Pemerintah RI Ditantang Bersuara Keras di PBB, Konflik Kemanusiaan di India Tak Bisa Dibiarkan
D'On, Jakarta,- Pemerintah Indonesia diminta bersuara keras soal konflik rasial di India. Alasannya karena Indonesia UNHRC (Dewan HAM) dan UNHSC (Dewan Keamanan PBB).
Demikian disampaikan pengamat hubungan internasional Universitas Paramadina, Dinna Prapto Raharjo, Senin (2/3).
Menurut Dinna apa yang terjadi di India tidak jauh berbeda dengan Myanmar.
Maka dari itu, sebaiknya pemerintah Indonesia mengagendakan persoalan yang telah menewaskan puluhan orang itu sebagai agenda politik luar negeri.
“Selayaknya pemerintah Indonesia mengagendakan persoalan ini di sana karena persoalan kemanusiaan terus menggerus perdamaian internal di sejumlah negara,” kata Dinna.
Lebih lanjut Dinna menjelaskan komitmen pemerintah pusat terlihat lemah, padahal menghadapai persoalan kemanusiaan seperti yang terjadi di India butuh komitmen kuat bagi setiap negara untuk membantu menciptakan perdamaian.
“Komitmen pemerintah pusat untuk urusan luar negeri terbilang lemah, padahal mendorong isu seperti ini di tingkat global butuh “stamina kuat” dan “endurance tinggi” maka bisa saja Kemenlu memilih jalan praktis untuk tidak reaktif dan bersifat wait & see,” kata Dinna.
(PJK)
Demikian disampaikan pengamat hubungan internasional Universitas Paramadina, Dinna Prapto Raharjo, Senin (2/3).
Menurut Dinna apa yang terjadi di India tidak jauh berbeda dengan Myanmar.
Maka dari itu, sebaiknya pemerintah Indonesia mengagendakan persoalan yang telah menewaskan puluhan orang itu sebagai agenda politik luar negeri.
“Selayaknya pemerintah Indonesia mengagendakan persoalan ini di sana karena persoalan kemanusiaan terus menggerus perdamaian internal di sejumlah negara,” kata Dinna.
Lebih lanjut Dinna menjelaskan komitmen pemerintah pusat terlihat lemah, padahal menghadapai persoalan kemanusiaan seperti yang terjadi di India butuh komitmen kuat bagi setiap negara untuk membantu menciptakan perdamaian.
“Komitmen pemerintah pusat untuk urusan luar negeri terbilang lemah, padahal mendorong isu seperti ini di tingkat global butuh “stamina kuat” dan “endurance tinggi” maka bisa saja Kemenlu memilih jalan praktis untuk tidak reaktif dan bersifat wait & see,” kata Dinna.
(PJK)