PBB: Krisis Pangan Zimbabwe adalah Masalah Keamanan Nasional
D'On, Zimbabwe,- Menurut data terakhir, sekitar 5,5 juta orang di Zimbabwe—38 persen dari populasi pedesaan—saat ini menghadapi krisis pangan. PBB menilai, krisis pangan kali ini adalah masalah keamanan nasional.
Situasi keamanan pangan Zimbabwe merupakan ancaman potensial terhadap keamanan nasional dan dapat menyebabkan kerusuhan sipil dan ketidakamanan umum di negara itu, seorang utusan PBB memperingatkan, menurut laporan Al Jazeera.
Pelapor khusus PBB tentang hak atas pangan Hilal Elver—yang berada di negara Afrika Selatan yang bermasalah tersebut sejak 18-28 November—mengatakan, situasi keamanan pangan berpotensi memburuk pada akhir tahun.
Dalam temuan awal, dia berujar masyarakat internasional harus meningkatkan bantuan kemanusiaan untuk menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi di negara itu.
“Akhirnya, izinkan saya menyuarakan kembali kata-kata seorang pejabat pemerintah yang saya temui di Harare: ‘keamanan pangan adalah keamanan nasional’. Kerawanan pangan dan konflik tanah meningkatkan risiko kerusuhan sipil dan rasa tidak aman,” Elver berkata dalam laporannya, dikutip dari Al Jazeera.
“Komunitas internasional harus meningkatkan bantuan kemanusiaan dan menyediakan sebagian besar sumber daya yang dibutuhkan untuk menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi pada saat darurat pangan.”
“Saya mendesak pemerintah dan komunitas internasional untuk bersama-sama mengakhiri krisis pangan yang berputar-putar ini sebelum berubah menjadi kerusuhan sosial,” imbuhnya.
Dia mengatakan, mekanisme peringatan dini untuk memantau hak-hak ekonomi dan sosial warga harus diberlakukan untuk mencegah penderitaan lebih lanjut.
Elver menambahkan, situasi ketahanan pangan di daerah perkotaan memprihatinkan, di mana krisis mata uang, sistem pajak yang berat, tingkat inflasi yang tidak terduga, tingkat pengangguran yang tinggi, dan upah yang rendah telah memperburuk krisis pangan yang mempengaruhi rumah tangga perkotaan.
Dilaporkan Al Jazeera, Zimbabwe mengadopsi penggunaan dolar AS pada 2009 setelah hiperinflasi secara drastis mengurangi nilai mata uang lokal.
Namun, ekonomi mencapai hambatan besar pada 2015 ketika dolar mulai menghilang dari sistem perbankan resmi.
Dalam upaya untuk mengakhiri kekurangan dolar AS, bank sentral Zimbabwe memperkenalkan nota obligasi—suatu bentuk mata uang pengganti—yang didukung oleh fasilitas obligasi US$200 juta dari Africa Export-Import Bank.
Namun, spekulasi pasar gelap dengan cepat mengikis nilai nota obligasi, memicu kekurangan yang coba diimbangi bank sentral dengan membuat nota elektronik.
Kemudian Februari lalu, uang kertas—baik fisik maupun elektronik—digabung menjadi dolar Real Time Gross Settlement (RTGS), juga dikenal sebagai Zimdollar.
Pada Juni, pemerintah bergerak untuk melindungi Zimdollar dari spekulan dengan melarang semua mata uang asing dalam transaksi lokal. Tetapi upaya ini sebagian besar gagal setelah Zimdollar dengan cepat menjadi korban spekulasi pasar gelap yang membuat nilainya anjlok.
Dolar Zimbabwe saat ini diperdagangkan pada 1:20 terhadap dolar AS di pasar gelap.
“Seiring ketidaksetaraan ekonomi meningkat, kelas menengah Zimbabwe yang sebelumnya berkembang sangat dipengaruhi oleh krisis ini. Pegawai negeri sipil, dokter, perawat, dan guru tidak lagi dapat memberi makan keluarga mereka tanpa sumber mata pencaharian alternatif,” imbuh Hilal Elver dalam laporannya.
Situasi ini, menurut Elver, sangat buruk di daerah perkotaan, sehingga beberapa orang bertahan hidup hanya dengan sekali makan sehari.
