Prabowo Subianto Bicarakan soal Sandiwara pada Penyerangan Wiranto: Saya Tidak Lihat Ada Rekayasa
D'On, Jakarta,- Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menuturkan tak ada rekayasa dalam insiden Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto diserang.
Diketahui Wiranto mendapat serangan oleh orang tak dikenal, saat akan menyapa masyarakat di pintu gerbang Lapangan Alun-alun Menes Desa Purwaraja Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Kamis (10/10/2019).
Atas serangan itu, Wiranto mendapat dua luka tusuk dan harus menjalani operasi pemotongan usus.
Prabowo yang menengok Wiranto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019) menyebut ada sembilan dokter yang menangani Wiranto, dikutip dari TribunWow.com, Jumat (11/10/2019).
"Yang jelas saya lihat tadi ada mungkin sembilan dokter senior dari TNI," ujar Prabowo seusai menjenguk Wiranto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Sehingga ia menuturkan tak ada rekayasa dalam insiden itu.
"Saya tidak melihat ada rekayasa," katanya.
Prabowo juga bercerita saat ia datang menjenguk, Wiranto tengah tertidur.
"Jadi saya tadi datang menengok Pak Wiranto, pas saya datang Beliau masih tidur. Tadi saya ketemu tim dokter ketemu ibu, Alhamdulillah kondisinya stabil," paparnya.
Ia berkata akan kembali jika Wiranto sadar kembali.
"Saya janji akan datang lagi pada saat Beliau bangun," tambah Prabowo.
Menurutnya apa yang terjadi pada Wiranto, merupakan hal yang memprihatinkan.
"Kita prihatin dengan aksi-aksi semacam itu, bukan budaya kita. Kita harus hindari semua bentuk kekerasan, intinya itu," ucap Prabowo.
Diketahui, Prabowo tiba di RSPAD Gatot Subroto pukul 18.10 WIB.
Ia datang dengan menumpang Toyota Alphard putih dengan nomor polisi B 108 PSD.
Mantan Menteri Perindustrian periode 2014-2016, Saleh Husin menuturkan kondisi Wiranto.
Diungkapkannya hal itu seusai dirinya menjenguk Wiranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2019).
"Kami masuk dan melihat kondisi Pak Wiranto yang lagi terbaring lemas dan kami ajak bicara tetapi bicara beliau masih sangat pelan, mungkin masih kesakitan," ujar Saleh.
Saleh bercerita dia sempat berbincang dengan dokter jaga.
Menurut informasi dari dokter itu, pada Kamis (10/10/2019) malam, Wiranto telah menjalani operasi usus.
Operasi di bagian usus dilakukan pasca Wiranto tertusuk benda tajam saat kunjungan di Pandegelang, Banten.
Ia lantas berdoa agar Wiranto bisa segera pulih.
"Ya kami doakan agar Pak Wiranto lekas sembuh dan pulih kembali," kata Saleh.
Dijelaskan pula oleh Tenaga Ahli Menkopolhukam Agus Ziani, bahwa usus Wiranto dipotong 40 centimeter karena terluka.
"Setibanya di RSPAD, langsung ditangani secara intensif dan dokter memutuskan untuk mengambil tindakan operasi di bagian perut lantaran akibat tusukan ditemukan luka di bagian usus halus, sehingga usus halusnya mesti dipotong sepanjang 40 cm," ungkap Agus melalui keterangan tertulis, Jumat (11/10/2019).
Meski demikian, Wiranto masih harus menjalani perawatan intensif.
"Alhamdulillah, pasca-operasi kondisi Wiranto membaik, meski tetap harus menjalani perawatan. Ia percaya, bahwa Tuhan sebaik-baiknya tempat bersandar. Semoga Allah SWT tetap mencurahkan kasih sayang-Nya," lanjut dia.
Kata Psikolog
Guru besar psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro, menuturkan alasan adanya reaksi 'senang' dari masyarakat ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto diserang dan terluka.
Sedangkan reaksi yang diberikan oleh masyarakat terkhusus warganet beragam.
Bukan prihatin, sejumlah masyarakat justru 'bersyukur' atas apa yang menimpa Wiranto.
Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (11/10/2019), Koentjoro menuturkan reaksi yang diberikan masyarakat merupakan bentuk agresivitas yang terpendam.
Agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik atau verbal.
Sehingga saat ada kabar Wiranto diserang, ada yang justru bahagia.
"Jadi begitu ada kabar itu (Wiranto diserang dan ditusuk), meledak sebagai suatu kegembiraan. Ini semuanya adalah dampak dari yang kemarin-kemarin, pemilu kemarin," kata Prof Koen melalui sambungan telepon, Jumat (11/10/2019).
Ia lantas mengatakan reaksi yang ditujukan sejumlah masyarakat itu merupakan echo chambering.
Echo chamber itu sendiri adalah ruang tempat kita hanya mendengar apa yang kita teriakkan tanpa mau tahu kondisi nyata.
"Ini hubungan dari, kalau istilah saya, terjadi echo chambering yang kemudian membuat bias kognitif," sambungnya.
Menurut Prof Koen, bahwa saat mereka yang memiliki echo chamber itu telah bergantung pada suatu kelompok, maka akan memiliki kebencian yang sangat kuat.
"Ketika kebencian sudah sangat kuat, dan ada kejadian seperti kemarin (yang menimpa Wiranto), maka kemudian mereka akan bersyukur," jelas Prof Koen.
Disambungnya lagi, menurut Prof Koen bahwa reaksi itu juga muncul dari reaksi sebelum-sebelumnya.
Yakni hubungan sebab-akibat.
"Ini tidak berdiri sendiri-sendiri. (Fenomena) ini muncul karena peristiwa-peristiwa yang lalu," tegas dia.
"Seakan-akan (kebenciannya) terbalaskan," ungkapnya.
Sementara itu kaitan motif pelaku dengan reaksi masyarakat, berbeda.
Prof Koen menilai mereka memilki alasan masing-masing.
"Siapa saja yang bisa membuat seseorang (yang dibenci) sakit, maka yang lain akan terpuaskan," jelasnya.
(TribunWow.com)