Perang Dingin, Hubungan China-AS Berada di Fase Terendah Dalam 40 Tahun
D'On, Tiongkok,- Dalam beberapa hari terakhir, hubungan antara China dengan Amerika mengalami kemunduran yang sangat dramatis.
Sejumlah pakar menilai, hubungan bilateral kedua negara telah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Melansir South China Morning Post, selama sepekan terakhir, pemerintahan Trump telah mengancam untuk membatalkan kesepakatan perdagangan fase satu dan meningkatkan pemberlakuan tarif terhadap China.
Amerika juga terus mendorong teori-teori yang menyatakan bahwa virus corona adalah buatan manusia yang bocor dari laboratorium di kota Wuhan.
Sebagai balasan, media pemerintah China dan sejumlah diplomatnya di beberapa negara telah meningkatkan serangan melalui media sosial kepada tokoh-tokoh politik AS.
Melihat kondisi ini, sejumlah analis menilai hubungan China dan AS semakin memburuk.
"Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," kata Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara Tiongkok.
Dia menambahkan, “Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki kompetisi penuh dan perputaran cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu.”
Saat retorika tentang "Perang Dingin baru" adalah pokok pembicaraan yang umum di Washington, namun kata-kata itu jarang digunakan di depan umum oleh para penasihat dan pakar politik luar negeri China.
Bagaimanapun, Perang Dingin yang asli berarti akhir dari Uni Soviet dan menghasilkan Amerika Serikat sebagai pemenangnya.
Reuters melaporkan pada hari Senin, dokumen pemerintah China yang bocor mengatakan sentimen global anti-Tiongkok berada pada titik terburuk sejak 1989, ketika Beijing secara brutal menindak aksi protes di Lapangan Tiananmen.
Yu Wanli, wakil direktur di lembaga think tank Lian An Academy di Beijing, setuju bahwa hubungan AS-China berada pada titik terendah sejak penumpasan Tiananmen.
“Saya selalu optimis tentang hubungan AS-China sampai saat ini. Di masa lalu, Anda selalu dapat menemukan suara pro-China pada spektrum politik AS, tetapi tidak ada suara seperti itu dalam pemerintahan Trump," kata Yu.
Dia merujuk ke jajak pendapat Pew baru-baru ini di mana dari 1.000 orang Amerika, 66% responden memiliki pandangan yang tidak menguntungkan tentang Tiongkok.
Chen Zhiwu, direktur Institut Global Asia di Universitas Hong Kong, mengatakan situasi kali ini adalah yang terburuk yang pernah dilihatnya dalam lebih dari 40 tahun sepanjang dia mempelajari masalah AS-China.
“Bahkan pada tahun 1989, sentimen yang mendasari orang Amerika terhadap Tiongkok tidak terlalu buruk. Itu jauh lebih buruk dan jauh lebih mengakar.
Tiongkok dapat berhenti menggunakan saluran diplomatik dan juru bicara untuk lebih jauh mengobarkan retorika, karena upaya semacam ini tidak membantu," paparnya.
Zhiwu juga bilang, suasananya bahkan lebih dingin sekarang dibandingkan pada titik rendah 2018 dan 2019, ketika Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif pada barang-barang China dalam upaya untuk memaksa perubahan struktural pada ekonomi terbesar kedua di dunia.
(mond/IOC)
Sejumlah pakar menilai, hubungan bilateral kedua negara telah jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Melansir South China Morning Post, selama sepekan terakhir, pemerintahan Trump telah mengancam untuk membatalkan kesepakatan perdagangan fase satu dan meningkatkan pemberlakuan tarif terhadap China.
Amerika juga terus mendorong teori-teori yang menyatakan bahwa virus corona adalah buatan manusia yang bocor dari laboratorium di kota Wuhan.
Sebagai balasan, media pemerintah China dan sejumlah diplomatnya di beberapa negara telah meningkatkan serangan melalui media sosial kepada tokoh-tokoh politik AS.
Melihat kondisi ini, sejumlah analis menilai hubungan China dan AS semakin memburuk.
"Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," kata Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara Tiongkok.
Dia menambahkan, “Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki kompetisi penuh dan perputaran cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu.”
Saat retorika tentang "Perang Dingin baru" adalah pokok pembicaraan yang umum di Washington, namun kata-kata itu jarang digunakan di depan umum oleh para penasihat dan pakar politik luar negeri China.
Bagaimanapun, Perang Dingin yang asli berarti akhir dari Uni Soviet dan menghasilkan Amerika Serikat sebagai pemenangnya.
Reuters melaporkan pada hari Senin, dokumen pemerintah China yang bocor mengatakan sentimen global anti-Tiongkok berada pada titik terburuk sejak 1989, ketika Beijing secara brutal menindak aksi protes di Lapangan Tiananmen.
Yu Wanli, wakil direktur di lembaga think tank Lian An Academy di Beijing, setuju bahwa hubungan AS-China berada pada titik terendah sejak penumpasan Tiananmen.
“Saya selalu optimis tentang hubungan AS-China sampai saat ini. Di masa lalu, Anda selalu dapat menemukan suara pro-China pada spektrum politik AS, tetapi tidak ada suara seperti itu dalam pemerintahan Trump," kata Yu.
Dia merujuk ke jajak pendapat Pew baru-baru ini di mana dari 1.000 orang Amerika, 66% responden memiliki pandangan yang tidak menguntungkan tentang Tiongkok.
Chen Zhiwu, direktur Institut Global Asia di Universitas Hong Kong, mengatakan situasi kali ini adalah yang terburuk yang pernah dilihatnya dalam lebih dari 40 tahun sepanjang dia mempelajari masalah AS-China.
“Bahkan pada tahun 1989, sentimen yang mendasari orang Amerika terhadap Tiongkok tidak terlalu buruk. Itu jauh lebih buruk dan jauh lebih mengakar.
Tiongkok dapat berhenti menggunakan saluran diplomatik dan juru bicara untuk lebih jauh mengobarkan retorika, karena upaya semacam ini tidak membantu," paparnya.
Zhiwu juga bilang, suasananya bahkan lebih dingin sekarang dibandingkan pada titik rendah 2018 dan 2019, ketika Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif pada barang-barang China dalam upaya untuk memaksa perubahan struktural pada ekonomi terbesar kedua di dunia.
(mond/IOC)