Palestina Akan Umumkan Kemerdekaan Jika Israel Caplok Wilayah Tepi Barat
D'On, Ramallah (Palestina),- Dalam manuver yang dramatis, Palestina mengumumkan bakal mendeklarasikan kemerdekaan jika Israel mencaplok Tepi Barat. Berbicara dari kantornya di Ramallah kepada media asing, Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh menyatakan, pihaknya akan mendeklarasikan negara independen.
"Jika Israel melakukan pendudukan setelah 1 Juli, maka kami akan berubah dari Otoritas Palestina (PA) yang sifatnya interim menjadi negara utuh," ancamnya.
PM Shtayyeh mengatakan, seperti diwartakan Sky News, Rabu (10/6/2020), dia tidak ingin jika pemerintahan tidak mempunyai negara untuk diperintah. Dia menerangkan, mendeklarasikan kemerdekaan berarti mereka akan mempunyai dewan pendiri dan menyatakan konstitusi negara.
"Palestina akan menggunakan perbatasan 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kota, di mana internasional akan mengakui fakta ini," tegasnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali mengancam akan menerapkan kedaulatan mereka permukiman warganya di Tepi Barat. Lebih dari 700.000 orang Israel bermukim di sana, mulai dari desa yang berada di perbatasan hingga daerah yang dikembangkan layaknya kota.
Mereka semua menghuni daerah yang memang diberikan bagi Ramallah berdasarkan Perjanjian Damai Oslo 1993, sehingga dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Shtayyeh, yang merupakan veteran dalam perjanjian damai dua negara, menerangkan desain Perjanjian Damai Oslo berdasarkan proses "inkrementalisme". Artinya, area yang menjadi milik Palestina, termasuk di dalamnya Jalur Gaza dan Tepi Barat, seiring waktu akan menjadi wilayah permanen mereka.
Perambahan Tel Aviv ke wilayah mereka, menurut Shtayyeh, dan janji menerapkan kedaulatan bisa menyebabkan kerusakan pada proses perdamaian. "Pendudukan ini jelas menggerus aspirasi kami. Aneksasi ini merupakan erosi total kawasan geografis yang akan menjadi tanah kami," keluhnya.
Shtayyeh menjelaskan, jika diberi pilihan apakah menghormati hukum internasional dan mendukung aneksasi, dunia jelas akan mendukung yang pertama. Sang PM menuturkan, kini mereka sudah tidak bisa lagi menutup mata atas kondisi yang dianggapnya sudah sedemikian genting tersebut.
"Saya pikir kami sudah terbangun, dan kami menghadapi kondisi sesungguhnya sebagai pemimpin Palestina. Karena itulah, kami tak bisa menerima aneksasi ini," paparnya.
Pada Januari, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan rencana yang disebutkan "kesepakatan terbesar abad ini" untuk Timur Tengah. Secara kontroversial, Washington menyatakan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat dianggap tidak menyalahi hukum internasional. Pemerintahan Trump menyetujui berdirinya PA.
Namun, hanya berdasarkan 70 persen wilayah di Tepi Barat sesuai kesepakatan Oslo. Rencana tersebut menawarkan sebagai konsesi, Tel Aviv akan memberikan sebuah padang gurun tak berpenghuni di wilayah paling selatan kepada Palestina.
"Proses perdamaian ini telah mencapai jalan buntut dan terus terang, saya rasa sudah tidak mungkin diperbaiki," papar Shtayyeh. Namun, dia menjamin mereka masih akan mempertahankan ketertiban yang ada. "Saya kira masih banyak yang akan mendukung kami," tukasnya.
Sumber: kompas.com
"Jika Israel melakukan pendudukan setelah 1 Juli, maka kami akan berubah dari Otoritas Palestina (PA) yang sifatnya interim menjadi negara utuh," ancamnya.
PM Shtayyeh mengatakan, seperti diwartakan Sky News, Rabu (10/6/2020), dia tidak ingin jika pemerintahan tidak mempunyai negara untuk diperintah. Dia menerangkan, mendeklarasikan kemerdekaan berarti mereka akan mempunyai dewan pendiri dan menyatakan konstitusi negara.
"Palestina akan menggunakan perbatasan 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kota, di mana internasional akan mengakui fakta ini," tegasnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali mengancam akan menerapkan kedaulatan mereka permukiman warganya di Tepi Barat. Lebih dari 700.000 orang Israel bermukim di sana, mulai dari desa yang berada di perbatasan hingga daerah yang dikembangkan layaknya kota.
Mereka semua menghuni daerah yang memang diberikan bagi Ramallah berdasarkan Perjanjian Damai Oslo 1993, sehingga dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Shtayyeh, yang merupakan veteran dalam perjanjian damai dua negara, menerangkan desain Perjanjian Damai Oslo berdasarkan proses "inkrementalisme". Artinya, area yang menjadi milik Palestina, termasuk di dalamnya Jalur Gaza dan Tepi Barat, seiring waktu akan menjadi wilayah permanen mereka.
Perambahan Tel Aviv ke wilayah mereka, menurut Shtayyeh, dan janji menerapkan kedaulatan bisa menyebabkan kerusakan pada proses perdamaian. "Pendudukan ini jelas menggerus aspirasi kami. Aneksasi ini merupakan erosi total kawasan geografis yang akan menjadi tanah kami," keluhnya.
Shtayyeh menjelaskan, jika diberi pilihan apakah menghormati hukum internasional dan mendukung aneksasi, dunia jelas akan mendukung yang pertama. Sang PM menuturkan, kini mereka sudah tidak bisa lagi menutup mata atas kondisi yang dianggapnya sudah sedemikian genting tersebut.
"Saya pikir kami sudah terbangun, dan kami menghadapi kondisi sesungguhnya sebagai pemimpin Palestina. Karena itulah, kami tak bisa menerima aneksasi ini," paparnya.
Pada Januari, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan rencana yang disebutkan "kesepakatan terbesar abad ini" untuk Timur Tengah. Secara kontroversial, Washington menyatakan bahwa permukiman Israel di Tepi Barat dianggap tidak menyalahi hukum internasional. Pemerintahan Trump menyetujui berdirinya PA.
Namun, hanya berdasarkan 70 persen wilayah di Tepi Barat sesuai kesepakatan Oslo. Rencana tersebut menawarkan sebagai konsesi, Tel Aviv akan memberikan sebuah padang gurun tak berpenghuni di wilayah paling selatan kepada Palestina.
"Proses perdamaian ini telah mencapai jalan buntut dan terus terang, saya rasa sudah tidak mungkin diperbaiki," papar Shtayyeh. Namun, dia menjamin mereka masih akan mempertahankan ketertiban yang ada. "Saya kira masih banyak yang akan mendukung kami," tukasnya.
Sumber: kompas.com