Pledoi Terdakwa Malah Sudutkan Novel Baswedan
D'On, Jakarta,- Sidang kasus Novel Baswedan berlanjut ke tahap pembelaan atau pleidoi. Dua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang membela diri kini masih sebagai polisi aktif dari kesatuan Brimob.
Keduanya dikawal 10 orang pengacara berasal dari Divisi Hukum Mabes Polri dipimpin oleh kepala divisi Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho. Rudy membacakan pleidoi terdakwa secara tertulis.
Pembelaan keduanya berfokus pada beberapa hal. Di antaranya, Rudy menyebutkan, Rahmat bukan merencanakan penyerangan kepada Novel Baswedan, melainkan spontan. Malam hari sebelum penyerangan pada 11 April 2017, Rahmat tidak dapat tidur.
Terdakwa memikirkan tindakan terhadap Novel yang diklaim tidak bersikap ksatria dalam kasus tewasnya pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Kasus burung walet menempatkan Novel sebagai kepala satuan reserse kriminal yang bertanggungjawab atas tewasnya pencuri. Namun, pihak Novel membantah keterlibatan dalam tewasnya pencuri. Kasusnya sempat ditangani kejaksaan, tapi dihentikan karena tak cukup bukti dan kedaluwarsa.
Keterlibatan Novel dalam kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet dianggap sebagai motif penyerangan terdakwa Rahmat. Dan bukan berkaitan kinerja Novel di KPK.
“Jiwa korsa yang tinggi dalam diri terdakwa [Rahmat] menjadikannya sedikit gelap mata, sehingga terdakwa melakukan penyiraman tersebut sebagai bentuk untuk mengingatkan saksi korban agar [Novel] dapat bersikap ksatria dan tidak mengorbankan anak buah dan institusi yang membesarkannya,” kata Rudy dalam sidang pleidoi di PN Jakarta Timur melalui siaran Youtube, Senin (15/6/2020).
Rudy mengklaim, penyerangan dengan air aki yang dicampur air biasa kepada Novel justru tidak mengakibatkan luka berat. Kerusakan di kornea mata kiri akibat dari kesalahan penanganan medis usai penyerangan.
“Kerusakan penglihatan yang saat ini diderita saksi korban merupakan akibat penanganan [medis] yang tidak tepat. Bukan sebagai akibat langsung dari tindakan penyiraman oleh terdakwa,” ujar Rudy.
Padahal dalam proses pengobatan, Novel telah menjalani pengobatan di berbagai rumah sakit Singapura dan Indonesia. Gigi taring Novel Baswedan digunakan untuk membuat jaringan di mata kiri, tapi akhirnya tidak terselamatkan.
Kornea mata kiri novel saat ini divonis tak berfungsi 100 persen, sehingga mengalami kehilangan penglihatan permanen. Sedangkan mata kanan kemampuan penglihatannya berkurang 50 persen.
Hal ini berkaitan daya rusak air keras yang digunakan sebagaimana klaim Novel Baswedan soal pemeriksaan medis usai penyerangan. Bukan air aki seperti klaim pengacara terdakwa.
Dalam persidangan sebelumnya jaksa menyatakan kedua terdakwa terbukti dalam dakwaan subsider bersalah dengan tuntutan satu tahun penjara. Alasan jaksa di antaranya terdakwa ‘tidak sengaja’ menyiramkan air keras ke mata Novel, melainkan ke badan.
Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dituntut Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Latar belakang penyiraman air keras adalah keinginan memberikan Novel Baswedan pelajaran atas tindakannya menghancurkan institusi Polri. Di antaranya berkaitan kasus burung walet di Bengkulu.
Meminta Terdakwa Dibebaskan
Dalam pembelaan terdakwa Ronny Bugis, Rudy menyatakan ia tak tahu-menahu adanya penyerangan. Saat itu, ia hanya diminta Rahmat mengantarkannya dengan sepeda motor ke daerah Kelapa Gading untuk mengantarkan obat.
Setelah sampai lokasi, kata Rudy, kompleks rumah Novel Baswedan, tiba-tiba Rahmat menyiramkan air aki ke tubuh Novel.
“Selain itu, telah terungkap pula bahwa terdakwa merupakan pelaku tunggal dan mandiri. Peranan saksi Ronny, yang membonceng terdakwa sehingga terdakwa dapat melakukan penyiraman adalah semata-mata bentuk setia kawan dari saksi Ronny yang diminta oleh terdakwa untuk mengantarkan terdakwa ke Kelapa Gading guna memberikan obat kepada saudara terdakwa,” ungkapnya.
Rudy meminta kepada majelis hakim agar membebaskan kedua terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskannya dari tuntutan.
“Memulihkan dan mengembalikan atau merehabilitasi terdakwa pada harkat, martabat, dan nama baiknya. Dan mengeluarkan terdakwa dari rumah tahanan,” imbuh Rudy.
Menyalahkan Korban Berkali-kali
Novel Baswedan telah berjanji terus mengkritisi proses peradilan kasusnya. Di antaranya penilaian Novel terhadap tuntutan sebagai ‘penghinaan’ telah menjadikannya korban untuk kali kesekian setelah penyerangan yang dialaminya.
Setelah tuntutan, terdakwa membacakan pledoi pun menyudutkan Novel bahwa kemampuan penglihatannya yang berkurang bukan karena penyerangan.
Selama proses peradilan, Novel menilai kejanggalan demi kejanggalan terjadi. Di antaranya, saksi kunci tak dihadirkan, motif dikerucutkan menjadi pribadi dan pelaku tunggal berdampak pengesampingan aktor intelektual hingga barang bukti ada yang hilang atau berubah.
"Walaupun demikian tuntutan jaksa 1 tahun adalah penghinaan/mengejek yang menginjak-injak nilai keadilan dan melukai perasaan semua orang sehingga ketika dia persepsikan bahwa ultra petitum [putusan hakim yang melebihi dari tuntutan jaksa] bukan solusi untuk semua permasalahan ini," kata Novel.
Dalam cuitannya di Twitter, Novel mengomentari sebuah berita bahwa ia tak yakin kedua terdakwa adalah pelaku.
“Saya juga tidak yakin kedua orang itu pelakunya. Ketika saya tanya penyidik dan jaksa mereka tidak ada yang bisa jelaskan kaitan pelaku dengan bukti. Ketika saya tanya saksi-saksi yang melihat pelaku dibilang bukan itu pelakunya. Apalagi dalangnya? Sudah dibebaskan saja daripada mengada-ngada,” cuit Novel, kemarin.
(Tirto)