Ngotot Menolak Lockdown, Jubir Jokowi Malah Sindir Anies: Publik Butuh yang Rasional, Tak Perlu ‘Efek Kejut’
D'On, Jakarta,- Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menerangkan sampai hari ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengambil langkah lockdown.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih memilh mengimbau pembatasan sosial atau social distancing dan melakukan rapid test.
“Presiden Joko Widodo tidak memilih kebijakan karantina wilayah, tetapi memilih kebijakan pembatasan sosial. Dalam situasi pandemi Covid-19 sekarang, tak boleh ada kebijakan coba-coba yang tak terukur,” kata Fadjroel kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/3).
Menyinggung kebijakan coba-coba, Fadjroel menyebut ‘efek kejut’ yang dipilih Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Menurut dia, efek kejut dari opsi lockdown merupakan kebijakan yang kurang rasional dan tak terukur.
“Publik tak memerlukan kebijakan efek kejut tapi kebijakan rasional dan terukur yang memadukan kepemimpinan organisasi, kepemimpinan operasional, dan kepemimpinan informasi terpusat sebagaimana yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo sebagai “panglima perang” melawan pandemi Covid-19,” jelas Fadjroel.
Fadjroel mengatakan, seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah pusat dan daerah mempertimbangkan tingkat nasional, terukur, serta penuh kehati-hatian.
Mengingat, kebijakan yang diambil pemerintah baik di pusat maupun daerah berdampak luas pada jutaan rakyat Indonesia. Hingga saat ini, kasus virus corona di Indonesia semakin meningkat.
Seiring dengan bertambahnya jumlah pasien, permintaan untuk mengkarantina wilayah atau lockdown terus disuarakan oleh masyarakat.
Namun begitu, hingga saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengambil langkah lockdown. Jokowi lebih memilih imbauan untuk pembatasan sosial (sosial distance) serta melakukan rapid test (tes cepat) kepada masyakarat.
Rapid test dinilai bisa menjadi pendeteksi awal orang yang terpapar virus corona (COVID-19).
Fadjroel mengatakan, pemerintah pusat dan daerah secara terukur wajib menjalankan kebijakan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan UUD 1945, UU UU No: 6/2018 tentang Karantinaan Kesehatan, lalu Inpres No. 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Aturan lainnya, Keppres No: 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Gugus Tugas yang dikomandoi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo ituberada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Selain itu juga memperhatikan peraturan teknis Menteri Kesehatan berupa Surat Edaran No.HK.02.01/Menkes/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ini mengakui, karantina wilayah atau lockdown memang salah satu kebijakan yang tertuang dalam Nomor 6 Tahun 2018 sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat.
Namun, kata Fadjroel, kebijakan itu harus memperhatikan keselamatan dan kehidupan publik. Presiden Jokowi lebih memilih mengambil kebijakan pembatasan sosial (Social Distance).
“Bahwa benar menurut UU tersebut dimungkinkan adanya karantina wilayah (lockdown), tetapi kehati-hatian mempertimbangkan keselamatan dan kehidupan publik tetap menjadi prioritas dalam memutuskan kebijakan publik,” ujar aktivis mahasiswa 1980 -1998 ini.
(PJK1)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih memilh mengimbau pembatasan sosial atau social distancing dan melakukan rapid test.
“Presiden Joko Widodo tidak memilih kebijakan karantina wilayah, tetapi memilih kebijakan pembatasan sosial. Dalam situasi pandemi Covid-19 sekarang, tak boleh ada kebijakan coba-coba yang tak terukur,” kata Fadjroel kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/3).
Menyinggung kebijakan coba-coba, Fadjroel menyebut ‘efek kejut’ yang dipilih Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Menurut dia, efek kejut dari opsi lockdown merupakan kebijakan yang kurang rasional dan tak terukur.
“Publik tak memerlukan kebijakan efek kejut tapi kebijakan rasional dan terukur yang memadukan kepemimpinan organisasi, kepemimpinan operasional, dan kepemimpinan informasi terpusat sebagaimana yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo sebagai “panglima perang” melawan pandemi Covid-19,” jelas Fadjroel.
Fadjroel mengatakan, seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah pusat dan daerah mempertimbangkan tingkat nasional, terukur, serta penuh kehati-hatian.
Mengingat, kebijakan yang diambil pemerintah baik di pusat maupun daerah berdampak luas pada jutaan rakyat Indonesia. Hingga saat ini, kasus virus corona di Indonesia semakin meningkat.
Seiring dengan bertambahnya jumlah pasien, permintaan untuk mengkarantina wilayah atau lockdown terus disuarakan oleh masyarakat.
Namun begitu, hingga saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengambil langkah lockdown. Jokowi lebih memilih imbauan untuk pembatasan sosial (sosial distance) serta melakukan rapid test (tes cepat) kepada masyakarat.
Rapid test dinilai bisa menjadi pendeteksi awal orang yang terpapar virus corona (COVID-19).
Fadjroel mengatakan, pemerintah pusat dan daerah secara terukur wajib menjalankan kebijakan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan UUD 1945, UU UU No: 6/2018 tentang Karantinaan Kesehatan, lalu Inpres No. 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Aturan lainnya, Keppres No: 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Gugus Tugas yang dikomandoi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo ituberada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Selain itu juga memperhatikan peraturan teknis Menteri Kesehatan berupa Surat Edaran No.HK.02.01/Menkes/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ini mengakui, karantina wilayah atau lockdown memang salah satu kebijakan yang tertuang dalam Nomor 6 Tahun 2018 sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat.
Namun, kata Fadjroel, kebijakan itu harus memperhatikan keselamatan dan kehidupan publik. Presiden Jokowi lebih memilih mengambil kebijakan pembatasan sosial (Social Distance).
“Bahwa benar menurut UU tersebut dimungkinkan adanya karantina wilayah (lockdown), tetapi kehati-hatian mempertimbangkan keselamatan dan kehidupan publik tetap menjadi prioritas dalam memutuskan kebijakan publik,” ujar aktivis mahasiswa 1980 -1998 ini.
(PJK1)