Breaking News

Yusril Diantara Koalisi Tidak Akur

D'On, Jakarta,- Meski mungkin dianggap sebelah mata, Partai Bulan Bintang sudah dipastikan menjadi bagian dari Pemilu 2019 setelah dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Maret lalu. Ketua PBB Yusril Ihza Mahendra melakukan ancang-ancang, termasuk menentukan sikap untuk Pilpres 2019. 

Meski begitu, saat ini Yusril mengaku kesulitan menentukan pilihan. Dilema antara memilih Kubu Jokowi atau Prabowo. Salah satunya karena alasan Ijtima Ulama yang dilakukan oleh Koalisi Prabowo beberapa waktu lalu. Gerakan ini dipelopori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.

Hasilnya, Ijtima merekomendasikan dua nama yang berasal dari kalangan ulama, yakni politikus senior PKS Salim Segaf Al Jufri atau Ustaz Abdul Somad. Sayangnya, dua sosok tersebut sama sekali tidak dilirik. Prabowo malah memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres, yang notabene bukan berasal dari ulama, melainkan pengusaha. 

Dalam akun instagramnya, Yusril bercerita bahwa Ijtima hanya sebatas fatamorgana. Dia pun mengatakan meski diundang, PBB tidak pernah terlibat disana. Dia pun mengatakan beberapa kali menghubungi Gerindra dan PAN untuk memastikan nasib koalisi yang diusung Habib Rizieq itu, namun tak pernah ada jawaban yang pasti. 

Ironisnya, Gerindra menyebut bahwa sudah sering menghubungi Yusril, namun sulit untuk ditemui karena Yusril sering berada di luar negeri. 

Meski dikabarkan akan ada Ijtima Jilid Dua, namun hasil Ijtima pertama yang menunjukan bahwa rekomendasi ulama soal cawapres sama sekali tidak digubris membuktikan bahwa ijtima kedua, ketiga dan seterusnya sama sekali tidak akan merubah peta koalisi. Sandiaga Uno sudah kadung menjadi Cawapres Prabowo. Duet tersebut sudah terdaftar di KPU. 

Sementara kubu Prabowo masih mempermasalahkan posisi cawapres yang harus berasal dari ulama, kubu Jokowi justru tanpa basa-basi, langsung memilih ulama sebagai cawapres. Tak tanggung-tanggung, sosok yang dipilih adalah orang nomor satu di Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus petinggi Nahdatul Ulama (NU), Ma'ruf Amin. 

Fakta tersebut membuat Yusril bisa saja berpindah dukungan. Yusril juga merasa bahwa dia dan PBB merasa lebih diperhatikan saat bersama koalisi Jokowi. 

Di sisi lain, Yusril juga melihat adanya potensi perpecahan di kubu Prabowo. Salah satunya soal isu mahar politik yang diungkapkan elit Demokrat Andi Arief terhadap mahar politik yang diberikan Sandi terhadap PKS dan PAN agar mau memberikan dukungan padanya. Sandi dituding menyogok masing-masing 500 miliar. 

Tentu saja tuduhan ini membuat PKS dan PAN tersinggung. Kedua partai berencana mempolisikan Andi. Sayangnya, Demokrat membela Andi. Konon, Andi didukung oleh kader-kader partai yang kecewa karena Prabowo tidak memilih AHY sebagai cawapres.

“Di balik realitas politik, yang di atas kertas tak lagi bisa diubah,sikap Andi Arief yang terang-terangan mewakili sebenar-benarnya suara hati setiap kader Demokrat. Dia tidak sendirian. Dia berkelahi demi kehormatan Partai dan setiap kadernya bukan untuk dia pribadi,” cuit Wasekjen PD Rachland Nashidik dalam akun twitter @RachlanNashidik yang dikutip, Rabu(15/8/2018).

Belakangan juga Gerinda dan PKS terlibat perang internal koalisi, soal niat Gerindra untuk merekrut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai kadernya. Gerindra menawarkan opsi jika Anies menjadi kader Gerindra, maka posisi wagub yang ditinggalkan Sandi bisa diisi oleh kader PKS.

Namun PKS menolak, dengan alasan bahwa keputusan tersebut harus ditempuh berdasarkan kesepakatan koalisi. 

Rasa sakit hati, kisruh internal koalisi, barangkali bisa menjadi alasan bagi Yusril untuk berpindah haluan ke kubu Jokowi. Ketika koalisi dituntut untuk berkonsentrasi memenangkan pasangan Prabowo-Sandi yang terjadi malah pertengkaran yang sebetulnya akan memecah belah koalisi. Bikin tak akur.

Sedangkan di kubu Jokowi, sejak diumumkannya timses beberapa hari lalu, tampaknya sudah beberapa langkah lebih maju. (mi/mond)