“Banyak orang yang saya ajak bicara di Harare, mengatakan kepada saya bahwa mereka hanya bisa makan satu kali sehari,” ujarnya.
“Saya menyaksikan konsekuensi dari krisis ekonomi yang menghancurkan di jalan-jalan Harare, di mana orang-orang menghabiskan berjam-jam mengantre bensin, juga di depan bank untuk mendapatkan uang tunai, dan di toko-toko untuk mendapatkan gas atau air untuk memasak.”
Elver mengatakan, beberapa warga Zimbabwe yang ia ajak bicara di Harare (ibu kota negara Afrika Selatan tersebut), mengatakan kepadanya walau makanan sudah tersedia di supermarket, namun inflasi hingga 490 persen telah membuat mereka menghadapi krisis pangan.
Menurut Zimbabwe Vulnerability Assessment Committee (ZimVAC), krisis pangan perkotaan kini berdampak pada 2,2 juta orang.
Dia juga menyampaikan kekhawatiran, beberapa warga Zimbabwe hidup di bawah kondisi yang tidak manusiawi.
Sejumlah orang melarikan diri dari daerah pedesaan yang miskin dan pindah ke kota-kota mencari peluang kerja, untuk meningkatkan akses mereka terhadap makanan dan layanan publik yang memadai. Mereka akhirnya tinggal di permukiman tidak resmi yang berkembang biak di pinggiran Harare, bunyi laporan itu.
Selain itu, penyakit menular terlihat meningkat karena penggunaan air yang tidak aman dan tidak efisien serta pembuangan kotoran terbuka.
“Saya mengunjungi salah satu permukiman yang terletak di selatan Harare. Sekitar 5.000 orang hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi tanpa infrastruktur, tanpa pekerjaan, tanpa harapan dan bantuan,” kata Elver.
“Salah seorang warga Chikos, mengatakan kepada saya, ‘Saya rasa mereka bahkan tidak tahu kita ada’. Sebagian besar sekolah umum di Harare tidak lagi dapat melanjutkan program pemberian makanan di sekolah. Paling-paling, beberapa sekolah dapat memberikan satu makanan satu minggu per kelas.”
Laporan tersebut melukiskan gambaran suram situasi kemanusiaan di Zimbabwe.
“Segmen masyarakat yang paling rentan, termasuk orang tua, anak-anak, dan perempuan, terpaksa bergantung pada alternatif lain seperti putus sekolah, pernikahan dini, dan perdagangan seks untuk mendapatkan makanan—pola perilaku yang sering disertai dengan kekerasan dalam rumah tangga,” imbuhnya.
“Perjuangan seperti ini memengaruhi kesejahteraan fisik dan harga diri mereka. Ini menciptakan perilaku dan kondisi yang melanggar hak asasi manusia mereka yang paling mendasar.”
Sebanyak 60 persen dari 14 juta penduduk Zimbabwe dianggap menghadapi kerawanan pangan dan hidup dalam rumah tangga yang tidak mampu mendapatkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar, menurut laporan Al Jazeera.
Pada akhir tahun ini, situasi ketahanan pangan diperkirakan akan “memburuk”, di mana sekitar delapan juta orang membutuhkan tindakan segera untuk mengurangi kesenjangan konsumsi makanan dan menyelamatkan mata pencaharian.
Menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh ZimVAC, 5,5 juta orang—38 persen dari populasi pedesaan—saat ini menghadapi kerawanan pangan.
Kekeringan berkala, hujan yang buruk, dan pola cuaca yang tidak menentu telah dianggap menjadi penyebab produksi pertanian yang buruk di musim lalu.
Jumlah orang yang rawan pangan diperkirakan hampir dua kali lipat pada awal 2020 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Komunitas petani—yang menghasilkan 70 persen makanan pokok (jagung, millet, dan kacang tanah)—sangat rentan.
Komunitas petani memiliki akses kurang dari 5 persen terhadap fasilitas irigasi, dan sedang berjuang untuk mengakses sumber daya produktif karena kekurangan uang, kata Elver.
Dia menambahkan, kemiskinan yang meluas, kesempatan kerja terbatas, tantangan likuiditas, korupsi yang meluas, ketidakstabilan ekonomi, salah urus dana, bencana alam, kekeringan berulang, dan sanksi ekonomi serta persyaratan oleh AS dan Uni Eropa, semuanya berkontribusi pada krisis Zimbabwe saat ini.
