Pierre Tandean Pahlawan Revolusi, Pengecoh Pasukan Elit Inggris
D'On, Jakarta,- ”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malaysian itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat…
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Pidato “Ganyang Malaysia” yang dikobarkan Presiden sekaligus Panglima Tertinggi Ir.Soekarno pada 27 Juli 1963 begitu membakar kemarahan rakyat Indonesia yang saat itu merasa sangat geram atas tindakan demonstran Malaysia yang menggeruduk KBRI, merobek foto Soekarno, serta menginjak-injak lambang negara kita, Burung Garuda.
Pidato ini tak lain adalah penegasan atas sikap Indonesia yang sebelumnya sudah menyatakan permusuhuhan dengan Malaysia, sebagaimana diumumkan Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963. Bahkan sikap itu kemudian ditindaklanjuti oleh sukarelawan rakyat yang mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.
Ketegangan hubungan politik antara kedua negara jiran tersebut dipicu Presiden Soekarno yang menentang berdirinya negara Malaysia. Soekarno menilai Federasi Malaysia hanya negara boneka Inggris dan neo-kolonialisme. Dia khawatir negeri jiran itu akan dijadikan pangkalan militer asing Asia Tenggara.
Persis di tahun yang sama sepucuk surat perintah baru saja diterima oleh seorang perwira muda bernama Letna Dua Czi Pierre Tendean. Surat perintah itu cukup mengagetkan mengingat ia baru setahun lalu lulus dari pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) dan ditugaskan sebagai komandan peleton di batalyon Zeni Kodam II Sumatera Utara.
Surat perintah itu isinya menugaskan Pierre Tendean menempuh pendidikan iltelijen di Bogor. Sebagai seorang prajurit Pierre Tendean sadar dan harus selalu siap ketika negara memanggil. Apalagi penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen tentu tidak sembarangan
Pierre Tendean adalah sosok taruna yang cakap dan memiliki jiwa kepemimpinan selama di Akademi Militer. Ia diangkat menjadi Komandan Batalyon Taruna dan Ketua Senat Koprs Taruna. Bahkan ketika pemberontakan PRRI/Permesta meletus, ia mendapat tugas praktik lapangan meneumpas gerakan pemberontakan di wilayah Sumatera Timur.
Pierre Tendean dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dalam kurun waktu kurang lebih dari satu tahun. Entah kebetulan atau memang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, begitu lulus Pierre Tendean langsung ditugaskan ke medan pertempuran. Tanggal 3 Mei 1964 Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
"Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia," teriak Presiden Soekarno.
Penyusup Andal
Menyikapi perintah Soekarno, Indonesia secara terang-terangan mengirimkan bala tentara menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Semeatara Tentera Laut Di Raja Malaysia mempertahankan wilayah kedaulatannya dengan dukungan Inggris dan Australia, terutama Special Air Service (SAS).
Pengetahuan Pierre Tendean seputar dunia intelijen diuji. Ia ditunjuk sebagai Komandan Basis Y dengan wilayah target meliputi Malaka dan Johor. Dalam buku Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus, disebutkan Lettu Pierre Tendean memimpin sebuah tim dari satuan elit TNI Angkatan Laut bernama Pasukan Katak. Tugasnya menghancurkan obyek vital milik musuh.
Postur tubuh bule ya yang dimiliki Pierre sebagai peranakan Minahasa-Prancis, plus menguasai Bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan Prancis dengan fasil memudah tugas perwira muda kelahiran 21 Februari 1939 ini menjadi mata-mata menyusup ke wilayah musuh. Pun, tidak ada yang curiga ketika dia menyamar sebagai turis dan bebas berbelanja di toko-toko di wilayah perbatasan. Padahal dia sedang “memotret” situasi dan kondisi Malaysia.
Tugas spionase berhasil, oleh-oleh atau buah tangan pun dibawanya dari kegiatan mata-mata tersebut. Untuk ayahnya Pierre membelikan sebuah jam tangan dan sekotak rokok commodore. Sedang untuk kakak tercinta Meitzie ia belikan kasu oblong berwarna merah-biru dan sebuah raket tenis.
“Ojo didol lho (jangan dijual),” canda Pierre ketika menyerahkan buah tangan kepada kakaknya.
