogyakarta (24/1), Minggu lalu masyarakat kembali diresahkan dengan kasus pengaderan anggota Pramuka di Kabupaten Tangerang yang dinilai merendahkan manusia.

Viralnya foto Pramuka makan berajang tanah menuai banyak kritik dari publik. Meski aksi tersebut berorientasi untuk memberi sanksi, tapi sangat jelas itu sudah kelewat batas dan sama sekali tak pantas. Apakah karakter disiplin bisa dicapai dengan jalan pintas? Kedua kasus di atas sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa ada sebuah kekeliruan dalam membentuk karakter siswa. Atas nama kaderisasi, seolah-olah tindakan tradisi apapun dianggap wajar.

Jika kita membiarkan kekeliruan tersebut terus berlanjut maka sama halnya dengan menyuburkan praktik kekerasan dalam dunia pendidikan. Kekerasan tidak melulu soal penganiayaan fisik.

Hukuman yang melampaui batas juga masuk dalam bentuk kekerasan. Makan berajang tanah telah menyiksa mental dan menjatuhkan harga diri manusia secara perlahan tapi pasti. Bahkan menurut Kak Seto, ketua umum LPAI itu sudah melanggar Hak Anak. Jangan sampai warisan perpeloncoan ini terus mencoreng nilai kesantunan.

Dr. Benedek menyatakan bahwa Pusat Amerika Pengendalian Penyakit telah menambahkan kekerasan sebagai daftar penyakit yang bersifat destruktif dan harus diberantas. Maka, sudah waktunya kita perlu mengusulkan revitalisasi pendidikan karakter yang terarah.

Peradaban Manusia
 
Sejatinya pendidikan karakter menjadi simbol bagi kemajuan kemanusiaan. Ketika manusianya berkarakter, jelas akan berperan penting dalam membangun peradaban pada segala sektor.

Sejalan dengan ungkapan Armstrong bahwa tujuan pendidikan tidak lain untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi perkembangan siswa sebagai manusia yang utuh (a whole human being). Dari sinilah tercipta sebuah orientasi memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya. Manusia diperlakukan secara tidak manusiawi. Pertanyaannya, bagaimana kemajuan bisa terwujud jika upaya pembentukan karakter tidak terarah?

Kita bisa menengok keberhasilan negara yang tak lepas dari pendidikan karakter. Dalam versi negara maju seperti Jepang sekalipun, pembangunan masyarakat berasaskan kesantunan sangat gencar ditanamkan sejak dini. Meskipun tergolong negara yang unggul di bidang teknologi, Jepang sama sekali tak menyampingkan nilai-nilai budaya dan sistem sosialnya sebagai bagian penting dalam pembangunan watak bangsa (character building).

Berbeda dengan Indonesia, pendidikan karakter hanya menjadi trend yang hilang timbul ke permukaan. Tercermin dari hasil pengamat pendidikan, dalam kurun waktu 2013-2017 tercatat ada delapan korban jiwa dan fenomena degradasi moral lainnya.

Ini mengindikasikan bahwa pembangunan karakter di Indonesia semakin penting untuk diperjuangkan. Padahal seharusnya Indonesia patut bersyukur karena paham kesantunan sudah tertuang melalui budaya daerah. Bahkan, secara gamblang terkandung dalam Dasar Negara sila ke-2 yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Seharusnya karakter yang beradab itu sudah mengakar. Dan jika ini dijalankan dengan tepat niscaya tercipta rasa saling menghargai antar sesama bukan merendahkan yang selainnya.

Mengevaluasi Kualifikasi
 
Tindakan pembina yang menyuruh makan di tanah sangat disesalkan. Pasalnya, menurut Ketua Kwarnas Adhyaksa Dault ini menandakan ia belum memenuhi kualifikasi menjadi pembina Pramuka. Ini perlu ditindak tegas. Lemahnya sistem kualifikasi tenaga pendidik di Indonesia perlu dievaluasi lebih ketat lagi. Karena kualifikasi atau keahlian menguasai suatu bidang sangat penting untuk diperhitungkan.

Kita bisa belajar dari kebangkitan Jepang setelah hancur dibombardir oleh bom atom pada tahun 1945. Hal yang pertama kali dicari adalah guru. Artinya, kemajuan Jepang hari ini tidak lepas dari peran tenaga pendidik, tentunya pendidik yang berkualitas menguasai ilmu sesuai bidangnya. Niscaya peradaban ada digenggaman tangan.

Memilih pembina yang tidak lolos kualifikasi untuk membentuk karakter siswa tentu akan fatal akibatnya. Besar kemungkinan pemecahan masalah yang diberikan bukan atas pertimbangan rasional tapi hanya mengandalkan tradisi. Bahkan, misi Pramuka dan ekstrakulikuler lain yang awalnya berperan sangat besar bagi pembinaan dan pendidikan karakter generasi muda menjadi tak tercapai. Yang tersisa hanya angan-angan belaka.

Lebih jauh lagi, akan mengancam eksistensi dan esensi pendidikan yang seharusnya menjadi pusat pembentukan karakter, moral dan intelektual berubah menjadi arena kekerasan yang menjatuhkan harkat dan martabat manusia.

Wajah Humanis
 
Membangun karakter dengan cara yang salah sama halnya kita membiarkan kobaran api di dalam rumah. Api itu akan perlahan menghancurkan bangunan dalam waktu sekejap. Maka, sebelum terlambat kita butuh air agar rumah berharga kita bisa terselamatkan. Dengan kata lain, masih ada kesempatan untuk membenahi sistem pendidikan karakter di negeri tercinta. Satu hal yang pasti, kita butuh pendidikan yang mengajarkan anti kekerasan dan berwajah humanis. Semoga karakter itu bisa menyelamatkan generasi penerus bangsa hari ini dan seterusnya.

#cnnind