Brimob Tembak Brimob
D'On, Jawa Tengah,- Kepolisian didesak untuk memperketat pengawasan penggunaan senjata oleh personelnya menyusul insiden maut yang menewaskan tiga personel anggota Brigadir Mobil (Brimob) di Blora pada Selasa (10/10) malam.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengki Indarti menjelaskan, meski belum diketahui secara pasti motif insiden yang menewaskan dua anggota Brimob oleh rekannya sesama anggota Brimob, namun menurutnya ini menjadi momen bagi kepolisian untuk memperketat pengawasan penggunaan senjata oleh personelnya.
"Terkait kasus ini, pelakunya meningga dunia jadi enggak bisa lagi diadili, enggak bisa lagi diproses hukum karena pihak yang seharusnya bertanggungjawab sudah bunuh diri. Tapi sebagai pelajaran untuk ke depannya mesti harus diawasi benar-benar tentang penggunaan senjata ini," ujar Poengki kepada BBC Indonesia, Rabu (11/10) siang.
Keterangan resmi kepolisian menyebutkan, seorang personel Brimbob menembak dua rekannya sesama anggota Brimob saat bertugas jaga di lokasi pengeboran sumur minyak PT Sarana Gas Trembul (SGT) di Blora, Selasa (10/10) malam.
Kedua personel meninggal akibat serangan itu, dan pelaku penembakan kemudian bunuh diri dengan menembak kepalanya, ungkap pejabat kepolisian di Jawa tengah.
Penembakan diduga menggunakan senapan laras panjang jenis AK 101, senjata yang merupakan kelengkapan tugas personel Brimob ketika melakukan pengamanan.
Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono, langsung memberikan keterangan dalam jumpa pers keesokan harinya, Rabu (11/10) pagi. Condro mengatakan peristiwa terjadi tepatnya di Desa Karang Tengah, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada Selasa (10/10) sekitar pukul 18.00 WIB.
Ketiganya merupakan anggota anggota Subden IV Sat Brimob di Pati yang bertugas mengamankan objek vital nasional milik Sarana Gas Trembul. Condro menuturkan pihaknya masih menyelidiki kasus penembakan dan bunuh diri personel Brimob tersebut, Namun, dugaan kuat penyebab maut tersebut terjadi lantaran motif pribadi.
"Motifnya sampai tadi pagi, dimungkinkan, belum pasti, motif pribadi dari mereka," ujar Condro.
"Di situ sebenarnya dia baru bertugas satu bulan juga, belum lama. Dari pihak kami akan melakukan evaluasi internal," imbuhnya.
'Senjatanya ada di dekatnya'
Condro lantas menjelaskan kronologi insiden tersebut. Pada pukul Selasa (10/10) pukul 18.00 WIB, salah satu anggota Brimob Brigadir Muhadi mendengar dua letusan tembakan di lokasi pengeboran minyak SGT 01 saat berada di kamar mandi. Ia langsung keluar menuju sumber suara dan melihat dua anggota Brimob tergeletak.
"Ada saksi yang melihat di situ bahwa mendengar tembakan dua kali, jaraknya tidak begitu lama, kemudian saksi keluar dari kamar mandi, bertemu dengan Bripka BT. Kemudian tidak berapa lama dia diminta jangan mendekat (oleh Bripka BT).
Tak berapa lama setelah dua letusan pertama, kembali terdengar suara tembakan. Sejumlah saksi kemudian mengecek sumber suara dan menemukan ketiganya tergeletak, sementara senjata berada di dekat badan Bripka BT yang terbujur kaku.
"Dan senjatanya ada di dekatnya. Jadi yang ada senjata ada di dekat BT," cetusnya.
Kendati begitu, ia belum dapat memastikan dalam insiden tersebut Bripka BT yang menembak keduanya, lalu bunuh diri, atau terjadi baku tembak sebelumnya.
"Memang itu semua harus kita cek, baik dari labfor (laboratorium forensik) dari olah TKP maupun dari otopsi. Memang yang dua korban pertama Brigadir BW dan Brigadir AS itu tidak ada senjata. Kemudian Bripka BT di situ ada senjata. Kita lihat nanti sidik jarinya," jelas Condro lagi.
Hingga saat ini polisi masih menjalankan olah tempat kejadian perkara. Jenazah ketiga anggota Subden IV Brimob Polda Jateng itu masih ada di Blora untuk dilakukan autopsi.
Pemeriksaaan kejiwaan dan tes narkoba berkala
Hal ini bukan pertama kalinya insiden bunuh diri dan terbunuhnya anggota kepolisian oleh sesama rekannya, Poengki menjelaskan.
