Breaking News

Sejarah Tentang Kematian Tragis Amir Hamzah

Tengku Zulkifli masih berusia empat tahun pada 1948. Bersama ayahnya, ia ikut menyaksikan pembongkaran kuburan di Kwala Begumit, dekat Kebun lada, Binjai, Sumatera Utara. Waktu itu dia tak paham betul bahwa kuburan yang sedang dibongkar itu adalah kuburan massal korban pembantaian 1946.

Zulkifli ingat betul di antara jasad yang diangkat dari kuburan massal itu ada jasad Amir Hamzah. Jasad-jasad itu lalu dikuburkan di halaman Masjid Azizi di Tanjung Pura, sekitar 38 km dari Binjai.

Dua tahun sebelum kuburan itu dibongkar dan tulang belulangnya dipindahkan, Amir Hamzah ditangkap oleh barisan pemuda bersenjata. Pada 7 Maret 1946 itu, dia diangkut dengan mobil pikap dari Istana Binjai.

Tengku Amir Hamzah ketika itu adalah Pangeran Langkat Hilir, kemudian menjadi Bendahara Paduka Raja, lalu Pangeran Langkat Hulu, lantas menjabat Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Pada saat yang sama dan di tanah yang sama, Amir Hamzah juga menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dari Republik Indonesia Yogyakarta.

Amir Hamzah awalnya ditahan di sebuah rumah bekas tahanan kempetai Jepang di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tiga belas hari kemudian, ia dieksekusi. Suatu malam, Amir tertunduk di sebuah lubang di Kwala Begumit. Parang Mandor Yang Wijaya kemudian berayun menebas tengkuk hingga memutus lehernya. Malam itu, sang pujangga mati.

Catatan tentang kematian Amir Hamzah itu dituliskan Tengku M. Lah Husny dalam bukunya berjudul Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah.

Kabar kematian Amir Hamzah tak lantas dipercayai oleh istrinya, Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat saat itu. Kamaliah percaya suaminya akan segera pulang. Bahkan ketika kuburan itu dibongkar dan tengkoraknya dikenali, ia tetap tak percaya itu adalah tengkorak suaminya.

Kepada Anaknya, Tengu Tahura—yang akrab dipanggil Kuyong, Kamaliah selalu menanamkan keyakinan bahwa ayahnya tidak mati. “Amir Hamzah tidak mati. Ayahmu akan datang pada suatu hari nanti,” seperti dikutip dari Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang yang ditulis Nh. Dini dan terbit pada 1981.

Tengku Amir Hamzah lahir di Langkat, 11 Februari 1911. Ia anak dari Tengku Haji Moehamaad Adil, saudara dari Sultan Machmud, Sultan Langkat saat itu. Di usianya yang ke-7, Amir masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, Langkatsche School. Selain sekolah, ia juga mengaji di belakang Masjid Azizi.

Amir lalu melanjutkan sekolahnya HIS Tanjung Pura, lalu MULO di Medan. Tahun 1928, Amir melanjutkan sekolah ke Jakarta, di Christelijke Mulo “Manjangan”. Setahun kemudian, Amir hijrah ke Solo, melanjutkan sekolah di AMS mengambil jurusan Sastra.

Saat ia di Solo, ibunya meninggal, setahun kemudian ayahnya juga meninggal. Sejak itu, segala biaya sekolah dan hidup Amir ditanggung oleh pamannya, Sultan Machmud.

Di kota itu, Amir aktif dalam berbagai pergerakan dan organisasi. Ia aktif di Kongres I Indonesia Muda, Ia juga menjadi pengurus Indonesia Muda cabang Jogja. Ia juga sempat menjalin asmara dengan gadis solo bernama Ilik Sundari.

Namun kisah cinta itu kandas, Amir dipanggil pamannya untuk pulang ke Langkat. Ia lalu menikah dengan Kamaliah pada 1937. Pernikahan itu menjadikannya menantu Sultan dan mendapat gelar Tengku Pangeran Indera Pura.

Meski bergelar bangsawan, Amir jarang sekali memakai gelar Tengku-nya. Ia seringkali hanya menuliskan namanya hanya dengan Amir Hamzah, termasuk ketika menulis puisi-puisi. Ketika Amir diculik dan dibunuh di tanah kelahirannya sendiri, kekacauan memang sedang terjadi di beberapa kesultanan di Sumatera Timur.

Penyerangan dengan cara penculikan, penahanan, pembunuhan, dan perampokan menimpa Kesultanan Langkat, Asahan, Koewaloe, Karo, Simalungun, Bilah, hingga Kota Pinang.