Penulis: Aziza Fanny Larasati
Situasi keamanan pangan Zimbabwe merupakan ancaman potensial terhadap keamanan nasional dan dapat menyebabkan kerusuhan sipil dan ketidakamanan umum di negara itu, seorang utusan PBB memperingatkan, menurut laporan Al Jazeera.
Pelapor khusus PBB tentang hak atas pangan Hilal Elver—yang berada di negara Afrika Selatan yang bermasalah tersebut sejak 18-28 November—mengatakan, situasi keamanan pangan berpotensi memburuk pada akhir tahun.
Dalam temuan awal, dia berujar masyarakat internasional harus meningkatkan bantuan kemanusiaan untuk menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi di negara itu.
“Akhirnya, izinkan saya menyuarakan kembali kata-kata seorang pejabat pemerintah yang saya temui di Harare: ‘keamanan pangan adalah keamanan nasional’. Kerawanan pangan dan konflik tanah meningkatkan risiko kerusuhan sipil dan rasa tidak aman,” Elver berkata dalam laporannya, dikutip dari Al Jazeera.
“Komunitas internasional harus meningkatkan bantuan kemanusiaan dan menyediakan sebagian besar sumber daya yang dibutuhkan untuk menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi pada saat darurat pangan.”
“Saya mendesak pemerintah dan komunitas internasional untuk bersama-sama mengakhiri krisis pangan yang berputar-putar ini sebelum berubah menjadi kerusuhan sosial,” imbuhnya.
Dia mengatakan, mekanisme peringatan dini untuk memantau hak-hak ekonomi dan sosial warga harus diberlakukan untuk mencegah penderitaan lebih lanjut.
Elver menambahkan, situasi ketahanan pangan di daerah perkotaan memprihatinkan, di mana krisis mata uang, sistem pajak yang berat, tingkat inflasi yang tidak terduga, tingkat pengangguran yang tinggi, dan upah yang rendah telah memperburuk krisis pangan yang mempengaruhi rumah tangga perkotaan.
Dilaporkan Al Jazeera, Zimbabwe mengadopsi penggunaan dolar AS pada 2009 setelah hiperinflasi secara drastis mengurangi nilai mata uang lokal.
Namun, ekonomi mencapai hambatan besar pada 2015 ketika dolar mulai menghilang dari sistem perbankan resmi.
Dalam upaya untuk mengakhiri kekurangan dolar AS, bank sentral Zimbabwe memperkenalkan nota obligasi—suatu bentuk mata uang pengganti—yang didukung oleh fasilitas obligasi US$200 juta dari Africa Export-Import Bank.
Namun, spekulasi pasar gelap dengan cepat mengikis nilai nota obligasi, memicu kekurangan yang coba diimbangi bank sentral dengan membuat nota elektronik.
Kemudian Februari lalu, uang kertas—baik fisik maupun elektronik—digabung menjadi dolar Real Time Gross Settlement (RTGS), juga dikenal sebagai Zimdollar.
Pada Juni, pemerintah bergerak untuk melindungi Zimdollar dari spekulan dengan melarang semua mata uang asing dalam transaksi lokal. Tetapi upaya ini sebagian besar gagal setelah Zimdollar dengan cepat menjadi korban spekulasi pasar gelap yang membuat nilainya anjlok.
Dolar Zimbabwe saat ini diperdagangkan pada 1:20 terhadap dolar AS di pasar gelap.
“Seiring ketidaksetaraan ekonomi meningkat, kelas menengah Zimbabwe yang sebelumnya berkembang sangat dipengaruhi oleh krisis ini. Pegawai negeri sipil, dokter, perawat, dan guru tidak lagi dapat memberi makan keluarga mereka tanpa sumber mata pencaharian alternatif,” imbuh Hilal Elver dalam laporannya.
Situasi ini, menurut Elver, sangat buruk di daerah perkotaan, sehingga beberapa orang bertahan hidup hanya dengan sekali makan sehari.
“Banyak orang yang saya ajak bicara di Harare, mengatakan kepada saya bahwa mereka hanya bisa makan satu kali sehari,” ujarnya.