Pada waktu penyusupan kedua, lagi-lagi Pierre membawa buah tangan. Kali ini sebuah verrekeyker, alat teropong yang berhasil dirampasnya dari tentara Inggris. Verrekeyker itu sekarang tersimpan aman di museum.
Pertarungannya dengan tentara Inggris membuatnya kemudian menjadi target buruan oleh pasukan Special Air Service. Setiap pintu masuk menuju wilayah Malaysia di jaga ketat oleh pasukan elit andalan Kerajaan Inggris.
Benar adanya. Ketika hendak menyusup untuk ketiga kalinya, Pierre bersama pasukannya yang saat itu menaiki sebuah speedboat disergap oleh destroyer, sebuah kapal perusak Inggris.
Beruntung Pasukan Katak yang dipimpin Pierre adalah pasukan elit yang terlatih bergerak dalam senyap. Pierre membelokkan speedboat-nya sembari menyelam dan menghilang ke dalam air.
Saat Pierre menerobos untuk ketiga kalinya, di tengah laut dia dikejar oleh sebuah destroyer (kapal perusak) Inggris. Untung dia cepat dapat membelokkan speedboatnya dan diam-diam menyelam ke Iaut.
Pasukan Inggris tak menemukan target buruannya dan pergi berlalu. Pierre selamat dari kejaran. Sejarah mencatat, aksi-aksi Pierre bersama timnya berhasil membuat berang pihak musuh. Namun mereka tidak pernah berhasil menemukan Pierre.
Penyayang Keluarga
Di tengah upayanya membela negara, Pierre adalah sosok laki-laki yang sangat mencintai keluarganya. Memiliki seorang kakak dan adik perempuan, Pierre adalah satu-satunya anak laki-laki dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa dan seorang ibu bernama Cornet M.E, wanita Indo berdarah Perancis.
Selama bertugas di perbatasan Pierre menabung uang sakunya untuk membiayai pernikahan adik bungsunya Rooswidiati. Uang tersebut diberikan kepada ibunya dalam sebuah bungkusan koran. Jumlahnya cukup banyak karena selama tugas ia dibekali uang dollar yang kemudian ia ditukarkan ke rupiah.
"Mami, ini sumbangan saya untuk pernikahan Roosdiana," kata Pierre.
Sejarah mencatat, beberapa kali tim ini berhasil melakukan tugasnya. Prestasinya sebagai penyusup andal selama konfrontasi terdengar sampai ke Jakarta. Setidaknya ada tiga Jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Kadarsan. Namun Jenderal Nasution bersikeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjadi anggota Kontingen Pasukan Garuda untuk menjaga perdamaian di Kongo.
Kabar ini sungguh melegakan hati ibundanya tercinta. Sejak awal ibu Pierre tidak setuju dan sangat khawatir akan nasib putera satu-satunya selama bertugas di dunia intelijen.
Jenderal Nasution sendiri menempatkan Pierre sebagai ajudan paling muda dan sekaligus yang paling ia sayang. Ia menganggap anak muda ini sebgai bagian dari anggota keluarga.
“Pierre Tendean seperti adik kandung bagi saya dan istri saya. Mungkin sekali karena pengaruh sayalah ia menjadi taruna, karena orang tuanya semula sebenarnya tidak setuju. Ia tinggal di rumah saya sebagai anggota keluarga biasa,” Jenderal Nasution.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ibunda Pierre Tendean memang tak perlu lagi mengkhawatirkan keberadaan nasib puteranya di perbatasan. Namun ibundanya juga tak pernah tahu bahwa panggilan tugas Jenderal Nasution adalah signal panggilan Sang Khalik yang menginginkan Piere kembali ke penciptanya.
Hari itu, 30 September Sang Bunda sedang menunggu kehadiran puteranya, Pierre Tendean. Tanggal 30 September adalah tanggal yang spesial baginya karena Pierre selalu pulang ke Semarang merayakan hari ulang tahun ibundanya.
Namun kali ini yang ditunggu-tunggu tidak akan datang. Atau, bahkan tidak akan pernah lagi datang, tertawa dan berdoa bersama di hari raya ulang tahunnya. Tepat di malam 30 September 1965 Lettu (CPM) Pierre Tendean menemui ajalnya, gugur bersama 6 jenderal lainnya dalam peristiwa kudeta Gerakan 30 S/PKI.
