Strategi Pura-pura Mati Si Capung Betina
D'On, Jakarta-- Alam semesta dan apa yang ada pada diri kita adalah tanda baca bagi kita. Manusia dapat memprediksi kemungkinan fenomena yang akan melalui sebuah gambaran di alam semesta. Semisal akan terjadinya banjir badang, kita dituntun dengan beringannya semut yang keluar dari sarangnya. Begitulah manusia yang telah dibekali akal hingga mampu berpikir dan mengolah informasi yang disampaikan oleh alam.
Lalu informasi apa yang dapat kita ketahui dengan fenomena yang terjadi manakala seekor capung betina pura-pura mati, saat dikejar oleh satu atau dua pejantan?
Fenomena tersebut telah menarik perhatian Rassim Khalifa seorang murid PhD di Department of Evolutionary Biology and Environmental Studies, University of Zurich. Ia tidak sengaja menemukan perilaku capung tersebut ketika sedang mengumpulkan telur capung Aeshna juncea di pegunungan Alpen.
Ketika telah berpasangan, seekor capung betina hanya ingin bertelur dan melanjutkan hidupnya. Oleh karena itu, ketika sedang dikejar oleh satu atau dua pejantan yang tidak diinginkan, dia akan jatuh ke tanah dan pura-pura mati, ungkap Rassim Khelifa dalam jurnal Ecology.
Tujuan awalnya adalah untuk mempelajari efek perubahan iklim pada capung dengan mengamati telur-telur tersebut ketika diletakkan pada temperatur yang berbeda-beda di laboratoriumnya. “(Penemuan) ini merupakan hasil sampingan dari penelitianku,” ujarnya kepada Live Science.
Khelifa berkata bahwa strategi pertama yang digunakan oleh capung betina untuk menghindari pejantan adalah dengan bertelur di area yang tertutup tanaman. Namun, mereka masih dapat diganggu oleh pejanta ketika dalam perjalanan dari dan menuju area tersebut.
Di sinilah mereka menggunakan strategi pura-pura mati.
Dari 35 betina yang diamati oleh Khelifa, sebanyak 27 jatuh ke tanah atau semak-semak untuk pura-pura mati. Namun, hanya 21 di antaranya yang berhasil mengelabui pejantan. Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa 71 persen memilih untuk jatuh di area semak-semak daripada lahan terbuka.
Hal ini karena seekor capung pejantan yang sedang mengudara hanya dapat mendeteksi lingkungannya dari gerakan dan warna. Dengan diam di tanah atau semak-semak, seekor betina dapat menyembunyikan dirinya dari pandangan pejantan. Lalu, ketika sang pejantan sudah pergi, capung betina tersebut akan kembali terbang dan melanjutkan perjalanannya.
Sebaliknya, capung betina yang tetap terbang akan disergap oleh pejantan di udara. Strategi ini, menurut Khelifa, membantu capung betina untuk menghindari konflik seksual dengan pejantan.
Dia berkata bahwa berpasangan dengan satu pejantan saja dapat membuahi semua telur yang dimiliki oleh seekor capung betina dan berpasangan dengan pejantan lain setelahnya cenderung berakhir agresif.
“Ketika seekor penjantan berkopulasi dengan betina, hal pertama yang dilakukannya adalah mengeluarkan sperma milik pejantan sebelumnya dan perilaku ini dapat merusak saluran reproduksi betina. Oleh karena itu, berpasangan berkali-kali tidak menguntungkan bagi betina,” katanya.
Lalu informasi apa yang dapat kita ketahui dengan fenomena yang terjadi manakala seekor capung betina pura-pura mati, saat dikejar oleh satu atau dua pejantan?
Fenomena tersebut telah menarik perhatian Rassim Khalifa seorang murid PhD di Department of Evolutionary Biology and Environmental Studies, University of Zurich. Ia tidak sengaja menemukan perilaku capung tersebut ketika sedang mengumpulkan telur capung Aeshna juncea di pegunungan Alpen.
Ketika telah berpasangan, seekor capung betina hanya ingin bertelur dan melanjutkan hidupnya. Oleh karena itu, ketika sedang dikejar oleh satu atau dua pejantan yang tidak diinginkan, dia akan jatuh ke tanah dan pura-pura mati, ungkap Rassim Khelifa dalam jurnal Ecology.
Tujuan awalnya adalah untuk mempelajari efek perubahan iklim pada capung dengan mengamati telur-telur tersebut ketika diletakkan pada temperatur yang berbeda-beda di laboratoriumnya. “(Penemuan) ini merupakan hasil sampingan dari penelitianku,” ujarnya kepada Live Science.
Khelifa berkata bahwa strategi pertama yang digunakan oleh capung betina untuk menghindari pejantan adalah dengan bertelur di area yang tertutup tanaman. Namun, mereka masih dapat diganggu oleh pejanta ketika dalam perjalanan dari dan menuju area tersebut.
Di sinilah mereka menggunakan strategi pura-pura mati.
Dari 35 betina yang diamati oleh Khelifa, sebanyak 27 jatuh ke tanah atau semak-semak untuk pura-pura mati. Namun, hanya 21 di antaranya yang berhasil mengelabui pejantan. Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa 71 persen memilih untuk jatuh di area semak-semak daripada lahan terbuka.
Hal ini karena seekor capung pejantan yang sedang mengudara hanya dapat mendeteksi lingkungannya dari gerakan dan warna. Dengan diam di tanah atau semak-semak, seekor betina dapat menyembunyikan dirinya dari pandangan pejantan. Lalu, ketika sang pejantan sudah pergi, capung betina tersebut akan kembali terbang dan melanjutkan perjalanannya.
Sebaliknya, capung betina yang tetap terbang akan disergap oleh pejantan di udara. Strategi ini, menurut Khelifa, membantu capung betina untuk menghindari konflik seksual dengan pejantan.
Dia berkata bahwa berpasangan dengan satu pejantan saja dapat membuahi semua telur yang dimiliki oleh seekor capung betina dan berpasangan dengan pejantan lain setelahnya cenderung berakhir agresif.
“Ketika seekor penjantan berkopulasi dengan betina, hal pertama yang dilakukannya adalah mengeluarkan sperma milik pejantan sebelumnya dan perilaku ini dapat merusak saluran reproduksi betina. Oleh karena itu, berpasangan berkali-kali tidak menguntungkan bagi betina,” katanya.
#cnnind