“Saya menyaksikan konsekuensi dari krisis ekonomi yang menghancurkan di jalan-jalan Harare, di mana orang-orang menghabiskan berjam-jam mengantre bensin, juga di depan bank untuk mendapatkan uang tunai, dan di toko-toko untuk mendapatkan gas atau air untuk memasak.”
Elver mengatakan, beberapa warga Zimbabwe yang ia ajak bicara di Harare (ibu kota negara Afrika Selatan tersebut), mengatakan kepadanya walau makanan sudah tersedia di supermarket, namun inflasi hingga 490 persen telah membuat mereka menghadapi krisis pangan.
Menurut Zimbabwe Vulnerability Assessment Committee (ZimVAC), krisis pangan perkotaan kini berdampak pada 2,2 juta orang.
Dia juga menyampaikan kekhawatiran, beberapa warga Zimbabwe hidup di bawah kondisi yang tidak manusiawi.
Sejumlah orang melarikan diri dari daerah pedesaan yang miskin dan pindah ke kota-kota mencari peluang kerja, untuk meningkatkan akses mereka terhadap makanan dan layanan publik yang memadai. Mereka akhirnya tinggal di permukiman tidak resmi yang berkembang biak di pinggiran Harare, bunyi laporan itu.
Selain itu, penyakit menular terlihat meningkat karena penggunaan air yang tidak aman dan tidak efisien serta pembuangan kotoran terbuka.
“Saya mengunjungi salah satu permukiman yang terletak di selatan Harare. Sekitar 5.000 orang hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi tanpa infrastruktur, tanpa pekerjaan, tanpa harapan dan bantuan,” kata Elver.
“Salah seorang warga Chikos, mengatakan kepada saya, ‘Saya rasa mereka bahkan tidak tahu kita ada’. Sebagian besar sekolah umum di Harare tidak lagi dapat melanjutkan program pemberian makanan di sekolah. Paling-paling, beberapa sekolah dapat memberikan satu makanan satu minggu per kelas.”
Laporan tersebut melukiskan gambaran suram situasi kemanusiaan di Zimbabwe.
“Segmen masyarakat yang paling rentan, termasuk orang tua, anak-anak, dan perempuan, terpaksa bergantung pada alternatif lain seperti putus sekolah, pernikahan dini, dan perdagangan seks untuk mendapatkan makanan—pola perilaku yang sering disertai dengan kekerasan dalam rumah tangga,” imbuhnya.
“Perjuangan seperti ini memengaruhi kesejahteraan fisik dan harga diri mereka. Ini menciptakan perilaku dan kondisi yang melanggar hak asasi manusia mereka yang paling mendasar.”
Sebanyak 60 persen dari 14 juta penduduk Zimbabwe dianggap menghadapi kerawanan pangan dan hidup dalam rumah tangga yang tidak mampu mendapatkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar, menurut laporan Al Jazeera.
Pada akhir tahun ini, situasi ketahanan pangan diperkirakan akan “memburuk”, di mana sekitar delapan juta orang membutuhkan tindakan segera untuk mengurangi kesenjangan konsumsi makanan dan menyelamatkan mata pencaharian.
Menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh ZimVAC, 5,5 juta orang—38 persen dari populasi pedesaan—saat ini menghadapi kerawanan pangan.
Kekeringan berkala, hujan yang buruk, dan pola cuaca yang tidak menentu telah dianggap menjadi penyebab produksi pertanian yang buruk di musim lalu.
Jumlah orang yang rawan pangan diperkirakan hampir dua kali lipat pada awal 2020 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Komunitas petani—yang menghasilkan 70 persen makanan pokok (jagung, millet, dan kacang tanah)—sangat rentan.
Komunitas petani memiliki akses kurang dari 5 persen terhadap fasilitas irigasi, dan sedang berjuang untuk mengakses sumber daya produktif karena kekurangan uang, kata Elver.
Dia menambahkan, kemiskinan yang meluas, kesempatan kerja terbatas, tantangan likuiditas, korupsi yang meluas, ketidakstabilan ekonomi, salah urus dana, bencana alam, kekeringan berulang, dan sanksi ekonomi serta persyaratan oleh AS dan Uni Eropa, semuanya berkontribusi pada krisis Zimbabwe saat ini.
Penulis: Aziza Fanny Larasati