Kabut Asap, Istisqa dan Pertaubatan
Oleh:
DUSKI SAMAD
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Propinsi Sumatera Barat
Kabut asap yang melanda banyak daerah di Indonesia, bahkan sudah "diekspor" ke negara jiran sulit menyebutnya musibah, karena faktor ulah manusia lebih dominan dari takdir Allah. Namun, akibat yang ditimbulkan kabut asap itu telah membawa musibah dan sekaligus juga mendatangkan ancaman kesehatan masyarakat.
Patut dipertanyakan akibat dibakarnya hutan. Lalu, timbul petaka, kemudian, "suruh" Allah menyiramnya, sementara si pembakar tidak mau menyesali dan minta taubat kepada Allah atas kesalahannya. Ia bahkan diam-diam saja sebagai penjahat kemanusiaan. Orang baik-baik yang tidak ikut membuat kerusakan yang minta ampun kepada Allah, sementara sang pembakar terus saja melakukan kerusakan.
Kerusakan seperti ini hanya bisa dihentikan dengan melakukan dua hal secara serentak: vertikal dan horizontal. Secara vertikal, si pembuat kerusakan bertobat dan berhenti melakukan kerusakan dengan sungguh-sungguh, baru Allah akan kabulkan doa. Kemudian, secara horizontal, tegakkan hukum kepada si pembuat kerusakan itu dengan tegas dan keras. mereka harus dipaksa berhenti dengan hukuman yg keras itu, sehingga tidak lagi berbuat kerusakan.
Bila dua hal itu tidak dilakukan, yang akan terjadi tentu kabut asap lagi, petaka lagi tanpa henti, sampai hutan benar-benar habis, atau sampai (maaf) generasi di negeri ini benar-benar lumpuh, tidak berdaya, sehingga tidak ada lagi yang sanggup menghalangi niat mereka untuk menguasai negeri ini dengan leluasa.
Mohon maaf bila analisis ini berlebihan, karena kejahatan ini sudah sangat berlebihan.
Tetapi, apakah anak-anak negeri ini tidak juga akan sadar setelah petaka ini menyerang sejak lebih 22 tahun lamanya.?
ISTISQA KEMARAU
Kabut asap menjadi lebih menyulitkan lagi pada saat yang sama kemarau terus berjalan, hujan tidak turun, debu jalan merusak pernafasan, kering kerontangnya sawah pertani, keringnya bendungan air, kurus keringnya hewan ternak itu semua adalah musibah yang tentunya salah satu cara yang diajarkan iman meminta pada Khaliq untuk menghentikan musibah ini. Sunnah mengajarkan cara meminta hujan secara bersama-sama, melalui shalat dan doa minta hujan (istisqa). Syarat untuk melakukan Shalat Istisqa harus diawali dengan pertaubatan terlebih dahulu. Kemudian shalat Istisqa dianjurkan untuk menghadirkan hewan ternak. Shalat Istisqa juga dianjurkan untuk menggunakan pakaian yang sederhana. Kemudian, saat melaksakan Shalat Istisqa sebaiknya dilakukan di lahan terbuka seperti lapangan. Sunnah hukumnya Shalat Istisqa tidak diselenggarakan di masjid atau di tempat elite. Harus menampakkan diri butuh dan perlu. Maka dengan pakaian yang kurang baik di tempat atau ladang yang kering.
Shalat Istisqa dilakukan dengan dua rakaat yang dilanjutkan dengan khutbah. Dalam khutbahnya, khatib menerang kan tentang urgensi Shalat Istisqa itu sendiri. Kemudian juga menjelaskan kebutuhan manusia akan rahmat Allah SWT dan lalu khatib meminta hujan kepada Allah.
Pelaksanaan shalat meminta hujan tersebut sebaiknya diawali dengan puasa sunnah tiga hari. Masyarakat juga diharapkan untuk memperbanyak bersedekah.
Shalat Istisqa sebaiknya menghadirkan orang-orang miskin dan anak yatim.
TAUBAT UNTUK HUJAN
Hujan menjadi karunia Allah yang besar atas umat manusia, segala yang hidup diciptakan dari tetesan air, bahkan kebersihan fisik juga diperoleh dengan turunnya air hujan. “Kami telah menjadikan dari air, segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’: 30). “Dialah Allah yang mengirimkan angin sebelum rahmat-Nya, dan Kami menurunkan dari langit, air yang membersih kan”. (QS. Al-Furqan: 48).
Air hujan juga menjadi bukti ketergantungan umat manusia kepada Allah Swt. Mereka senantiasa butuh kepada-Nya. Fakir kepada kasih sayang dan segala pemberian-Nya. Manusia setinggi apapun, tidak akan pernah bisa hidup tanpa karunia dari Allah. Keangkuhan dan sifat takabur umat manusia bahkan hanya akan mengundang murka Allah kepada mereka, sehingga berbagai bentuk cobaan diturunkan oleh Allah atas mereka.
