Harga Minyak Dunia Anjlok, Pertamina Pertimbangkan Untuk Impor Minyak
D'On, Jakarta,- Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan anjloknya harga minyak dunia hingga di bawah 0 dolar AS per barel minyak cukup memukul sektor migas.
Produksi minyak dalam negeri kalah bersaing karena harga minyak impor menjadi jauh lebih murah. Gara-gara itu, Pertamina sempat terpikir melakukan langkah ekstrem yaitu menyetop operasi kilang dan beralih ke impor.
“Maka kami lebih baik tutup semua kilang tapi kami kan tidak boleh,” ucap Nicke dalam rapat dengar pendapat virtual dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (21/4/2020).
Nicke menyatakan Pertamina kesulitan menyesuaikan biaya operasional atau operational expenditure (opex) dan biaya modal atau capital expenditure (capex) dengan tingkat harga minyak mentah di pasar. Biaya produksi Pertamina katanya jauh lebih tinggi dari minyak mentah atau crude.
Implikasinya terjadi pada Harga Pokok Produksi (HPP) Pertamina yang sebagian besar berasal dari crude domestik. Sebagai antisipasi, Pertamina sudah meminta keringanan kepada Kementerian ESDM terkait relaksasi penyerapan harga crude dalam negeri.
Dari situasi itu, Nicke bilang opsi penutupan kilang memang masuk akal dari sisi bisnis karena perhitungan cost of good sold atau biaya produksi kilang Pertamina tidak bisa melawan harga impor. Ia mencontohkan pertengahan Maret 2020 harga bahan bakar jenis gasoline impor bisa dibeli dengan harga 22,5 dolar AS per barel minyak jauh lebih murah dari produksi domestik.
Namun, ia menyadari hal itu bakal menjadi bumerang buruk buat perekonomian seperti defisit migas. Belum lagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang minyaknya harus diserap Pertamina.
Opsi lain untuk berhemat seperti sumur juga bisa dilakukan kala harga minyak jatuh. Namun, Nicke juga menilai dampak jangka panjangnya justru dapat menimbulkan biaya tambahan lebih besar. Belum lagi, ada sekitar 62 ribu karyawan yang terdampak dan menurutnya tidak mungkin gaji mereka ikut disetop juga sehingga tetap ada biaya.
“Kami butuh pendapat hal ini. Lebih mudah kami stop hulu. Tapi kami sepakat tidak selamanya semua begitu. Reaktivisasi butuh waktu dan biaya," ucap Nicke.
Sebagai antisipasi, menurut data Pertamina, mereka telah mengurangi aktivitas sumur eksplorasi dan sumur eksploitasi masing-masing 35 persen dan 25 persen. Sumur yang berkaitan langsung dengan produksi dipertahankan.
Targetnya Pertamina bisa menghemat biaya operasional hulu 5,52 miliar dolar AS menjadi 4,44 miliar dolar AS. Biaya investasi juga ikut ditekan dari 3,7 miliar dolar AS menjadi 2,8 miliar dolar AS.
(Tirto)
Produksi minyak dalam negeri kalah bersaing karena harga minyak impor menjadi jauh lebih murah. Gara-gara itu, Pertamina sempat terpikir melakukan langkah ekstrem yaitu menyetop operasi kilang dan beralih ke impor.
“Maka kami lebih baik tutup semua kilang tapi kami kan tidak boleh,” ucap Nicke dalam rapat dengar pendapat virtual dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (21/4/2020).
Nicke menyatakan Pertamina kesulitan menyesuaikan biaya operasional atau operational expenditure (opex) dan biaya modal atau capital expenditure (capex) dengan tingkat harga minyak mentah di pasar. Biaya produksi Pertamina katanya jauh lebih tinggi dari minyak mentah atau crude.
Implikasinya terjadi pada Harga Pokok Produksi (HPP) Pertamina yang sebagian besar berasal dari crude domestik. Sebagai antisipasi, Pertamina sudah meminta keringanan kepada Kementerian ESDM terkait relaksasi penyerapan harga crude dalam negeri.
Dari situasi itu, Nicke bilang opsi penutupan kilang memang masuk akal dari sisi bisnis karena perhitungan cost of good sold atau biaya produksi kilang Pertamina tidak bisa melawan harga impor. Ia mencontohkan pertengahan Maret 2020 harga bahan bakar jenis gasoline impor bisa dibeli dengan harga 22,5 dolar AS per barel minyak jauh lebih murah dari produksi domestik.
Namun, ia menyadari hal itu bakal menjadi bumerang buruk buat perekonomian seperti defisit migas. Belum lagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang minyaknya harus diserap Pertamina.
Opsi lain untuk berhemat seperti sumur juga bisa dilakukan kala harga minyak jatuh. Namun, Nicke juga menilai dampak jangka panjangnya justru dapat menimbulkan biaya tambahan lebih besar. Belum lagi, ada sekitar 62 ribu karyawan yang terdampak dan menurutnya tidak mungkin gaji mereka ikut disetop juga sehingga tetap ada biaya.
“Kami butuh pendapat hal ini. Lebih mudah kami stop hulu. Tapi kami sepakat tidak selamanya semua begitu. Reaktivisasi butuh waktu dan biaya," ucap Nicke.
Sebagai antisipasi, menurut data Pertamina, mereka telah mengurangi aktivitas sumur eksplorasi dan sumur eksploitasi masing-masing 35 persen dan 25 persen. Sumur yang berkaitan langsung dengan produksi dipertahankan.
Targetnya Pertamina bisa menghemat biaya operasional hulu 5,52 miliar dolar AS menjadi 4,44 miliar dolar AS. Biaya investasi juga ikut ditekan dari 3,7 miliar dolar AS menjadi 2,8 miliar dolar AS.
(Tirto)