Breaking News

Miris, Oknum Polisi Aniaya Juniornya Hingga Tewas

D'On, Sulawesi Tenggara,- Bripda Faturrahman Ismail, seorang bintara yang bertugas di Sabhara, Polda Sulawesi Tenggara tewas setelah diduga dianiaya dua seniornya pada Senin dini hari, 3 September 2018.
Kedua orangtua Faturrahman, tidak sempat datang ke rumah sakit menjenguk korban. Keluarganya berdomisili di Kabupaten Kolaka Utara, berjarak sekitar 300 kilometer lebih dari TKP.

Selain itu, jalur menuju lokasi memiliki medan yang cukup sulit. Melewati sejumlah gunung, kedua orang tua harus menghabiskan waktu 7 jam untuk menuju rumah sakit.
"Korban langsung diantar ke Kolaka Utara, menuju rumah duka. Orangtua sudah menunggu di sana," ujar keluarga korban Yusran Makmur, ditemui di RS Bhayangkara.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara bersama sejumlah anggotanya turut mengantarkan langsung korban ke rumah duka. Sejumlah keluarga histeris saat masuk menyingkap kain pembungkus korban di kamar jenazah.
Saat ini, kedua pelaku telah ditangkap dan diamankan di Propam Polda Sultra. Keduanya pun telah menjalani rekonstruksi perkara.
Dari pemeriksaan pelaku, polisi mengungkapkan sejumlah fakta miris di balik tewasnya Faturrahman tersebut. Apa saja?

1. Motif Cemburu


Kecemburuan polisi di Polda Sultra pada juniornya berubah jadi dendam dan dilampiaskan dengan pemukulan pada tengah malam di hadapan 19 rekan polisi muda. 
Kasus penganiayaan yang dialami Bripda Faturrahman Ismail (20) hingga tewas di Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) ternyata bermotif cemburu. Hal itu terungkap usai pemeriksaan selama 12 jam terhadap kedua anggota polisi penganiaya juniornya.
Identitas kedua polisi bermasalah itu adalah Bripda Sulfikar dan Bripda Fislan. Bripda Sulfikar lebih senior dua tahun dibanding pelaku, sedangkan Bripda Fislan senior setahun.
"Bripda Sulfikar menaruh cemburu kepada korban," ujar Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara, AKBP Harry Goldenhart.
Menurut Goldenhart, Sulfikar mengetahui polisi muda itu pernah mengajak makan istrinya di suatu tempat, tanpa menyebutkan waktu kejadian itu. "Saat itu, pelaku mengetahui tindakan korban dan menyimpan dendam," tuturnya.
Dendam yang disimpan diluapkan pada Minggu, 2 September 2018, sekitar pukul 23.30 Wita. Saat itu, Sulfikar dan korban serta bersama rekan-rekannya baru saja menggelar operasi cipta kondisi.
"Saya cemburu, soalnya istri saya pernah jalan sama dia," ujar Sulfikar di depan penyidik Propam dan Ditkrimum Polda Sultra.

2. Luka di Jantung dan Perut


Usai menggelar operasi cipta kondisi, korban bersama 19 rekannya diperintah berbaris di depan barak. Saat berbaris, korban kemudian dipukuli bergantian kedua seniornya.
Aksi pemukulan itu tak berani dihentikan rekan-rekan polisi muda karena pemukulan dilakukan polisi senior di Satuan Sabhara Polda Sultra.
Pihak kepolisian daerah Sulawesi Tenggara langsung melakukan autopsi begitu korban dibawa ke RS Bhayangkara Kendari. Dari hasil autopsi, ternyata luka di jantung menjadi dugaan kuat korban mengalami sesak napas dan kejang-kejang.
"Korban mengalami luka memar pada dada sebelah kiri dan luka memar pada perut sebelah bawah," kata tim Dokter RS Bhayangkara Kendari, Kompol Mauluddin, Senin (3/9/2018)
Sementara dari visum dalam, korban mengalami luka memar pada jantung, retak pada tulang rusuk nomor 7 dan pada pembungkus jantung.
"Ada resapan darah pada otot perut, diduga karena benturan benda tumpul keras," ujarnya.

3. Sempat Pingsan

Saat berbaris di depan barak, Bripda Faturrahman mengalami kekerasan dari kedua seniornya. Keduanya bergantian memukul dan menendang korban di bagian dada dan perut.
Saat dihujani pukulan itu, Faturrahman langsung sesak napas. Namun, saat sesak napas dikira hanya sakit biasa dan tak dipedulikan oleh kedua pelaku.
Korban sempat pingsan selama beberapa lama. Saat diperiksa oleh sejumlah rekannya, ternyata korban sudah tidak bernyawa.
"Kedua pelaku lebih senior 2 tahun, salah satu pelaku malah hanya berbeda satu tahun," ujar Goldenhart.

4. Pelaku Tak Langsung Dipecat


Kedua polisi penganiaya juniornya kini ditahan di dalam sel Rutan Polda Sultra. Pihak Propam dan Direktorat Reserse Kriminal Umum sudah merekonstruksi kejadian penganiayaan.
"Ada beberapa adegan, sudah ditangani oleh Propam," kata Goldenhart.
Goldenhart mengatakan, kedua pelaku dikenai ancaman Pasal 351 subsider Pasal 354 KUHP terkait penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
"Terkait pemecatan atau sanksi berat lainnya, jelas mengikuti aturan. Tidak secepat itu," ujar Goldenhart saat ditanya soal ancaman sanksi pemecatan kedua pelaku.

5. Kerabat Bupati Kolaka


Polda Sultra dan Rumah Sakit Bhayangkara memulangkan jenazah polisi muda tersebut ke rumah duka. Sejumlah rekan korban ikut menyertai iring-iringan jenazah yang melalui rute sejauh 300 kilometer lebih.
Rumah korban diketahui berada di Desa Ponggiha, Jalan Poros Trans Sulawesi Sulawesi Tenggara-Sulawesi Selatan, Kabupaten Kolaka Utara. Kabupaten itu berada paling ujung Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Tiba di rumah duka sekitar pukul 17.00 Wita, jenazah korban disambut isak tangis keluarga. Korban ternyata merupakan kerabat dari Bupati Kolaka Utara, H Nurahman Umar. Saat sebelum pemakaman, Bupati ikut hadir di rumah duka dan tempat pemakaman umum.

6. Baru Terima Gaji 6 Bulan


Faturrahman Ismail (20) polisi yang tewas usai dianiaya kedua rekannya di Polda Sulawesi Tenggara, ternyata baru 6 bulan menikmati masa-masa tugasnya sebagai polisi muda. Selama itu pula, Faturrahman yang sempat menjalani kuliah di Universitas Hasanuddin Makassar itu, baru merasakan gaji sebagai polisi.
Gajinya di Polda Sultra, sering dikirimkan kepada orang tuanya di Kabupaten Kolaka Utara. Meskipun sedikit, Faturrahman rutin mengirimkan setiap bulan gajinya pada orang tua yang tinggal di kampung.
Dari keterangan keluarga, Faturrahman merupakan lulusan SMA tahun 2015 di Kabupaten Kolaka Utara. Usai menganggur selama setahun, Faturrahman sempat memutuskan kuliah mengambil jurusan teknik arsitektur.
"Saat kuliah 2016, dia lalu memutuskan mendaftar polisi dan akhirnya lulus," ujar Haidir, salah seorang sepupu korban. (mi)