Sebutir peluru bersarang di kepalanya setelah dengan lantang mengaku “Saya Nasution”.saat dibawa oleh pasukan tjakrawibirawa yg disusupi PKI. (mond)
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat…
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Pidato “Ganyang Malaysia” yang dikobarkan Presiden sekaligus Panglima Tertinggi Ir.Soekarno pada 27 Juli 1963 begitu membakar kemarahan rakyat Indonesia yang saat itu merasa sangat geram atas tindakan demonstran Malaysia yang menggeruduk KBRI, merobek foto Soekarno, serta menginjak-injak lambang negara kita, Burung Garuda.
Pidato ini tak lain adalah penegasan atas sikap Indonesia yang sebelumnya sudah menyatakan permusuhuhan dengan Malaysia, sebagaimana diumumkan Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963. Bahkan sikap itu kemudian ditindaklanjuti oleh sukarelawan rakyat yang mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.
Ketegangan hubungan politik antara kedua negara jiran tersebut dipicu Presiden Soekarno yang menentang berdirinya negara Malaysia. Soekarno menilai Federasi Malaysia hanya negara boneka Inggris dan neo-kolonialisme. Dia khawatir negeri jiran itu akan dijadikan pangkalan militer asing Asia Tenggara.
Persis di tahun yang sama sepucuk surat perintah baru saja diterima oleh seorang perwira muda bernama Letna Dua Czi Pierre Tendean. Surat perintah itu cukup mengagetkan mengingat ia baru setahun lalu lulus dari pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) dan ditugaskan sebagai komandan peleton di batalyon Zeni Kodam II Sumatera Utara.
Surat perintah itu isinya menugaskan Pierre Tendean menempuh pendidikan iltelijen di Bogor. Sebagai seorang prajurit Pierre Tendean sadar dan harus selalu siap ketika negara memanggil. Apalagi penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen tentu tidak sembarangan
Pierre Tendean adalah sosok taruna yang cakap dan memiliki jiwa kepemimpinan selama di Akademi Militer. Ia diangkat menjadi Komandan Batalyon Taruna dan Ketua Senat Koprs Taruna. Bahkan ketika pemberontakan PRRI/Permesta meletus, ia mendapat tugas praktik lapangan meneumpas gerakan pemberontakan di wilayah Sumatera Timur.
Pierre Tendean dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dalam kurun waktu kurang lebih dari satu tahun. Entah kebetulan atau memang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, begitu lulus Pierre Tendean langsung ditugaskan ke medan pertempuran. Tanggal 3 Mei 1964 Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
"Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia," teriak Presiden Soekarno.
Penyusup Andal
Menyikapi perintah Soekarno, Indonesia secara terang-terangan mengirimkan bala tentara menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Semeatara Tentera Laut Di Raja Malaysia mempertahankan wilayah kedaulatannya dengan dukungan Inggris dan Australia, terutama Special Air Service (SAS).
Pengetahuan Pierre Tendean seputar dunia intelijen diuji. Ia ditunjuk sebagai Komandan Basis Y dengan wilayah target meliputi Malaka dan Johor. Dalam buku Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus, disebutkan Lettu Pierre Tendean memimpin sebuah tim dari satuan elit TNI Angkatan Laut bernama Pasukan Katak. Tugasnya menghancurkan obyek vital milik musuh.
Postur tubuh bule ya yang dimiliki Pierre sebagai peranakan Minahasa-Prancis, plus menguasai Bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan Prancis dengan fasil memudah tugas perwira muda kelahiran 21 Februari 1939 ini menjadi mata-mata menyusup ke wilayah musuh. Pun, tidak ada yang curiga ketika dia menyamar sebagai turis dan bebas berbelanja di toko-toko di wilayah perbatasan. Padahal dia sedang “memotret” situasi dan kondisi Malaysia.
Tugas spionase berhasil, oleh-oleh atau buah tangan pun dibawanya dari kegiatan mata-mata tersebut. Untuk ayahnya Pierre membelikan sebuah jam tangan dan sekotak rokok commodore. Sedang untuk kakak tercinta Meitzie ia belikan kasu oblong berwarna merah-biru dan sebuah raket tenis.
“Ojo didol lho (jangan dijual),” canda Pierre ketika menyerahkan buah tangan kepada kakaknya.
Pada waktu penyusupan kedua, lagi-lagi Pierre membawa buah tangan. Kali ini sebuah verrekeyker, alat teropong yang berhasil dirampasnya dari tentara Inggris. Verrekeyker itu sekarang tersimpan aman di museum.
