Pertaruhan Terakhir Jokowi di Ranah Minang
D'On, Padang,- Kendati pada Pemilu Presiden 2014 pasangan Jokowi-Jusuf Kalla secara nasional menang dengan perolehan suara 53,15 persen, mengalahkan Prabowo-Hatta Rajasa yang hanya meraih 46,85 persen suara, di "Ranah Minang", Sumatera Barat Jokowi-JK kalah cukup telak.
Pada Pilpres 2014 di Sumatera Barat itu, Jokowi hanya mampu meraih 23 persen suara, sedangkan penantangnya Prabowo unggul dengan memperoleh 76,92 persen suara.
Bahkan, kekalahan Jokowi di Sumbar merupakan yang tertinggi secara persentase dan sebaliknya kemenangan Prabowo menjadi yang tertinggi.
Kendati tidak mendapat tempat di hati pemilih "Ranah Minang" tidak membuat orang nomor satu di Tanah Air itu berkecil hati dan berlaku diskriminatif.
Pada 8-10 Oktober 2015 Jokowi untuk pertama kalinya datang ke Sumbar. Selaku Kepala Negara, ia mengunjungi sejumlah lokasi, mulai dari Istana Bung Hatta Bukittinggi, peternakan sapi Padang Mengatas, Kawasan Wisata Bahari Terpadu Mandeh, hingga pembangunan Rail Bus di kawasan Bandara Internasional Minangkabau.
Pada April 2016, Jokowi untuk kedua kalinya datang ke Padang dalam rangka pembukaan latihan multilateral angkatan laut Komodo 2016.
Usai dilantik sebagai Presiden, Jokowi juga punya tradisi baru selaku kepala negara, yaitu merayakan Idul Fitri di daerah bersama rakyat.
Padang menjadi kota kedua yang dipilih presiden untuk merayakan Lebaran pada 2016 setelah pada 2015, mantan Gubernur DKI Jakarta itu, berlebaran di Aceh.
Kala itu dalam sambutannya di Masjid Raya Sumbar Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyampaikan seuntai pantun, "Dulu berangkat dengan pesawat, pergi bekerja di luar negeri, ini sejarah baru di Sumbar, Presiden Jokowi shalat Idul Fitri di sini". Menurut dia, kehadiran presiden untuk berlebaran di Padang suatu kehormatan karena belum pernah ada kepala negara yang Lebaran di daerah.
"Penumpang berjubel naik kereta, membawa koper sambil berlari, masyarakat Sumbar bersuka cita, Presiden Jokowi Idul Fitri di sini," lanjut Irwan dalam pantunnya.
Selanjutnya, pada 7-9 Februari 2018 Jokowi kembali bertandang ke "Ranah Minang", menghadiri puncak Hari Pers Nasional dan serangkaian kegiatan lain.
Kala itu, mantan Wali Kota Solo dua periode itu, juga menyempatkan datang ke Dharmasraya meninjau pembangunan embung, membagikan bantuan sosial nontunai di Solok, meninjau program padat karya di Kabupaten Tanah Datar, hingga menyerahkan sertifikat tanah kepada ahli waris Adinegoro di Sawahlunto.
Kunjungan Presiden kala itu cukup menjadi perbincangan hangat karena ia memilih menginap di salah satu hotel sederhana di Kabupaten Dharmasraya.
Yang terakhir, pada 21 Mei 2018, Presiden Jokowi kembali datang ke Sumbar dalam rangka membagikan sertifikat tanah wakaf dan peresmian kereta Bandara Minangkabau .
Di Masjid Jamiatul Huda Ketaping Padang, Presiden meluruskan isu tentang ada yang menyampaikan bahwa ia adalah seorang PKI.
"Mumpung bertemu di sini, saya ingin menyampaikan beberapa isu yang berkembang tidak hanya di Sumbar tapi juga daerah lain tentang diri saya yang harus dijawab," kata Jokowi di hadapan penerima sertifikat tanah wakaf.
Ia mengatakan ada yang menyebut bahwa Presiden Jokowi itu PKI, bahkan ketika datang ke suatu pondok pesantren ada pimpinannya yang minta berbicara empat mata membahas hal itu.
