Semarak Budaya Minang di Tanah Pasundan
D'On, Bandung-- Suatu sore di kawasan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bagian Barat Universitas Padjadjaran (Unpad) terdengar suara tabuh-tabuhan alat musik tradisional yang ditabuh secara bersamaan. Musik tradisional ini terdengar agak lebih nyaring. Namun sedap didengar.
Tidak hanya suara alat musik saja ternyata. Di tempat yang sama terlihat ada empat pria dan enam wanita yang sedang menari, bak orang yang sedang melakukan persembahan atau penghormatan.
Tarian ini disebut dengan Tari Pasambahan. Sejenis tari tradisional khas Minangkabau yang biasanya ditampilkan dalam acara penyambutan tamu yang dimaksudkan sebagai bentuk ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu kehormatan.
Ya, budaya Minangkabau ada di kampus Universitas Padjajaran (Unpad). Kampus yang secara geografis berada di daerah Sumedang Jawa Barat. Daerah yang sangat kental dengan budaya Sunda.
Budaya Minangkabau ini berkembang dan bisa bertahan di kampus tatar Sunda karena memang banyaknya mahasiswa asal Minang yang berkuliah di Unpad. Hal ini didasari karena adanya budaya atau tradisi Minangkabau yang mengharuskan seseorang yang dianggap sudah dewasa untuk merantau, baik dalam hal pendidikan ataupun pekerjaan. Khususnya bagi anak laki-laki jika ingin dipandang mandiri dalam masyarakat.
Tidak hanya di Unpad atau di Bandung saja orang Minang ini berada, tetapi menyebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Jadi tidak heran jika dimana pun kita berada kita selalu bertemu dengan orang-orang Minang.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berbasis etnik di Unpad hanya dua, yaitu Lingkung Seni Sunda (Lises), dan Unit Pencinta Budaya Minang (UPBM), yaitu kegiatan sebagai bentuk melestarikan dan berkesenian budaya Minangkabau. Padahal jika dilihat dari keberagaman etnik mahasiswa Unpad sangatlah beragam. Lebih dari itu perkumpulan atau komunitas yang berbasis etnik yang ada Unpad hanya sebatas paguyuban daerah asal.
Menurut Muhammad Iqbal Ramadhan atau akrab di sapa Iqbal, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Hubungan Internasional 2014 sekaligus sebagai Ketua Divisi Hubungan Eksternal UPBM menceritakan yang didirikan pada 24 Oktober 1986 oleh sekelompok mahasiswaa Minang atas kecintaannya terhadap budaya Minangkabau.
Pada masa-masa awal berdirinya UPBM Unpad, kegiatan yang diadakan masih berupa kegiatan penalaran seperti diskusi, kajian, dan seminar dalam lingkup kecil. Hal-hal yang menjadi bahasan tidak lepas dari nilai-nilai budaya Minangkabau. Seiring bergulirnya waktu, UPBM sekarang berkembang menjadi organisasi yang berbasis penalaran dan seni budaya.
Tidak hanya mahasiswa yang berasal dari Minang saja yang bisa mengikuti organisasi ini, tetapi terbuka untuk seluruh mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad). “Siapa aja boleh masuk (UPBM) kok, tidak tertutup dari mana ia berasal, yang penting ia berkuliah di Unpad. Terbuka bagi orang-orang yang mencintai budaya Minang dan yang ingin belajar,” tutur pemuda asli Minang ini.
Kegiatan-kegiatan UPBM meliputi kegiatan bernalar seperti kajian yang mengangkat permasalahan atau isu yang ada di Sumatra Barat, dan aktivitas berseni budaya seperti tari, musik serta randai yang bertujuan untuk melestarikan seni budaya Minangkabau.
“Sebelum gabung (UPBM) memang suka homesick, tapi setelah gabung di UPBM ini terasa banget kayak di kampung, apalagi klo udah denger suara alat musik talempong itu khas banget. Lagi kumpul-kumpul juga ngobrol pake bahasa Minang jadi kayak di rumah aja,” ujar Iqbal.