Pertarungannya dengan tentara Inggris membuatnya kemudian menjadi target buruan oleh pasukan Special Air Service. Setiap pintu masuk menuju wilayah Malaysia di jaga ketat oleh pasukan elit andalan Kerajaan Inggris.
Benar adanya. Ketika hendak menyusup untuk ketiga kalinya, Pierre bersama pasukannya yang saat itu menaiki sebuah speedboat disergap oleh destroyer, sebuah kapal perusak Inggris.
Beruntung Pasukan Katak yang dipimpin Pierre adalah pasukan elit yang terlatih bergerak dalam senyap. Pierre membelokkan speedboat-nya sembari menyelam dan menghilang ke dalam air.
Saat Pierre menerobos untuk ketiga kalinya, di tengah laut dia dikejar oleh sebuah destroyer (kapal perusak) Inggris. Untung dia cepat dapat membelokkan speedboatnya dan diam-diam menyelam ke Iaut.
Pasukan Inggris tak menemukan target buruannya dan pergi berlalu. Pierre selamat dari kejaran. Sejarah mencatat, aksi-aksi Pierre bersama timnya berhasil membuat berang pihak musuh. Namun mereka tidak pernah berhasil menemukan Pierre.
Penyayang Keluarga
Di tengah upayanya membela negara, Pierre adalah sosok laki-laki yang sangat mencintai keluarganya. Memiliki seorang kakak dan adik perempuan, Pierre adalah satu-satunya anak laki-laki dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa dan seorang ibu bernama Cornet M.E, wanita Indo berdarah Perancis.
Selama bertugas di perbatasan Pierre menabung uang sakunya untuk membiayai pernikahan adik bungsunya Rooswidiati. Uang tersebut diberikan kepada ibunya dalam sebuah bungkusan koran. Jumlahnya cukup banyak karena selama tugas ia dibekali uang dollar yang kemudian ia ditukarkan ke rupiah.
"Mami, ini sumbangan saya untuk pernikahan Roosdiana," kata Pierre.
Sejarah mencatat, beberapa kali tim ini berhasil melakukan tugasnya. Prestasinya sebagai penyusup andal selama konfrontasi terdengar sampai ke Jakarta. Setidaknya ada tiga Jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Kadarsan. Namun Jenderal Nasution bersikeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjadi anggota Kontingen Pasukan Garuda untuk menjaga perdamaian di Kongo.
Kabar ini sungguh melegakan hati ibundanya tercinta. Sejak awal ibu Pierre tidak setuju dan sangat khawatir akan nasib putera satu-satunya selama bertugas di dunia intelijen.
Jenderal Nasution sendiri menempatkan Pierre sebagai ajudan paling muda dan sekaligus yang paling ia sayang. Ia menganggap anak muda ini sebgai bagian dari anggota keluarga.
“Pierre Tendean seperti adik kandung bagi saya dan istri saya. Mungkin sekali karena pengaruh sayalah ia menjadi taruna, karena orang tuanya semula sebenarnya tidak setuju. Ia tinggal di rumah saya sebagai anggota keluarga biasa,” Jenderal Nasution.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ibunda Pierre Tendean memang tak perlu lagi mengkhawatirkan keberadaan nasib puteranya di perbatasan. Namun ibundanya juga tak pernah tahu bahwa panggilan tugas Jenderal Nasution adalah signal panggilan Sang Khalik yang menginginkan Piere kembali ke penciptanya.
Hari itu, 30 September Sang Bunda sedang menunggu kehadiran puteranya, Pierre Tendean. Tanggal 30 September adalah tanggal yang spesial baginya karena Pierre selalu pulang ke Semarang merayakan hari ulang tahun ibundanya.
Namun kali ini yang ditunggu-tunggu tidak akan datang. Atau, bahkan tidak akan pernah lagi datang, tertawa dan berdoa bersama di hari raya ulang tahunnya. Tepat di malam 30 September 1965 Lettu (CPM) Pierre Tendean menemui ajalnya, gugur bersama 6 jenderal lainnya dalam peristiwa kudeta Gerakan 30 S/PKI.
Sebutir peluru bersarang di kepalanya setelah dengan lantang mengaku “Saya Nasution”.saat dibawa oleh pasukan tjakrawibirawa yg disusupi PKI. (mond)