Pada sekitar 1990an terjadi kasus serupa dimana anggota Brimob menembak sesama rekannya. Dari keterangan para saksi, pelaku diduga stres dan mengidap penyakit malaria.
Padahal, sebagai anggota Brimob mereka harus melewati serangkaian pemeriksaaan untuk memastikan senjata api yang digunakan ketika melakukan pengamanan tersebut aman di tangan yang menggunakan.
"Itu harus ada pemeriksaan berkala, kalau kaya gitu kan biasanya enam bulan diperiksa lagi apakah yang bersangkutan kejiwaannya itu bagus untuk pegang itu. Jadi itu direview. Jadi misalnya kalau ada yang bunuh diri, mungkin setelah dia mendapat surat izin ada yang tak terduga yang membuat dia harus mengakhiri hidupnya," jelas Poengki.
"Termasuk kondisi kejiwaaan, termasuk tes urine juga apakah yang bersangkutan pengguna narkoba atau tidak. Yang kayak gitu kan harus dicek juga. Jangan sampai misalnya orang lagi sakau, atau pengguna narkoba, ini jadi polisi," tegasnya.
Penggunaan senjata sebagai 'last resort'
Terkait penggunaan senjata, Poengki menambahkan, anggota kepolisian harus mematuhi Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
"Penggunaan senjata itu the last resort (upaya terakhir)," kata dia.
Selain itu, mereka juga harus tunduk pada Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut disebutkan ketika akan menggunakan senjata api, aparat kepolisian harus patuh pada asas-asas legalitas, proporsionalitas dan nesesitas (kebutuhan).
"Jadi itu yang harus dipatuhi anggota kepolisian yang membawa senjata api.
Lebih lanjut, Poengki menjelaskan saat ini ada sekitar sekitar 430.000 anggota kepolisian. Dari jumlah tersebut, tidak semuanya dibekali senjata api. Diakuinya, penembakan kasus yang melibatkan anggota kepolisian hanya terjadi sekitar 5 kali. Namun, tetap harus jadi perhatian.
"Dan saya berharap Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang hak asasi manusia yang harus jadi acuan aparat kepolisian untuk menggunakan senjata. Jadi mereka mesti menggunakan secara legal senjata itu, ada perintah, terus kemudian perlu tidak menggunakan senjata serta proporsional tidak menggunakan senjata. (inet)
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengki Indarti menjelaskan, meski belum diketahui secara pasti motif insiden yang menewaskan dua anggota Brimob oleh rekannya sesama anggota Brimob, namun menurutnya ini menjadi momen bagi kepolisian untuk memperketat pengawasan penggunaan senjata oleh personelnya.
"Terkait kasus ini, pelakunya meningga dunia jadi enggak bisa lagi diadili, enggak bisa lagi diproses hukum karena pihak yang seharusnya bertanggungjawab sudah bunuh diri. Tapi sebagai pelajaran untuk ke depannya mesti harus diawasi benar-benar tentang penggunaan senjata ini," ujar Poengki kepada BBC Indonesia, Rabu (11/10) siang.
Keterangan resmi kepolisian menyebutkan, seorang personel Brimbob menembak dua rekannya sesama anggota Brimob saat bertugas jaga di lokasi pengeboran sumur minyak PT Sarana Gas Trembul (SGT) di Blora, Selasa (10/10) malam.
Kedua personel meninggal akibat serangan itu, dan pelaku penembakan kemudian bunuh diri dengan menembak kepalanya, ungkap pejabat kepolisian di Jawa tengah.
Penembakan diduga menggunakan senapan laras panjang jenis AK 101, senjata yang merupakan kelengkapan tugas personel Brimob ketika melakukan pengamanan.
Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono, langsung memberikan keterangan dalam jumpa pers keesokan harinya, Rabu (11/10) pagi. Condro mengatakan peristiwa terjadi tepatnya di Desa Karang Tengah, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada Selasa (10/10) sekitar pukul 18.00 WIB.
Ketiganya merupakan anggota anggota Subden IV Sat Brimob di Pati yang bertugas mengamankan objek vital nasional milik Sarana Gas Trembul. Condro menuturkan pihaknya masih menyelidiki kasus penembakan dan bunuh diri personel Brimob tersebut, Namun, dugaan kuat penyebab maut tersebut terjadi lantaran motif pribadi.
"Motifnya sampai tadi pagi, dimungkinkan, belum pasti, motif pribadi dari mereka," ujar Condro.