Namun, untuk bisa beradapatsi di sebuah daerah dengan orang-orang dan budaya yang berbeda dari daerah asal bukan perkara yang mudah. Hal ini juga dirasakan oleh Febby Rista Dwidya atau biasa dipanggil Febby, mahasiswi Jurnalistik 2015 Fikom Unpad yang merasa kesulitan beradaptasi di awal-awal kuliahnya, terutama pada makanan.
"Yang namanya orang Minang tuh biasanya makan nasi dari beras yang cuma ada di Sumatra Barat dan itu beda banget sama beras di sini (Jatinnagor). Terus rasa sambel juga beda sama daerah aku, jadinya perlu adaptasi lebih untuk makanan,” tutur mahasiswi kelahiran Solok Sumatra Barat ini.
Selain kesulitan beradaptasi dengan makanan, Febby juga merasa kesulitan dalam mengerti bahasa Sunda, bukan hanya dari teman kelasnya tetapi juga dosen yang seringkali menggunakan bahasa Sunda dalam menerangkan materi kuliah. “Aku harus belajar bahasa yang sama sekali baru aku tahu, untuk komunikasi sama masyarakat sekitar, juga untuk mengantisipasi dosen yang ngajar pake bahasa Sunda yang kental kayak Pak Atang (dosen Jurnalistik),” kata Febby sambil sedikit tertawa.
Mahasiswi kelahiran 6 Februari 1997 ini mengungkapkan bahwa banyaknya mahasiswa asal Minang yang berkuliah di Unpad atau pun di Bandung. Hal itu, dianggapnya seperti berada di kampung halamamnya sendiri. “Banyak banget. Iya kan aku mau ketemu temen baru gitu dari budaya yang beda, tapi alumni dari SMA ku banyak yang masuk Unpad. kalo lagi di tempat umum yang banyak mahasiswa Minang kumpul-kumpul gitu, ya terasa di kampung,” ujar mahasiswi berzodiak Aquarius ini.
Tidak hanya suara alat musik saja ternyata. Di tempat yang sama terlihat ada empat pria dan enam wanita yang sedang menari, bak orang yang sedang melakukan persembahan atau penghormatan.
Tarian ini disebut dengan Tari Pasambahan. Sejenis tari tradisional khas Minangkabau yang biasanya ditampilkan dalam acara penyambutan tamu yang dimaksudkan sebagai bentuk ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu kehormatan.
Ya, budaya Minangkabau ada di kampus Universitas Padjajaran (Unpad). Kampus yang secara geografis berada di daerah Sumedang Jawa Barat. Daerah yang sangat kental dengan budaya Sunda.
Budaya Minangkabau ini berkembang dan bisa bertahan di kampus tatar Sunda karena memang banyaknya mahasiswa asal Minang yang berkuliah di Unpad. Hal ini didasari karena adanya budaya atau tradisi Minangkabau yang mengharuskan seseorang yang dianggap sudah dewasa untuk merantau, baik dalam hal pendidikan ataupun pekerjaan. Khususnya bagi anak laki-laki jika ingin dipandang mandiri dalam masyarakat.
Tidak hanya di Unpad atau di Bandung saja orang Minang ini berada, tetapi menyebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Jadi tidak heran jika dimana pun kita berada kita selalu bertemu dengan orang-orang Minang.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berbasis etnik di Unpad hanya dua, yaitu Lingkung Seni Sunda (Lises), dan Unit Pencinta Budaya Minang (UPBM), yaitu kegiatan sebagai bentuk melestarikan dan berkesenian budaya Minangkabau. Padahal jika dilihat dari keberagaman etnik mahasiswa Unpad sangatlah beragam. Lebih dari itu perkumpulan atau komunitas yang berbasis etnik yang ada Unpad hanya sebatas paguyuban daerah asal.
