Aneh Tapi Nyata, Militer Israel Selalu Kalang Kabut Saat Diserang Roket Rumahan Hamas
D'On, Israel,- Untuk mencegah masuknya para penyerang dari Palestina, militer Israel membangun tembok pembatas mirip tembok Berlin di era Perang Dingin.
Maka warga Palestina yang masuk ke wilayah Israel untuk berbagai keperluan seperti bekerja, mengunjungi saudara, dan lainnya harus melalui pintu-pintu khusus yang dijaga oleh pasukan Israel bersenjata lengkap.
Di sisi lain tembok pembatas juga mencerminkan bahwa warga Israel telah hidup dalam semacam penjara raksasa akibat ketakutan yang berlebihan setelah menguasai sejumlah wilayah Palestina.
Meski terhalang tembok, para pejuang Palestina yang ingin melancarkan serangan terhadap Israel tidak kurang akal.
Salah satu kelompok pejuang yang secara rutin menyerang wilayah Israel adalah pejuang Hamas yang berbasis di Jalur Gaza.
Dengan cerdiknya, mereka menerapkan strategi asimetrik dengan cara menembakkan sejumlah roket yang rata-rata buatan sendiri. Militer Israel benar-benar merasa kelimpungan.
Daya gempur dari roket-roket berhulu ledak rendah itu memang tidak begitu menghancurkan tapi efek terornya begitu luar biasa.
Apalagi pejuang Hamas selalu mengancam bahwa mereka bisa memproduksi roket berhulu ledak besar dan siap menghancurkan sasaran Israel dalam jarak jauh.
Sesumbar itu jelas tidak bisa dianggap main-main. Pasalnya untuk memperoleh senjata mematikan, Hamas bisa mendapat bantuan dari negara yang selama ini merupakan musuh bebuyutan Israel seperti Suriah, Mesir, dan Iran.
Serangan roket Hamas yang secara psikologi mengguncang warga Israel dimulai pada 2008 menggunakan roket-roket berbentuk kecil dan berdiameter 90-70 mm.
Jarak jangkauan roket yang dinamai Qassam itu sekitar 10 km dan jika menghantam sasaran hanya bisa menimbulkan kerusakan ringan. Tapi jika roket Qassam bisa tepat menghantam pom bensin atau depot bahan bakar lainnya, efek kerusakan yang ditimbulkan pasti luar biasa.
Gempuran roket Hamas dari jalur Gaza ke wilayah Israel mungkin saja merupakan cara paling tepat untuk meneror Israel. Pasalnya serangan-serangan yang mengedepankan pasukan tempur secara gerilya dan serbuan frontal selalu bisa dimentahkan oleh militer Israel.
BIKIN PENING
Roket Qassam sebenarnya mudah ditangkis, misalnya dengan rudal penangkis rudal Patriot.
Tapi itu tidak sepadan mengingat mahalnya harga satu rudal Patriot.
Militer Israel akhirnya menggelar sistem pertahanan udara antiroket Hamas, Iron Dome Missile Defense Syatem, tapi sistem itu tetap saja kurang efektif.
Dari 1.000 roket yang diluncurkan Hamas, hanya 201 roket yang bisa dihancurkan di udara. Militer Israel memang tidak mau menganggap enteng ancaman roket-roket Hamas.
Apalagi berdasar hasil penyelidikan intelijen Mossad, pejuang Hamas terus meningkatkan kemampuan roketnya dengan cara mengembangkan atau mendapatkan roket dan rudal secara rahasia dari perbatasan Mesir.
Maklum Gaza berbatasan lansung dengan Mesir dan telah banyak terowongan rahasia yang dibangun baik untuk menyelundupkan logistik pangan, manusia maupun persenjataan.
Hasil dari peningkatan kemampuan roket Hamas juga sudah tampak karena hampir semua roket Hamas selalu jatuh di ibu kota Israel, Tel Aviv dan kota penting Jerusalem.
Sebelum roket menghantam sasaran hanya ada waktu satu menit bagi warga Israel untuk mencari tempat perlindungan sehingga kemungkinan untuk jadi korban ledakan roket sangat besar.
Tak ada pilihan lain bagi militer Israel kecuali melancarkan serangan militer berskala besar untuk melumpuhkan pangkalan roket-roket Hamas di Jalur Gaza.
Sejumlah operasi militer berskala besar antara lain Operation Protective Edge terus dilancarkan hingga saat ini.
Tapi operasi militer Israel justru makin meningkatkan serangan roket Hamas yang tidak hanya diluncurkan dari Jalur Gaza tapi juga dari Dataran Tinggi Golan, Suriah.
Sejak diluncurkan dari tahun 2001, lebih dari 15.000 roket dan mortir telah menghantam sejumlah wilayah Israel dengan korban tewas lebih dari 20 orang.
Tapi karena pangkalan roket Hamas yang hanya merupakan semacam bengkel rumahan itu bisa cepat dipindahkan, serangan militer Israel yang menitikberatkan serangan udara lebih banyak menghantam sasaran warga sipil dibandingkan pangkalan roket Hamas.
Akibatnya, serangan balasan Israel hanya menimbulkan tragedi kemanusiaan dan memaksa PBB harus turun tangan.
Seperti biasa ikut campur tangannya PBB akan menghentikan gempuran Israel untuk sementara. Tapi konflik bersenjata sewaktu-waktu akan meletus lagi sebelum Israel mengembalikan semua wilayah jajahan di bumi Palestina.
Apalagi pada Desember 2017 Israel secara sepihak telah memindahkan ibukotanya ke Jerusalem sehingga memicu kemarahan dan reaksi keras dari negara-negara Arab.
(IOC/mond)