"Di situ sebenarnya dia baru bertugas satu bulan juga, belum lama. Dari pihak kami akan melakukan evaluasi internal," imbuhnya.
'Senjatanya ada di dekatnya'
Condro lantas menjelaskan kronologi insiden tersebut. Pada pukul Selasa (10/10) pukul 18.00 WIB, salah satu anggota Brimob Brigadir Muhadi mendengar dua letusan tembakan di lokasi pengeboran minyak SGT 01 saat berada di kamar mandi. Ia langsung keluar menuju sumber suara dan melihat dua anggota Brimob tergeletak.
"Ada saksi yang melihat di situ bahwa mendengar tembakan dua kali, jaraknya tidak begitu lama, kemudian saksi keluar dari kamar mandi, bertemu dengan Bripka BT. Kemudian tidak berapa lama dia diminta jangan mendekat (oleh Bripka BT).
Tak berapa lama setelah dua letusan pertama, kembali terdengar suara tembakan. Sejumlah saksi kemudian mengecek sumber suara dan menemukan ketiganya tergeletak, sementara senjata berada di dekat badan Bripka BT yang terbujur kaku.
"Dan senjatanya ada di dekatnya. Jadi yang ada senjata ada di dekat BT," cetusnya.
Kendati begitu, ia belum dapat memastikan dalam insiden tersebut Bripka BT yang menembak keduanya, lalu bunuh diri, atau terjadi baku tembak sebelumnya.
"Memang itu semua harus kita cek, baik dari labfor (laboratorium forensik) dari olah TKP maupun dari otopsi. Memang yang dua korban pertama Brigadir BW dan Brigadir AS itu tidak ada senjata. Kemudian Bripka BT di situ ada senjata. Kita lihat nanti sidik jarinya," jelas Condro lagi.
Hingga saat ini polisi masih menjalankan olah tempat kejadian perkara. Jenazah ketiga anggota Subden IV Brimob Polda Jateng itu masih ada di Blora untuk dilakukan autopsi.
Pemeriksaaan kejiwaan dan tes narkoba berkala
Hal ini bukan pertama kalinya insiden bunuh diri dan terbunuhnya anggota kepolisian oleh sesama rekannya, Poengki menjelaskan.
Pada sekitar 1990an terjadi kasus serupa dimana anggota Brimob menembak sesama rekannya. Dari keterangan para saksi, pelaku diduga stres dan mengidap penyakit malaria.
Padahal, sebagai anggota Brimob mereka harus melewati serangkaian pemeriksaaan untuk memastikan senjata api yang digunakan ketika melakukan pengamanan tersebut aman di tangan yang menggunakan.
"Itu harus ada pemeriksaan berkala, kalau kaya gitu kan biasanya enam bulan diperiksa lagi apakah yang bersangkutan kejiwaannya itu bagus untuk pegang itu. Jadi itu direview. Jadi misalnya kalau ada yang bunuh diri, mungkin setelah dia mendapat surat izin ada yang tak terduga yang membuat dia harus mengakhiri hidupnya," jelas Poengki.
"Termasuk kondisi kejiwaaan, termasuk tes urine juga apakah yang bersangkutan pengguna narkoba atau tidak. Yang kayak gitu kan harus dicek juga. Jangan sampai misalnya orang lagi sakau, atau pengguna narkoba, ini jadi polisi," tegasnya.
Penggunaan senjata sebagai 'last resort'
Terkait penggunaan senjata, Poengki menambahkan, anggota kepolisian harus mematuhi Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
"Penggunaan senjata itu the last resort (upaya terakhir)," kata dia.
Selain itu, mereka juga harus tunduk pada Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut disebutkan ketika akan menggunakan senjata api, aparat kepolisian harus patuh pada asas-asas legalitas, proporsionalitas dan nesesitas (kebutuhan).
"Jadi itu yang harus dipatuhi anggota kepolisian yang membawa senjata api.
Lebih lanjut, Poengki menjelaskan saat ini ada sekitar sekitar 430.000 anggota kepolisian. Dari jumlah tersebut, tidak semuanya dibekali senjata api. Diakuinya, penembakan kasus yang melibatkan anggota kepolisian hanya terjadi sekitar 5 kali. Namun, tetap harus jadi perhatian.
"Dan saya berharap Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang hak asasi manusia yang harus jadi acuan aparat kepolisian untuk menggunakan senjata. Jadi mereka mesti menggunakan secara legal senjata itu, ada perintah, terus kemudian perlu tidak menggunakan senjata serta proporsional tidak menggunakan senjata. (inet)