Mengerikan, Lockdown Corona Kolombia Jadi Ajang Pembunuhan Aktivis
D'On, Kolombia,- Virus Corona COVID-19 kini tengah mewabah di dunia. Pandemi ini menyebabkan sejumlah negara melakukan lockdown 'penguncian'. Salah satunya adalah Kolombia.
Negara di Amerika Latin itu menghadapi dampak yang menyeramkan dari virus Corona yang amat serius sehingga diterapkan lockdown di negara tersebut
Diberitakan Guardian, situasi lockdown ini justru jadi situasi tak menguntungkan bagi para aktivis dan figur pemerhati rakyat akar rumput. Adanya skuad atau kelompok pembunuh kelompok bersenjata Kolombia memanfaatkan situasi lockdown untuk memburu dan membunuh aktivis. Pihak organisasinon-profit setempat mengingatkan hal tersebut.
Ketika kota-kota di seluruh negeri memperkenalkan langkah-langkah karantina lokal pada minggu lalu, tiga pemimpin gerakan sosial tewas dibunuh.
Lalu ketika negara itu bersiap melakukan isolasi nasional pada hari Rabu, para aktivis memperingatkan bahwa akan lebih banyak pembunuhan yang bisa terjadi.
Marco Rivadeneira, seorang aktivis terkenal di Kolombia tewas dibunuh di selatan Provinsi Putumayo. kemudian Alexis Vergara ditembak mati di bagian barat wilayah Cauca. Selain itu ada aktivis Ivo Humberto Bracamonte yang juga tewas dibunuh di perbatasan timur dengan Venezuela.
Kolombia merupakan salah satu negara yang paling berbahaya bagi aktivis dan pemimpin-pemimpin kelompok masyarakat, yang sering kali dikecam oleh kelompok-kelompok bersenjata yang memperjuangkan teritorinya.
Sejak adanya Perjanjian Damai dilakukan pada 2017 dengan angkatan bersenjata revolusioner Kolombia (FARC), 271 aktivis telah terbunuh. Saat ini ketika pemerintah Kolombia yang berfokus pada pandemi COVID-19 malah bak waktu emas kelompok bersenjata dan paramiliter liar yang memburu para aktivis.
“Saya mendapat semakin banyak ancaman pembunuhan sejak orang-orang membicarakan virus Corona," kata Carloz Paez, seorang aktivis bidang agraria di wilayah peternakan dekat perbatasan utara dengan Panama.
Beberapa kelompok bersenjata adalah gerilyawan pemberontak FARC yang menolak menyerahkan senjata mereka. Sementara yang lainnya milik tentara pemberontak yang lebih kecil dan milisi paramiliter sayap kanan.
Adapun ideologi mereka tak lain adalah menghasilkan uang dari perdagangan narkoba, penambangan ilegal, pemerasan hingga penyerobotan lahan. Selama ini para aktivis masyarakat menjadi penghalang bagi kelompok beringas.
Ketika pemerintah memfokuskan sumber dayanya untuk menangani virus Corona yang kini telah merenggut 3 nyawa dan menginfeksi 277 jiwa itu membuat protokol keamanan setempat menjadi kacau balau.
“Mereka bermain-main dengan nyawa kami karena mereka tahu bahwa pengawal kita, polisi dan sistem peradilan akan menjadi kurang efektif seperti biasanya. Ini mengerikan. Saya takut akan hidup saya.” kata Paez.
Perang Kolombia dengan FARC dan kelompok bersenjata lainnya membuat setidaknya 260 ribu jiwa tewas dan lebih dari 7 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Sekarang, dengan sebagian besar orang di negara tersebut mengurung diri dan sebelum karantina nasional yang akan dimulai 19 hari lagi, para kelompok tersebut bermain lebih berani lagi.
Aktivis takut dengan diterapkannya karantina nasional yang dimulai pada Rabu, membuat mereka terjebak di situasi yang serba salah. Ibarat berada dalam dilema maut, jika mereka keluar rumah, maka akan terancam terinfeksi oleh virus Corona. Namun jika mereka diam di rumah maka mereka akan menjadi sasaran empuk para kelompok tersebut.
“Kami akan terbunuh, seperti biasanya.” Kata Hector Marino Caraballi yakni seorang aktivis HAM di wilayah Cauco. Diketahui bahwa dia biasanya berkeliling menggunakan mobil antipeluru dengan fasilitas keamanan yang disediakan dari pemerintah.
“Pemerintah telah mengambil langkah yang tegas dalam menangani virus ini tapi tidak melakukan apa pun untuk melindungi kami atau memberitahu kami bagaimana kami melakukan pekerjaan kami,” lanjut dia.
Kantor Komisi HAM PBB untuk pada pekan lalu melaporkan bahwa kelompok-kelompok bersenjata terus melakukan pelanggaran HAM brutal di wilayah Choco, Provinsi Paez. Tiga orang dipenggal dengan satu dieksekusi di depan desa mereka dan seorang wanita hamil dibunuh.
Sebuah koalisi LSM setempat dengan lebih dari 100 komunitas pedesaan menyerukan gencatan senjata di antara kelompok-kelompok bersenjata selama wabah COVID-19 berlangsung.
Banyak aktivis dan pengamat menuduh Presiden Ivan Duque tidak berbuat banyak untuk meredakan pertumpahan darah.
Source: VIVA