AS Klaim Miliki Bukti Myanmar Lakukan Genosida Terhadap Ronghiya
D'On, Myanmar,- Tim investigasi pemerintah Amerika Serikat mengklaim menemukan bukti bahwa militer Myanmar merencanakan kampanye pembunuhan massal, perkosaan, dan kekejaman lainnya yang terkoordinasi dengan baik terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Dugaan ini terangkum dalam laporan Kementerian Luar Negeri AS yang akan dirilis ke publik pada Senin (1/10) mendatang. Laporan ini diharapkan bisa menjadi bukti untuk penerapan sanksi AS atau tindakan hukum lainnya terhadap pemerintah Myanmar.
Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara terhadap lebih dari seribu orang Rohingya di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, di mana sekitar 700 ribu korban kekerasan di Myanmar kabur.
“Survei ini mengungkap kekerasan yang terjadi baru-baru ini di wilayah Rakhine Utara sangat ekstrem. Kekerasan ini termasuk dalam skala besar dan ditargetkan untuk melakukan teror dan mengusir penduduk Rohingya,” tulis laporan itu.
“Ruang lingkup dan skala operasi militer menunjukkan bahwa mereka terencana dan terkoordinasi dengan baik,” tambahnya.
Sejumlah korban selamat menggambarkan secara detail yang mereka saksikan, termasuk ketika para tentara membunuh bayi dan anak-anak.
Mereka juga menceritakan penembakan orang tak bersenjata, orang dikubur hidup-hidup, hingga korban dilemparkan langsung ke kuburan massal yang dibangun militer Myanmar.
Tak hanya itu, mereka juga menggambarkan kekerasan seksual yang dilakukan di depan umum oleh militer Myanmar.
Menurut laporan itu, seorang saksi juga menggambarkan empat gadis Rohingya yang diculik, diikat dengan tali, diperkosa selama tiga hari, dan dibiarkan dalam keadaan setengah mati.
Berbagai kelompok hak asasi manusia dan aktivis memperkirakan ribuan orang tewas akibat serangkaian kekerasan yang pertama kali pecah setelah kelompok bersenjata Rohingya menyerang sejumlah pos keamanan di Rakhine pada 2017 lalu.
“Kisah-kisah dari beberapa pengungsi menunjukkan pola perencanaan dan pra-meditasi yang dilakukan oleh militer dan penyerang lainnya,” bunyi laporan itu.
Laporan itu menyebut sekitar 80 persen pengungsi yang disurvei mengatakan bahwa mereka menyaksikan pembunuhan itu dilakukan oleh militer dan aparat kepolisian.
“Laporan mutilasi termasuk pemotongan serta penyebaran isi perut, memotong tangan, membakar jenggot, serta memotong alat kelamin dan dibakar hidup-hidup, semua hal itu dilakukan untuk pemaksaan pengakuan,” tulis tim investigasi Kemlu AS.
Laporan PPB temukan dugaan genosida
Dokumen ini akan dirilis satu bulan setelah PBB mengeluarkan laporan yang juga menuduh militer Myanmar melakukan tindakan “genosida” dan menyerukan panglima tertinggi negara itu dan lima jenderal lainnya untuk dituntut berdasarkan hukum internasional.
Militer Myanmar membantah tuduhan upaya pembersihan etnis dan mengatakan tindakan mereka sebagai perang melawan terorisme.
Seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri AS mengatakan bahwa tujuan penyelidikan itu bukan untuk menjelaskan genosida, tetapi untuk “mendokumentasikan fakta” mengenai kekejaman dan meminta pertanggungjawaban dari para pelaku.
Pejabat anonim lain mengatakan bahwa Menlu AS, Mike Pompeo, yang nantinya akan menentukan langkah selanjutnya, dibawa ke ranah hukum atau tidak.
Selama ini, AS hanya menyebut tindakan militer Myanmar ini sebagai “pembersihan etnis.” Jika AS mendeklarasikan tindakan ini sebagai genosida, maka mereka dapat menjatuhkan hukuman bagi Myanmar.
Model investigasi Kemlu AS ini sama seperti penyelidikan kekejaman yang dilakukan di wilayah Darfur, Sudan, pada 2004 lalu. AS akhirnya menyatakan kekejaman di Sudan itu sebagai upaya genosida dan menjatuhkan sanksi atas negara tersebut.
Agustus lalu, pemerintah AS menjatuhkan sanksi terhadap empat komandan militer, petugas polisi, dan dua unit tentara. Namun, sanksi ini tidak menyerang panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing.
AS dianggap harus berhati-hati dalam bersikap tegas terhadap Myanmar karena hubungan dengan pemerintah sipil Myanmar di bawah Aung San Suu Kyi akan semakin membingungkan. Militer Myanmar juga dapat sewaktu-waktu mendekat ke China. (cnn)