YIM: Tak Perlu Ribut Terkait Perda Syariah
D'On, Surabaya (JATIM),- Perda syariah tidak perlu diributkan. Sebab, hukum formal di Indonesia tidak mengenal penyebutan perda itu. Hal tersebut diungkapkan ahli tata negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra di Surabaya kemarin.
Yusril datang ke Surabaya untuk menghadiri acara PBB bertajuk Konsolidasi Partai dan Pemantapan Calon Legislatif DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, Jalan Manyar Kertoadi.
Perda syariah memang menjadi perdebatan. Itu setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menegaskan sikap partainya yang menolak perda syariah. Yusril menjelaskan, secara formal, Indonesia hanya mengenal sebutan peraturan daerah (perda).
"Ada debat panjang tentang perda syariah. Itu seperti halnya hukum adat dan hukum eks kolonial belanda yang dijadikan sebagai sumber rujukan perundang-undangan nasional," katanya.
Yusril mengatakan, begitu hukum adat itu menjadi produk hukum, lalu disebut sebagai undang-undang Republik Indonesia. Tidak ada imbuhan kata syariah di belakangnya. Hanya ada penambahan nama daerah, nomor, tahun, dan judul.
Dia menuturkan, nama perda yang dilekatkan dengan label syariah memang tidak ada. Tapi secara substansial, keberadaan syariah Islam tidak bisa dihindari. Sebab, saat pemerintah akan membuat produk hukum, tidak ada pilihan lain selain melihat kesadaran hukum yang hidup di masyarakat.
"Di negara yang menganut asas demokrasi, kesadaran hukum rakyat yang menjadi pegangan merumuskan norma," ujarnya.
Dia lantas mencontohkan RUU Keluarga Berencana (KB) di Filipina. Rakyat Filipina banyak yang memprotes kebijakan tersebut. RUU itu dianggap tidak sesuai dengan doktrin ajaran gereja Katolik yang melarang penggunaan KB. Ketika negara membuat aturan yang tidak sesuai kesadaran hukum masyarakatnya, akan terjadi hal yang demikian.
Selain itu, disadari atau tidak, corak masyarakat Indonesia mencerminkan tiga sistem hukum. Salah satunya hukum Islam. Bahkan, ada aturan yang khusus di dalamnya berlaku hukum Islam. Yakni, undang-undang tentang pengadilan agama. Dalam hal waris, misalnya. Secara eksplisit, penyelesaian perkara pembagian warisan hanya dengan hukum Islam. Meski, aturan itu tidak mengikat.
"Itu formalnya. Untuk hukum materiilnya masih belum ada hingga sekarang," kata Yusril. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah membuat aturan khusus tentang kewarisan Islam. Tapi, tidak ada penambahan embel-embel UU Syariah. Cukup dituliskan nomor, tahun, dan judul setelah kalimat undang-undang secara lengkap.
Selama menjadi menteri kehakiman dan hak asasi manusia, Yusril mengaku telah memproses lebih dari 300 RUU. Ada transformasi kaidah-kaidah dari hukum Islam.
"Tranformasi kaidah Islam ke hukum nasional itu memang sudah ada," katanya. Untuk itu, masyarakat tidak perlu gaduh dengan adanya aturan agama yang secara substansi termaktub dalam peraturan nasional. (prkl)
Yusril datang ke Surabaya untuk menghadiri acara PBB bertajuk Konsolidasi Partai dan Pemantapan Calon Legislatif DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, Jalan Manyar Kertoadi.
Perda syariah memang menjadi perdebatan. Itu setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menegaskan sikap partainya yang menolak perda syariah. Yusril menjelaskan, secara formal, Indonesia hanya mengenal sebutan peraturan daerah (perda).
"Ada debat panjang tentang perda syariah. Itu seperti halnya hukum adat dan hukum eks kolonial belanda yang dijadikan sebagai sumber rujukan perundang-undangan nasional," katanya.
Yusril mengatakan, begitu hukum adat itu menjadi produk hukum, lalu disebut sebagai undang-undang Republik Indonesia. Tidak ada imbuhan kata syariah di belakangnya. Hanya ada penambahan nama daerah, nomor, tahun, dan judul.
Dia menuturkan, nama perda yang dilekatkan dengan label syariah memang tidak ada. Tapi secara substansial, keberadaan syariah Islam tidak bisa dihindari. Sebab, saat pemerintah akan membuat produk hukum, tidak ada pilihan lain selain melihat kesadaran hukum yang hidup di masyarakat.
"Di negara yang menganut asas demokrasi, kesadaran hukum rakyat yang menjadi pegangan merumuskan norma," ujarnya.
Dia lantas mencontohkan RUU Keluarga Berencana (KB) di Filipina. Rakyat Filipina banyak yang memprotes kebijakan tersebut. RUU itu dianggap tidak sesuai dengan doktrin ajaran gereja Katolik yang melarang penggunaan KB. Ketika negara membuat aturan yang tidak sesuai kesadaran hukum masyarakatnya, akan terjadi hal yang demikian.
Selain itu, disadari atau tidak, corak masyarakat Indonesia mencerminkan tiga sistem hukum. Salah satunya hukum Islam. Bahkan, ada aturan yang khusus di dalamnya berlaku hukum Islam. Yakni, undang-undang tentang pengadilan agama. Dalam hal waris, misalnya. Secara eksplisit, penyelesaian perkara pembagian warisan hanya dengan hukum Islam. Meski, aturan itu tidak mengikat.
"Itu formalnya. Untuk hukum materiilnya masih belum ada hingga sekarang," kata Yusril. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah membuat aturan khusus tentang kewarisan Islam. Tapi, tidak ada penambahan embel-embel UU Syariah. Cukup dituliskan nomor, tahun, dan judul setelah kalimat undang-undang secara lengkap.
Selama menjadi menteri kehakiman dan hak asasi manusia, Yusril mengaku telah memproses lebih dari 300 RUU. Ada transformasi kaidah-kaidah dari hukum Islam.
"Tranformasi kaidah Islam ke hukum nasional itu memang sudah ada," katanya. Untuk itu, masyarakat tidak perlu gaduh dengan adanya aturan agama yang secara substansi termaktub dalam peraturan nasional. (prkl)