Menurut Muhammad Iqbal Ramadhan atau akrab di sapa Iqbal, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Hubungan Internasional 2014 sekaligus sebagai Ketua Divisi Hubungan Eksternal UPBM menceritakan yang didirikan pada 24 Oktober 1986 oleh sekelompok mahasiswaa Minang atas kecintaannya terhadap budaya Minangkabau.
Pada masa-masa awal berdirinya UPBM Unpad, kegiatan yang diadakan masih berupa kegiatan penalaran seperti diskusi, kajian, dan seminar dalam lingkup kecil. Hal-hal yang menjadi bahasan tidak lepas dari nilai-nilai budaya Minangkabau. Seiring bergulirnya waktu, UPBM sekarang berkembang menjadi organisasi yang berbasis penalaran dan seni budaya.
Tidak hanya mahasiswa yang berasal dari Minang saja yang bisa mengikuti organisasi ini, tetapi terbuka untuk seluruh mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad). “Siapa aja boleh masuk (UPBM) kok, tidak tertutup dari mana ia berasal, yang penting ia berkuliah di Unpad. Terbuka bagi orang-orang yang mencintai budaya Minang dan yang ingin belajar,” tutur pemuda asli Minang ini.
Kegiatan-kegiatan UPBM meliputi kegiatan bernalar seperti kajian yang mengangkat permasalahan atau isu yang ada di Sumatra Barat, dan aktivitas berseni budaya seperti tari, musik serta randai yang bertujuan untuk melestarikan seni budaya Minangkabau.
“Sebelum gabung (UPBM) memang suka homesick, tapi setelah gabung di UPBM ini terasa banget kayak di kampung, apalagi klo udah denger suara alat musik talempong itu khas banget. Lagi kumpul-kumpul juga ngobrol pake bahasa Minang jadi kayak di rumah aja,” ujar Iqbal.
Namun, untuk bisa beradapatsi di sebuah daerah dengan orang-orang dan budaya yang berbeda dari daerah asal bukan perkara yang mudah. Hal ini juga dirasakan oleh Febby Rista Dwidya atau biasa dipanggil Febby, mahasiswi Jurnalistik 2015 Fikom Unpad yang merasa kesulitan beradaptasi di awal-awal kuliahnya, terutama pada makanan.
"Yang namanya orang Minang tuh biasanya makan nasi dari beras yang cuma ada di Sumatra Barat dan itu beda banget sama beras di sini (Jatinnagor). Terus rasa sambel juga beda sama daerah aku, jadinya perlu adaptasi lebih untuk makanan,” tutur mahasiswi kelahiran Solok Sumatra Barat ini.
Selain kesulitan beradaptasi dengan makanan, Febby juga merasa kesulitan dalam mengerti bahasa Sunda, bukan hanya dari teman kelasnya tetapi juga dosen yang seringkali menggunakan bahasa Sunda dalam menerangkan materi kuliah. “Aku harus belajar bahasa yang sama sekali baru aku tahu, untuk komunikasi sama masyarakat sekitar, juga untuk mengantisipasi dosen yang ngajar pake bahasa Sunda yang kental kayak Pak Atang (dosen Jurnalistik),” kata Febby sambil sedikit tertawa.
Mahasiswi kelahiran 6 Februari 1997 ini mengungkapkan bahwa banyaknya mahasiswa asal Minang yang berkuliah di Unpad atau pun di Bandung. Hal itu, dianggapnya seperti berada di kampung halamamnya sendiri. “Banyak banget. Iya kan aku mau ketemu temen baru gitu dari budaya yang beda, tapi alumni dari SMA ku banyak yang masuk Unpad. kalo lagi di tempat umum yang banyak mahasiswa Minang kumpul-kumpul gitu, ya terasa di kampung,” ujar mahasiswi berzodiak Aquarius ini.
#cnnind