Presiden Teken PP Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Harta Bersih Yang Dianggap Sebagai Penghasilan
D'On, Jakarta,- Dengan pertimbangan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan terkait pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak, pemerintah memandang perlu menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan tertentu yang bersifat final.
Atas pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih Yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan (tautan: PP_Nomor_36_Tahun_2017).
Dalam PP ini disebutkan, Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan meliputi: a. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak; b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pemyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak; dan/ atau c. Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak, dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Bersih dimaksud sebelum tanggal 1 Juli 2019.
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud termasuk: a. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak, namun tidak mencerminkan: 1. Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum: a) SPT PPh Terakhir; dan b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku; 2. Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir; dan 3. Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
“Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud merupakan Harta Bersih yang: a. diperoleh Wqiib Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan b. masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak Terakhir, dan merupakan Harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dengan ketentuan: a. masih dimiliki Wajb Pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir; dan b. belum dilaporkan dalam SPT PPh sampai dengan diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu bempa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan,” bunyi Pasal 2 ayat (3,4) PP ini.
Penghasilan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, merupakan penghasilan tertentu yang terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sedangkan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada adihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.
Tarif sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, ditetapkan sebagai berikut: a. Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen); b. Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% (tiga puluh persen); dan c. Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
Wajib Pajak Tertentu
Mengenai Wajib Pajak Tertentu, PP Nomor: 36 Tahun 2017 ini menyebutkan: a. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapaa ratus juta rupiah); b. Wajb Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah).
Atau c. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, dengan ketentuan: 1. jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah); dan 2. jumlah penghasilan bruto yang bersumber: a) dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud, paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
“Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud meliputi seluruh penghasilan yang: a. merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan b. merupakan objek Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 4 ayat (3) PP ini.
Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud ditentukan: a. bagi Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan, berdasarkan: 1. SPT PPh Terakhir; 2. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan, dalam hal SPT PPh Terakhir tidak dilampirkan dalam Surat Pernyataan; atau 3. surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud.
Dasar pengenaan Pajak Penghasilan, menurut PP ini, dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud adalah sebesar jumlah Harta Bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan;
Atas pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih Yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan (tautan: PP_Nomor_36_Tahun_2017).
Dalam PP ini disebutkan, Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan meliputi: a. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak; b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pemyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak; dan/ atau c. Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak, dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Bersih dimaksud sebelum tanggal 1 Juli 2019.
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud termasuk: a. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak, namun tidak mencerminkan: 1. Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum: a) SPT PPh Terakhir; dan b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku; 2. Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir; dan 3. Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
“Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud merupakan Harta Bersih yang: a. diperoleh Wqiib Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan b. masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak Terakhir, dan merupakan Harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dengan ketentuan: a. masih dimiliki Wajb Pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir; dan b. belum dilaporkan dalam SPT PPh sampai dengan diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu bempa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan,” bunyi Pasal 2 ayat (3,4) PP ini.
Penghasilan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, merupakan penghasilan tertentu yang terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sedangkan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada adihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.
Tarif sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, ditetapkan sebagai berikut: a. Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen); b. Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% (tiga puluh persen); dan c. Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
Wajib Pajak Tertentu
Mengenai Wajib Pajak Tertentu, PP Nomor: 36 Tahun 2017 ini menyebutkan: a. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapaa ratus juta rupiah); b. Wajb Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah).
Atau c. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, dengan ketentuan: 1. jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah); dan 2. jumlah penghasilan bruto yang bersumber: a) dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud, paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
“Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud meliputi seluruh penghasilan yang: a. merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan b. merupakan objek Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan,” bunyi Pasal 4 ayat (3) PP ini.
Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud ditentukan: a. bagi Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan, berdasarkan: 1. SPT PPh Terakhir; 2. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan, dalam hal SPT PPh Terakhir tidak dilampirkan dalam Surat Pernyataan; atau 3. surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud.
Dasar pengenaan Pajak Penghasilan, menurut PP ini, dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud adalah sebesar jumlah Harta Bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan;
2. Harta Bersih sebagaimana dimaksud adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan;
3. Harta Bersih sebagaimana dimaksud adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh;
4. Harta Bersih sebagaimana dimaksud adalah sebesar selisih lebih antara Harta Bersih yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dengan jumlah yang mencerminkan: 1. Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum: a) SPT PPh Terakhir; dan b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku; 2. Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak Terakhir; dan 3. Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau
5. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta sebagaimana dimaksud merupakan nilai Harta Bersih per akhir Tahun Pajak Terakhir yang tidak dilunasi Uang Tebusannya sebagaimana tercantum dalam Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017 itu.