Presiden Jokowi Teken Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan
D'On, Jakarta,- Dengan pertimbangan dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan, pemerintah memandang perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Ditegaskan dalam Perpres ini, Pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh Pihak. Kawasan hutan sebagaimana dimaksud merupakan kawasan hutan pada tahap penunjukan kawasan hutan, yang meliputi kawasan hutan dengan fungsi pokok: a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, menurut Perpres ini, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
“Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: a. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; b. tukar menukar kawasan hutan; c. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau d. melakukan resettlement,” bunyi Pasal 8 ayat (2) ayat (1) Perpres ini.
Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, memperhitungkan: a. luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan b. fungsi pokok kawasan hutan.
Adapun pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi , menurut Perpres ini, dilakukan melalui resettlement atau pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi adalah:
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement;
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Ditegaskan dalam Perpres ini, Pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh Pihak. Kawasan hutan sebagaimana dimaksud merupakan kawasan hutan pada tahap penunjukan kawasan hutan, yang meliputi kawasan hutan dengan fungsi pokok: a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, menurut Perpres ini, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
“Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: a. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; b. tukar menukar kawasan hutan; c. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau d. melakukan resettlement,” bunyi Pasal 8 ayat (2) ayat (1) Perpres ini.
Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, memperhitungkan: a. luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan b. fungsi pokok kawasan hutan.
Adapun pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi , menurut Perpres ini, dilakukan melalui resettlement atau pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi adalah:
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, menurut Perpres ini, dilakukan dengan:
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resetlement;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriiteria sebagai hutan lindung dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial
“Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres tersebut.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, menurut Perpres ini:
a. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau resetllement;
b. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi:
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi:
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
dalam hal bidang tanah tersebut digunalan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
“Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres ini.
Dalam rangka penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, disusun Rencana Aksi penyelesaian penguasaan tanath dalam kawasan hutan. Rencana aksi sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut Tim Percepatan PPTKH.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017 itu. (stk)