"Saya lahir tahun 1961, PKI dibubarkan tahun 1965, umur saya waktu itu baru 3,5 tahun, masa ada PKI balita?" kata Jokowi memberi penjelasan.
Akan tetapi, Presiden menyampaikan ada yang termakan oleh isu itu hingga ada yang mengaitkan orang tuanya juga seorang PKI.
"Semua ormas Islam ada cabangnya di kota Solo, tanyakan saja kepada masjid yang ada dekat rumah saya siapa orang tua saya, siapa kakek nenek saya," kata dia.
Menurut dia, sekarang zaman keterbukaan hingga gampang sekali untuk mencari tahu informasi soal itu.
Jokowi mengaku tidak ingin isu tersebut terus berkembang dan menjadi tidak baik.
Kemudian ada lagi yang menyebut Jokowi itu anaknya Oey Hong Liong, seorang Tionghoa dari Singapura.
"Bapak ibu saya itu orang desa, bapak Karanganyar, ibu Boyololi.Dua-duanya dari desa, bukan elite politik," ujarnya. Ia mengatakan kalau isu-isu seperti itu terus dikembangkan bisa tidak konsentrasi bekerja.
"Memang jahatnya politik di situ, saya tahu, makanya kalau tidak saya luruskan bisa menyebar ke mana-mana," kata dia.
Ia mengingatkan jangan sampai masyarakat menjadi pribadi yang gampang curiga, berprasangka jelek, dan harusnya menjaga ukhuwah Islamiyah sebagai sesama saudara sebangsa.
Panen Dukungan
Pada Pilpres 2014 di Sumatera Barat itu, Jokowi hanya mampu meraih 23 persen suara, sedangkan penantangnya Prabowo unggul dengan memperoleh 76,92 persen suara.
Bahkan, kekalahan Jokowi di Sumbar merupakan yang tertinggi secara persentase dan sebaliknya kemenangan Prabowo menjadi yang tertinggi.
Kendati tidak mendapat tempat di hati pemilih "Ranah Minang" tidak membuat orang nomor satu di Tanah Air itu berkecil hati dan berlaku diskriminatif.
Pada 8-10 Oktober 2015 Jokowi untuk pertama kalinya datang ke Sumbar. Selaku Kepala Negara, ia mengunjungi sejumlah lokasi, mulai dari Istana Bung Hatta Bukittinggi, peternakan sapi Padang Mengatas, Kawasan Wisata Bahari Terpadu Mandeh, hingga pembangunan Rail Bus di kawasan Bandara Internasional Minangkabau.
Pada April 2016, Jokowi untuk kedua kalinya datang ke Padang dalam rangka pembukaan latihan multilateral angkatan laut Komodo 2016.
Usai dilantik sebagai Presiden, Jokowi juga punya tradisi baru selaku kepala negara, yaitu merayakan Idul Fitri di daerah bersama rakyat.
Padang menjadi kota kedua yang dipilih presiden untuk merayakan Lebaran pada 2016 setelah pada 2015, mantan Gubernur DKI Jakarta itu, berlebaran di Aceh.
Kala itu dalam sambutannya di Masjid Raya Sumbar Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyampaikan seuntai pantun, "Dulu berangkat dengan pesawat, pergi bekerja di luar negeri, ini sejarah baru di Sumbar, Presiden Jokowi shalat Idul Fitri di sini". Menurut dia, kehadiran presiden untuk berlebaran di Padang suatu kehormatan karena belum pernah ada kepala negara yang Lebaran di daerah.
"Penumpang berjubel naik kereta, membawa koper sambil berlari, masyarakat Sumbar bersuka cita, Presiden Jokowi Idul Fitri di sini," lanjut Irwan dalam pantunnya.
Selanjutnya, pada 7-9 Februari 2018 Jokowi kembali bertandang ke "Ranah Minang", menghadiri puncak Hari Pers Nasional dan serangkaian kegiatan lain.
Kala itu, mantan Wali Kota Solo dua periode itu, juga menyempatkan datang ke Dharmasraya meninjau pembangunan embung, membagikan bantuan sosial nontunai di Solok, meninjau program padat karya di Kabupaten Tanah Datar, hingga menyerahkan sertifikat tanah kepada ahli waris Adinegoro di Sawahlunto.
