Menhan : Pernyataan Panglima TNI Tak Perlu Dievaluasi
D'On, Jakarta,- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut situasi yang tidak stabil muncul setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membeberkan data intelijen tentang rencana satu lembaga negara membeli 5000 pucuk senjata.
"Saya bukan memanaskan situasi, tapi memperjelas supaya yang seperti ini tidak terjadi lagi," kata Ryamizard di Jakarta, Selasa (26/09).
Menurut Ryamizard, hingga saat ini tidak terdapat persoalan apapun terkait rencana pembelian senjata. Ia meminta TNI, Polri, dan lembaga negara lain yang berwenang menggunakan kekuatan represif untuk bersatu.
Ryamizard menyebut setiap lembaga negara harus meminta izinnya sebelum membeli senjata. Merujuk Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014, kata dia, syarat itu berlaku untuk TNI, Polri, BIN, BNN, Bakamla, Ditjen Pemasyarakatan, hingga Ditjen Bea dan Cukai.
Ryamizard lantas menunjukkan permohonan pembelian senjata terbaru yang disetujuinya. Surat itu dikirim BIN pada Mei 2017, diteken Mayor Jenderal Teddy Lhaksmana, orang nomor dua di badan telik sandi.
"Saya bukan memanaskan situasi, tapi memperjelas supaya yang seperti ini tidak terjadi lagi," kata Ryamizard di Jakarta, Selasa (26/09).
Menurut Ryamizard, hingga saat ini tidak terdapat persoalan apapun terkait rencana pembelian senjata. Ia meminta TNI, Polri, dan lembaga negara lain yang berwenang menggunakan kekuatan represif untuk bersatu.
Ryamizard menyebut setiap lembaga negara harus meminta izinnya sebelum membeli senjata. Merujuk Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014, kata dia, syarat itu berlaku untuk TNI, Polri, BIN, BNN, Bakamla, Ditjen Pemasyarakatan, hingga Ditjen Bea dan Cukai.
Ryamizard lantas menunjukkan permohonan pembelian senjata terbaru yang disetujuinya. Surat itu dikirim BIN pada Mei 2017, diteken Mayor Jenderal Teddy Lhaksmana, orang nomor dua di badan telik sandi.
Melalui surat itu, BIN meminta izin untuk membeli 521 pucuk senjata SS2-V2 kaliber 5,56x45 milimeter beserta amunisinya sebanyak 72.750 butir.
"BIN membutuhkan senjata api untuk mendukung kegiatan latihan taruna/taruni Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Dengan ini BIN memohon Menhan dan Panglima TNI memberikan izin pembelian senjata dari PT Pindad (Persero)," demikian petikan surat itu.
"Sudah disampaikan berapa pucuk senjata dan amunisi. Jadi tidak ada masalah. Tinggal komunikasi saja," kata Ryamizard.
Purnawirawan jenderal eks Kepala Staf Angkatan Darat itu menduga pemicu miskomunikasi antara Gatot dan beberapa lembaga negara lain disebabkan keteledoran pejabat di bawah komando Panglima TNI.
"Asisten panglima mungkin. Mungkin dari stafnya kurang masukan atau apa. Saya sendiri sangat bergantung pada staf saya," ucapnya.
Namun, terkait desakan berbagai kalangan pegiat dekomrasi dan HAM, Ryamizard menilai tidak perlu digelar evaluasi khusus terhadap kinerja Gatot sebagai pemimpin TNI.
"Semua manusia termasuk saya, siapa yang tidak pernah keliru. Kita maklumi saja, asal ke depan tidak boleh terjadi lagi," kata Ryamizard.
Kontroversi pembelian senjata sebelumnya disampaikan Gatot pada sejumlah mantan petinggi militer di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat pekan lalu. Ia mengaku mendapatkan informasi intelijen tentang satu lembaga negara yang mencatut nama presiden untuk membeli senjata.
"Kami intip terus. Kalau itu serius, kami akan serbu. Kalau kami menyerbu, itu karena tidak boleh ada lembaga di NKRI yang memiliki senjata selain TNI dan Polri."
"Polisi pun tidak boleh memiliki senjata yang bisa menembak tank, pesawat, atau kapal. Kalau ada, saya serbu. Ini ketentuan. Karena kalau cara hukum tidak bisa, bhayangkari nanti yang akan muncul," kata Gatot.
Tiga hari berselang, saat dikonfirmasi, Gatot enggan menanggapi pernyataannya yang memicu pro dan kontra itu. Menurutnya pernyataan tersebut dikeluarkannya dalam forum tertutup, namun ternyata bocor ke publik.
"Benar itu omongan saya, itu kata-kata saya, itu benar seribu persen kata-kata saya. Saya tidak mau menanggapi itu. Kalau saya press release, Anda bertanya kepada saya, saya jawab," kata Gatot, Minggu, 24 September.(Leon/int)