“Di Langkat, kedua putri Sultan Mahmoed diperkosa di depan ayahnya,” kata Tengku Zulkifli. Zulkifli, yang menyaksikan pembongkaran kuburan massal, saat itu masih kecil sekali. Kisah pemerkosaan itu jadi cerita turun temurun di keluarganya. Zulkifli kini tinggal di Medan, di sebuah gang sempit tak jauh dari Stadion Teladan.

Apa yang terjadi dengan keluarga Kesultanan Langkat di dalam tahanan sempat diceritakan Tengkoe Mochtar Aziz, saudara muda dari Sultan Langkat. Pada September 1947, ia menyampaikan pidato di Pusat Radio Resmi Indonesia. Isi pidato itu kemudian dimuat di harian Pandji Ra’jat pada 2 September 1947. Arsip koran ini dikumpulkan oleh lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda.

“Di sini, bukan maksud saya hendak membuat propaganda, melainkan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya seluruh rakyat di kepulauan Indonesia dapat mengetahui dan menimbangnya dengan sebaiknya,” ujar Mochtar Aziz mengawali pidatonya.

Dia menceritakan betapa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur pada dasarnya bersedia bekerja sama dengan republik di Yogyakarta. Dan pada Februari 1946, sebelum pembantaian dilakukan, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur mengadakan pertemuan di Kota Medan.

Pertemuan yang dihadiri seluruh pembesar republik memutuskan untuk membentuk daerah Sumatera Timur dengan demokrasi. Mereka menargetkan bahwa pada Mei 1946 pemerintahan yang baru itu sudah bisa berjalan. Akan tetapi, peristiwa berdarah pada Maret 1946 itu membuat apa yang pernah mereka bicarakan dan putuskan tak pernah terjadi.

“Saya pertama kali diambil dari rumah saya dengan janji akan diperiksa sebentar di markas, walaupun waktu itu jam 2 malam, saya lalu [ikut] juga karena saya percaya saya tidak akan dapat kesusahan oleh karena saya adalah anggota dari komite nasional,” ungkap Mochtar.

“Sayang, perikemanusiaan tidak ada lagi. Saya sampai di markas, terus di bawa ke satu tempat, 40 kilometer dari tempat saya, dengan tidak sempat hendak memberi kabar pada istri dan anak saya ke mana saya dibawa. Dari sana, saya dibawa ke Berastagi [kawasan dataran tinggi, sekitar 120 km dari Langkat]. Waktu itu, pada istri dan keluarga saya yang tinggal, dikatakan saya telah dibunuh. Inilah yang kami tanggungkan selama 17 bulan, dengan tidak tahu pada siapa kami mengadukan hal yang kami deritai,” sambungnya.

Dia lalu melanjutkan cerita tentang apa yang dialami di dalam tahanan. “Selama di tahanan, tidak sedikit penghinaan diberikan pada kami. Kami orang tahanan diberi gelar kambing, dari itu, kami tak bisa bergaul dengan manusia biasa. Buat makan, kami dilainkan. Buat mandi seminggu sekali, mesti dengan hewan,” katanya.

Sampai saat ini, Zulkifli keberatan dengan frasa "revolusi sosial" yang digunakan pemerintah Indonesia dalam menggambarkan tentang apa yang terjadi dan menimpa keluarganya.

Tengku Yasir dari Kesultanan Asahan pun menyatakan demikian. Saat pembantaian terjadi di Langkat, Penangkapan, pembunuhan, dan perampokan juga terjadi di Asahan. Saat itu Yasir berusia 15 tahun. Ia nyaris dibunuh. Hanya karena kakinya sedang sakit, tak bisa berjalan dan berbau tak sedap, Yasir batal dibawa.

Yasir meyakini hingga kini bahwa ada yang menghasut rakyat Asahan dan negeri-negeri lain di Sumatera Timur. “Sebelum revolusi, ada semacam fatwa yang beredar di masyarakat waktu itu, katanya darah raja itu halal,” ujar Yasir. Yasir juga tinggal di Medan, tak jauh dari rumah Zulkifli.

Dalam sejarah Republik Indonesia, peristiwa Maret 1946 yang menimpa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur disebut sebagai ‘revolusi sosial’. Istilah itu sudah didengar Yasir sejak dahulu.

Tapi Yasir tak percaya. Menurutnya, keinginan untuk menghapuskan kerajaan dan kesultanan tak murni datang dari rakyat sendiri, tetapi dari hasil propaganda di Yogyakarta. “Ini murni pembunuhan dan perampokan besar-besaran,” tambah Yasir.(*)