Para Panglima Islam Penakluk Dunia
D'On, Bandung,- Meluasnya wilayah dakwah Islam tak lepas dari peran para panglima Islam. Dengan keberanian, kecerdasan, dan semangatnya, mereka berhasil menaklukan daerah-daerah baru dan tunduk kepada aturan Islam. Siapa saja mereka? Berikut di antara para panglima itu.
'Uqbah bin Nafia
'Uqbah bin Nafia
'Uqbah bin Nafia dikenal pemuda pemberani dan cerdas dalam strategi dan taktik militer. Melihat kemampuannya itu, Khalifah Mu'awiyah memberikan amanat kepada 'Uqbah untuk memimpin tentara Islam menaklukkan wilayah Afrika.
Bersama 10 ribu pasukan yang dipimpinnya, 'Uqbah berhasil melakukan ekspansi wilayah kekuasaan Islam dengan menaklukkan seluruh Afrika Utara. Penaklukan ini diawali dari wilayah Tunisia. Di tempat ini, 'Uqbah bersama pasukannya membangun sebuah kota yang dikenal dengan sebutan Qairawan (Kairouan). Oleh 'Uqbah, Qairawan dijadikan pusat pemerintahan Islam di Afrika Utara.
Setelah menguasai Tunisia, 'Uqbah menaklukkan Kur, sebuah wilayah di Sudan. Di bawah komandonya pula, tentara Islam mampu melakukan ekspansi sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). 'Uqbah dibunuh ketika dalam perjalanan pulang ke Qairawan selepas beliau melakukan pertemuran di Algeria Timur pada tahun 683 M.
Khalid bin Walid
Sebelum memeluk Islam, Khalid sempat menjadi panglima perang kaum Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavelerinya. Pasca perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada 628 M, Khalid memutuskan masuk Islam. Tiga tahun berselang, untuk pertama kalinya ia bergabung dalam pasukan Islam dalam pertempuran yang cukup penting, yakni pertempuran Mu'tah.
Dalam pertempuran tersebut, ia menjadi prajurit biasa bersama 3.000 pasukan Madinah lainnya menghadapi sekitar 200 ribu pasukan Romawi Timur. Di tengah pertempuran yang berlangsung selama tujuh hari ini, ia ditunjuk menjadi panglima karena tewasnya tiga panglima yang sebelumnya telah ditunjuk, yaitu Zayd bin Haritsah, Ja'far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hari ketujuh perang berakhir dengan mundurnya kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini, Khalid mematahkan sembilan pedangnya yang menunjukkan betapa sengitnya pertempuran antar kedua belah pihak.
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali meminta Khalid memimpin 18 ribu pasukan Muslim untuk berperang melawan pasukan Persia. Pasukan Muslim yang dipimpinnya berhasil membuat pasukan musuh bertekuk lutut dan menguasai wilayah Persia.
Shalahuddin Al-Ayubi
Shalahudin Al-Ayubi atau tepatnya Shalahuddin Yusuf bin Ayyub, terlahir dari sebuah keluarga Kurdish di kota Tikrit (140 km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M.
Karirnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Asasuddin Syirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (Crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran. Ia diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan mendiang pamannya.
Setelah wafatnya Sultan Nuruddin (659 H), Shalahuddin berhasil melebarkan sayap kekuasaan Islam ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu per satu wilayah penting berhasil dikuasainya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138), dan Mosul (1186).
Pada 4 Juli 1187, Shalahuddin beserta pasukannya berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Thariq bin Ziyad
Para sejarawan mengatakan Thariq adalah bekas seorang budak yang kemudian dimerdekakan oleh Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara. Dan di tangan Musa ini pula ia memeluk agama Islam.
Musa kemudian mengangkat Thariq menjadi penguasa daerah Tanja, terletak di ujung Maroko dengan 19 ribu tentara dari bangsa Barbar. Sekitar bulan Rajab tahun 97 H (Juli 711 M), Thariq bin Ziyad mendapat perintah dari Musa untuk menyerang semenajung Andalusia. Dengan 7.000 prajurit yang sebagian besar berasal dari bangsa Barbar, Thariq menyeberangi selat Andalusia yang berjarak hanya 13 mil laut dengan kapal. Setelah mendarat di pantai karang yang kemudian dinamai Gibraltar, Thariq beserta pasukannya berhadapan dengan 25.000 prajurit Visigoth.
Saat itulah peristiwa heroik terjadi. Thariq membakar semua kapal yang mengangkut pasukannya. Lalu ia menyulut semangat pasukannya untuk berani melawan pasukan musuh yang jumlahnya lebih besar. Dibakarnya kapal-kapal tersebut agar tidak ada seorang pun pasukannya yang mundur. "Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari? Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran," demikian petikan pidato Thariq di tengah pasukannya.
Pertempuran akhirnya dimenangkan oleh pasukan Muslim. Andalusia berhasil ditaklukkan. Thariq kemudian meminta tambahan pasukan kepada Gubernur Musa. Lalu dikirimlah 5.000 prajurit yang sebagian besar berasal dari bangsa Barbar. Satu demi satu kota-kota di Andalusia berhasil diduduki tentara Thariq: Cordoba, Elvira, Granada, Malaga, dan Toledo, yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Visigoth. Antara musim semi sampai musim panas tahun 711 H, Thariq telah berhasil menguasai separuh wilayah Andalusia.
Muhammad Al Fatih
Muhammad Al Fatih lahir pada 20 April 1429 M atau bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 833 H. Ia merupakan putra ketiga Sultan Murab II. Semasa kecil, Al-Fatih termasuk anak yang manja dan malas belajar. Setelah ayahnya menghadirkan seorang guru bernama Syaikh Ahmad bin Ismail al-Kurani ia mulai belajar dengan serius. Setelah ayahnya wafat, Al-Fatih diangkat menjadi sultan pada usia 21 tahun. Ia memiliki cita-cita besar menaklukan Konstantinopel.
Setelah melalui berbagai persiapan, akhirnya Al-Fatih beserta pasukannya tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Al-Fatih berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia juga membacakan ayat-ayat al-Qur`an mengenai jihad dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kota Konstantinopel. Ini semua memberikan suntikan semangat yang tinggi pada pasukannya.
Setelah melalui rangkaian peperangan, akhirnya cita-cita besar Al-Fatih terwujud. Di bawah kekuasaannya nama Konstantinopel diubah menjadi Islambul yang berarti "Kota Islam", tapi kemudian penyebutan ini bergeser menjadi Istanbul seperti yang kita kenal sekarang. Sejak itu, ibu kota Turki Ustmani beralih ke kota ini yang kemudian menjadi pusat peradaban Islam selama beberapa abad.
#Abu Khalil
Dari berbagai sumber