Kunjungan Presiden kala itu cukup menjadi perbincangan hangat karena ia memilih menginap di salah satu hotel sederhana di Kabupaten Dharmasraya.
Yang terakhir, pada 21 Mei 2018, Presiden Jokowi kembali datang ke Sumbar dalam rangka membagikan sertifikat tanah wakaf dan peresmian kereta Bandara Minangkabau .
Di Masjid Jamiatul Huda Ketaping Padang, Presiden meluruskan isu tentang ada yang menyampaikan bahwa ia adalah seorang PKI.
"Mumpung bertemu di sini, saya ingin menyampaikan beberapa isu yang berkembang tidak hanya di Sumbar tapi juga daerah lain tentang diri saya yang harus dijawab," kata Jokowi di hadapan penerima sertifikat tanah wakaf.
Ia mengatakan ada yang menyebut bahwa Presiden Jokowi itu PKI, bahkan ketika datang ke suatu pondok pesantren ada pimpinannya yang minta berbicara empat mata membahas hal itu.
"Saya lahir tahun 1961, PKI dibubarkan tahun 1965, umur saya waktu itu baru 3,5 tahun, masa ada PKI balita?" kata Jokowi memberi penjelasan.
Akan tetapi, Presiden menyampaikan ada yang termakan oleh isu itu hingga ada yang mengaitkan orang tuanya juga seorang PKI.
"Semua ormas Islam ada cabangnya di kota Solo, tanyakan saja kepada masjid yang ada dekat rumah saya siapa orang tua saya, siapa kakek nenek saya," kata dia.
Menurut dia, sekarang zaman keterbukaan hingga gampang sekali untuk mencari tahu informasi soal itu.
Jokowi mengaku tidak ingin isu tersebut terus berkembang dan menjadi tidak baik.
Kemudian ada lagi yang menyebut Jokowi itu anaknya Oey Hong Liong, seorang Tionghoa dari Singapura.
"Bapak ibu saya itu orang desa, bapak Karanganyar, ibu Boyololi.Dua-duanya dari desa, bukan elite politik," ujarnya. Ia mengatakan kalau isu-isu seperti itu terus dikembangkan bisa tidak konsentrasi bekerja.
"Memang jahatnya politik di situ, saya tahu, makanya kalau tidak saya luruskan bisa menyebar ke mana-mana," kata dia.
Ia mengingatkan jangan sampai masyarakat menjadi pribadi yang gampang curiga, berprasangka jelek, dan harusnya menjaga ukhuwah Islamiyah sebagai sesama saudara sebangsa.
Panen Dukungan
Intensifnya kunjungan Presiden ke Sumatera Barat diikuti sejumlah program pembangunan akhirnya mulai mengubah peta politik di daerah itu menjelang Pilpres 2019.
Pada 18 September 2018, sejumlah bupati dan wali kota di Sumbar mendeklarasikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk kembali memimpin Indonesia untuk periode kedua karena dinilai berhasil membangun bangsa.
"Pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan pembangunan di segala bidang. Karena itu kami mendukung beliau melanjutkan periode kedua," kata Bupati Dharmasraya Sutan Riska yang didaulat sebagai juru bicara.
Sebanyak lima kepala daerah yang mengikuti deklarasi, yaitu Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi, Bupati Pasaman Yusuf Lubis, Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni, Bupati Sijunjung Yuswir Arifin, dan Wali Kota Solok Zul Elfian.
Kemudian, empat bupati dan wali kota lain yang juga diklaim mendukung namun tidak bisa hadir saat deklrasi, yaitu Wali Kota Bukittinggi Ramlan Nurmatias, Bupati Solok Gusmal, Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi, dan Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet. Dukungan kepala daerah tersebut ternyata menuai pro dan kontra di tengah masyarakat karena ada yang setuju namun tak sedikit yang menolak.
Menurut politikus Partai Nasdem Syamsu Rahim dalam dialog di Padang TV, apa yang dilakukan kepala daerah merupakan wujud dari aspirasi dan keinginan masyarakat.