Cobaan-cobaan kemarau dan tidak turunnya hujan ditimpakan atas umat manusia, agar mereka sadar akan kesalahan dan sifat kesombongan yang telah dilakukan. Kekufuran dan kemaksiatan yang telah diperbuat. Kemusyrikan, berupa percaya kepada jimat atau benda keramat, perdukunan dan ramalan-ramalan nasib, astrologi dan ilmu perbintangan.
Kekufuran, berupa penistaan terhadap agama Islam, dan mengubah-ubah hukum Allah.
Atau sifat kemunafikan, yaitu kesetiaan kepada kaum kafir sehingga melecehkan kaum muslimin. Atau kesesatan, seperti pemikiran menyamakan semua agama, dan tidak mengafirkan kaum kuffar.
Demikian halnya dengan perbuatan maksiat, seperti praktik ilmu sihir, transaksi riba, perzinahan, korupsi, ingkar janji, dan lain sebagainya. Semua ini, dapat menjadi sebab sehingga Allah menurunkan cobaan-Nya, agar menjadi peringatan bagi umat manusia. “Segala musibah yang menimpa kalian, disebabkan oleh hasil tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian”. (QS. Asy-Syura: 30).
Keluhan telah banyakterdengar, tentang kondisi musim kemarau yang panjang, dan musim hujan yang belum juga datang, sehingga mengakibat kan kepada kekeringan dan kerusakan yang merata di segenap wilayah bangsa. Bencana kabut asap, kebakaran hutan, gagal panen, air tanah yang telah habis, air gunung, dan sungai yang semakin berkurang, sehingga mengurangi pasokan energi listrik, telah menjadi kondisi yang dirasakan oleh mayoritas rakyat di segenap negeri kita ini.
Kondisi ini semoga dapat menyadarkan segenap anak bangsa, rakyat biasa atau pemerintah, kaum pinggiran atau kalangan pejabat, umat yang terlupa atau kaum pesohor, bahwa bumi ini adalah milik Allah, tiada kuasa bagi manusia untuk menghindar dari nikmat yang diangkat oleh-Nya. Maka upaya tobat adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan nikmat tersebut. Bertobat dengan segenap kesadaran dan keikhlasan, kembali kepada aturan dan syariat Allah, meninggalkan perilaku yang dimurkai oleh Allah. Bertobat kepada Allah, menjadi penghapus atas segala kesalahan, dan juga pembuka pintu rahmat Allah. “Wahai kaumku mohon ampunlah kepada Tuhanmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, maka janganlah kamu berpaling dengan perbuatan dosa”. (QS. Hud: 52).
Istighfar dan bertobat, sikap kaum mukmin terhadap kondisi yang tidak menyenangkan bagi dirinya atau bagi orang lain. Saat istisqa adalah ketika umat berkumpul bersatu, membawa perasaan dan beban yang sama, dalam ketundukan dan kekhusyukan hanya kepada Allah. Bersama menunaikan shalat, patuh dan merendahkan diri di hadapan Allah Rabbul Izzah, membumbungkan harapan setinggi-tingginya kepada Allah Rabbul Alamin, agar berkenan menurunkan hujan yang deras atas segenap wilayah negeri.
Pakaian bersahaja yang dipakai, shalat yang telah ditunaikan, kedua belah tangan yang terangkat, lantunan zikir mengandung pujian yang dilafazhkan, doa terbaik yang dipanjatkan, kesemua ini semoga dapat membuka pintu langit, untuk sampai kepada Allah pemilik segala sesuatu, Sang Raja Diraja, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui. Segala upaya ini, hendaknya dibarengi dengan kekuatan hati dan prasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan hati menjadikan lafazh doa lebih tegas berisi permintaan, sedangkan prasangka baik menjadi syarat agar doa dikabulkan oleh Allah. Tiada yang menghalangi seorang manusia untuk berprasangka baik kepada Tuhannya, kecuali jiwa yang kotor. Ia Mahakuasa atas makhluk ciptaan-Nya. Ia juga Zat Yang Mahabaik dan Maha Pemurah, maka tiada alasan untuk berprasangka buruk kepada-Nya.
Sebagai bahagian dari ikhtiar, usaha, doa dan tawakkal umat kepada sang Khaliq Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumatera Barat menghimbau seluruh pengurus Masjid agar mengajak jamaah untuk melaksanakan shalat istisqa di lapangan, halaman masjid dan tempat terbuka lainnya. Kepada khatib, dan mubaligh diharapkan memimpin umat dan memberikan khotbah istisqa sesuai sunnah. Semoga hujan dan rahmat Allah segera mengucuri kita semua. amin yarabal alamin. ***