Terkait ada yang menyatakan aspirasi masyarakat berlawanan dengan apa yang dilakukan kepala daerah, ia mengatakan hal itu empat atau lima tahun lalu, sedangkan saat ini kondisi sudah berubah dan berbeda.
Pada sisi lain, DPD Partai Gerindra Sumatera Barat melaporkan sejumlah kepala daerah kepada Bawaslu atas dugaan pelanggaran pemilu mendeklarasikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden.
Sekretaris DPD Partai Gerindra Sumatera Barat Desrio Putra mengatakan tindakan tersebut terindikasi melanggar Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan pejabat negara atau aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang berpihak pada peserta pemilu, baik sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Tidak Pengaruh
Pada 18 September 2018, sejumlah bupati dan wali kota di Sumbar mendeklarasikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk kembali memimpin Indonesia untuk periode kedua karena dinilai berhasil membangun bangsa.
"Pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan pembangunan di segala bidang. Karena itu kami mendukung beliau melanjutkan periode kedua," kata Bupati Dharmasraya Sutan Riska yang didaulat sebagai juru bicara.
Sebanyak lima kepala daerah yang mengikuti deklarasi, yaitu Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi, Bupati Pasaman Yusuf Lubis, Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni, Bupati Sijunjung Yuswir Arifin, dan Wali Kota Solok Zul Elfian.
Kemudian, empat bupati dan wali kota lain yang juga diklaim mendukung namun tidak bisa hadir saat deklrasi, yaitu Wali Kota Bukittinggi Ramlan Nurmatias, Bupati Solok Gusmal, Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi, dan Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet. Dukungan kepala daerah tersebut ternyata menuai pro dan kontra di tengah masyarakat karena ada yang setuju namun tak sedikit yang menolak.
Menurut politikus Partai Nasdem Syamsu Rahim dalam dialog di Padang TV, apa yang dilakukan kepala daerah merupakan wujud dari aspirasi dan keinginan masyarakat.
Terkait ada yang menyatakan aspirasi masyarakat berlawanan dengan apa yang dilakukan kepala daerah, ia mengatakan hal itu empat atau lima tahun lalu, sedangkan saat ini kondisi sudah berubah dan berbeda.
Pada sisi lain, DPD Partai Gerindra Sumatera Barat melaporkan sejumlah kepala daerah kepada Bawaslu atas dugaan pelanggaran pemilu mendeklarasikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden.
Sekretaris DPD Partai Gerindra Sumatera Barat Desrio Putra mengatakan tindakan tersebut terindikasi melanggar Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan pejabat negara atau aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang berpihak pada peserta pemilu, baik sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Tidak Pengaruh
Akan tetapi, pengamat politik Universitas Andalas (Unand) Padang Edi Indrizal menilai deklarasi 10 kepala daerah di Sumatera Barat yang mendukung Presiden Jokowi dua periode tidak akan berpengaruh banyak terhadap perolehan suara pada Pilpres 2019.
"Belajar dari hasil Pilpres 2014 yang saat itu Jokowi mendapatkan suara terendah di Sumbar, kendati saat ini ada deklarasi dukungan dari kepala daerah tidak serta merta membuat perolehan suara berpeluang meningkat," katanya.
Menurut dia, akar persoalan kenapa Jokowi sulit mendapat tempat di hati masyarakat Sumbar saat pilpres adalah faktor partai pengusung, yaitu PDI Perjuangan.
"Buktinya dulu saat Prabowo jadi calon wakil presiden mendampingi Megawati tidak mendapat suara, namun setelah diusung oleh Gerindra pada 2014 menang telak di Sumbar," katanya.
Ia menilai hal itu bisa terjadi tak lepas dari kombinasi faktor sosiologis, psikologis yang berkelindan dengan ideologi PDI Perjuangan.
Edi melihat dukungan para kepala daerah terhadap Jokowi sebenarnya cukup argumentatif karena walaupun pada Pilpres 2014 kalah di Sumbar, akan tetapi Presiden cukup tinggi perhatiannya dalam bentuk kunjungan dan berbagai program pusat yang dilaksanakan di daerah itu.
Pada sisi lain, ia melihat kendati para kepala daerah telah mendeklarasikan dukungan belum tentu mereka akan bergerak penuh untuk memenangkan sang calon karena juga terdapat beberapa konflik kepentingan.
Sejalan dengan itu, Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat menilai kurang etis jika ada kepala daerah yang menyatakan dukungan kepada calon presiden tertentu menyongsong Pilpres 2019.
"Kami menyerukan agar kepala daerah tidak menyatakan dukungan secara terbuka kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden, tertentu sebelum mengajukan cuti (nonaktif, red.) dari jabatan yang diemban," kata Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar Adel Wahidi
"Belajar dari hasil Pilpres 2014 yang saat itu Jokowi mendapatkan suara terendah di Sumbar, kendati saat ini ada deklarasi dukungan dari kepala daerah tidak serta merta membuat perolehan suara berpeluang meningkat," katanya.
Menurut dia, akar persoalan kenapa Jokowi sulit mendapat tempat di hati masyarakat Sumbar saat pilpres adalah faktor partai pengusung, yaitu PDI Perjuangan.
"Buktinya dulu saat Prabowo jadi calon wakil presiden mendampingi Megawati tidak mendapat suara, namun setelah diusung oleh Gerindra pada 2014 menang telak di Sumbar," katanya.
Ia menilai hal itu bisa terjadi tak lepas dari kombinasi faktor sosiologis, psikologis yang berkelindan dengan ideologi PDI Perjuangan.
Edi melihat dukungan para kepala daerah terhadap Jokowi sebenarnya cukup argumentatif karena walaupun pada Pilpres 2014 kalah di Sumbar, akan tetapi Presiden cukup tinggi perhatiannya dalam bentuk kunjungan dan berbagai program pusat yang dilaksanakan di daerah itu.
Pada sisi lain, ia melihat kendati para kepala daerah telah mendeklarasikan dukungan belum tentu mereka akan bergerak penuh untuk memenangkan sang calon karena juga terdapat beberapa konflik kepentingan.
Sejalan dengan itu, Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat menilai kurang etis jika ada kepala daerah yang menyatakan dukungan kepada calon presiden tertentu menyongsong Pilpres 2019.
"Kami menyerukan agar kepala daerah tidak menyatakan dukungan secara terbuka kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden, tertentu sebelum mengajukan cuti (nonaktif, red.) dari jabatan yang diemban," kata Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar Adel Wahidi
Kepala daerah harus menjaga netralitas dalam penyelenggaraan negara, khususnya penyelenggaran pelayanan publik.
"Kepala daerah jangan menggunakan kewenangan untuk menggerakkan, memaksakan, dan memengaruhi ASN untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujarnya.
Kepala daerah harus fokus dan memastikan penyelenggaraan pelayanan publik tetap berjalan sebagaimana mestinya dan meningkatkan kualitas pelayanan selama masa penyelenggaraan pilpres.
Menurut dia, esensi dari netralitas birokrasi adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal itu untuk menjamin roda pemerintahan terselenggara secara baik dan tidak ada perlakuan diskriminatif kepada masyarakat selaku pengguna pelayanan.
Ia menilai dukungan mereka terhadap capres juga berpotensi maladministrasi kewenangan dalam menjalankan penyelenggaraan negara dan pemerintahan;
"Kepala daerah jangan menggunakan kewenangan untuk menggerakkan, memaksakan, dan memengaruhi ASN untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujarnya.
Kepala daerah harus fokus dan memastikan penyelenggaraan pelayanan publik tetap berjalan sebagaimana mestinya dan meningkatkan kualitas pelayanan selama masa penyelenggaraan pilpres.
Menurut dia, esensi dari netralitas birokrasi adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal itu untuk menjamin roda pemerintahan terselenggara secara baik dan tidak ada perlakuan diskriminatif kepada masyarakat selaku pengguna pelayanan.
Ia menilai dukungan mereka terhadap capres juga berpotensi maladministrasi kewenangan dalam menjalankan penyelenggaraan negara dan pemerintahan;
Selain itu, berpeluang terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik akibat terganggunya netralitas dan tatanan birokrasi, serta penyimpangan azas umum pemerintahan yang baik. (mi/mond)