Popularitas Menurun, Politikus Republik Kritik Kampanye Trump yang Dinilai Rasis dan Merendahkan
D'On, Amerika Serikat,- Sejumlah politikus Partai Republik dilaporkan tidak sepakat dengan gaya kampanye calon presiden petahana Amerika Serikat, Donald Trump, yang masih menggunakan taktik pertentangan budaya dan gaya bahasa yang menonjolkan supremasi dan merendahkan ras tertentu.
Mereka berkaca dari hasil dua jajak pendapat, yakni Reuters-Ipsos dan New York Times-Sienna College, yang memperlihatkan tingkat keterpilihan Trump lebih rendah dari pesaing terberat, Joe Biden, yang diusung Partai Demokrat.
Dari hasil survei itu, sebagian besar masyarakat Negeri Paman Sam tidak setuju dengan cara Trump menangani pandemi virus corona (Covid-19) dan gelombang unjuk rasa antirasialisme dan menolak kekerasan oleh polisi.
"Dia (Trump) memang cukup bagus di kalangan basis pemilih. Namun, semua orang yang akan menggunakan hak pilih mereka pada November mendatang sebagian besar adalah orang-orang kelas menengah, dan saya pikir mereka saat ini menginginkan presiden yang bisa menunjukkan empati lebih," kata Senator asal South Dakota sekaligus Ketua Fraksi Partai Republik di Senat AS, John Thune, Jumat (26/6).
"Mungkin saat ini yang diperlukan bukan hanya menyampaikan pesan soal kebijakan penting, tetapi bagaimana mengemas pesan itu dengan langgam yang berbeda," ujar Thune.
Ketua Komisi Hukum Senat AS, Lindsey Graham, juga angkat bicara soal menurunnya pamor Trump menjelang pilpres AS 2020. Menurut dia, Trump bisa terpilih kembali jika kondisi ekonomi pada Oktober mendatang mencapai titik positif.
"Ini memang pekan yang buruk, dan secara mendasar kita harus memperbaiki taktik," ujar Graham.
Senator Partai Republik asal South Carolina itu menambahkan,"Saya pikir ini bukan hanya soal pertentangan kebudayaan, karena Demokrat keliru soal itu. Namun, pada akhirnya, saya pikir penyampaian pesan yang lebih disiplin bakal membantu," kata Graham.
Dalam pidato kampanye di ajang 'Mahasiswa untuk Trump' di Phoenix, Arizona, Trump beberapa kali menggunakan bahasa-bahasa yang dinilai memperlihatkan sikap dan pandangan diskriminasi rasial.
Dia menyebut Covid-19 sebagai penyakit Kung Flu, karena disebut berasal dari China dan negara itu harus bertanggung jawab atas penyebaran virus tersebut. Lantas ketika Trump menyinggung soal demonstrasi antirasialisme Black Lives Matter, para pengunjung yang hadir menyoraki.
Trump juga menyatakan menolak keputusan sejumlah pemerintah daerah dan negara bagian yang memindahkan patung-patung tokoh pemberontak konfederasi yang mendukung perbudakan di masa lalu.
"Kata-kata itu penting, apakah itu pernyataan presiden atau saya," kata Senator Republik asal Alaska, Lisa Murkowski.
Murkowski menyatakan saat ini dia kesulitan mempromosikan kampanye pilpres Trump.
Menurut Senator Republik dari Texas, John Cornyn, Trump sebaiknya mengubah gaya kampanye untuk merebut hati basis massa dan pemilih mengambang. Namun, menurut dia, yang menjadi persoalan adalah Trump kerap keras kepala dan tetap menyampaikan pidato semaunya.
"Ini adalah pekan-pekan yang sulit. Terkadang dia (Trump) tidak peduli dengan dirinya sendiri," ujar Cornyn.
sumber: cnnindonesia.com
Mereka berkaca dari hasil dua jajak pendapat, yakni Reuters-Ipsos dan New York Times-Sienna College, yang memperlihatkan tingkat keterpilihan Trump lebih rendah dari pesaing terberat, Joe Biden, yang diusung Partai Demokrat.
Dari hasil survei itu, sebagian besar masyarakat Negeri Paman Sam tidak setuju dengan cara Trump menangani pandemi virus corona (Covid-19) dan gelombang unjuk rasa antirasialisme dan menolak kekerasan oleh polisi.
"Dia (Trump) memang cukup bagus di kalangan basis pemilih. Namun, semua orang yang akan menggunakan hak pilih mereka pada November mendatang sebagian besar adalah orang-orang kelas menengah, dan saya pikir mereka saat ini menginginkan presiden yang bisa menunjukkan empati lebih," kata Senator asal South Dakota sekaligus Ketua Fraksi Partai Republik di Senat AS, John Thune, Jumat (26/6).
"Mungkin saat ini yang diperlukan bukan hanya menyampaikan pesan soal kebijakan penting, tetapi bagaimana mengemas pesan itu dengan langgam yang berbeda," ujar Thune.
Ketua Komisi Hukum Senat AS, Lindsey Graham, juga angkat bicara soal menurunnya pamor Trump menjelang pilpres AS 2020. Menurut dia, Trump bisa terpilih kembali jika kondisi ekonomi pada Oktober mendatang mencapai titik positif.
"Ini memang pekan yang buruk, dan secara mendasar kita harus memperbaiki taktik," ujar Graham.
Senator Partai Republik asal South Carolina itu menambahkan,"Saya pikir ini bukan hanya soal pertentangan kebudayaan, karena Demokrat keliru soal itu. Namun, pada akhirnya, saya pikir penyampaian pesan yang lebih disiplin bakal membantu," kata Graham.
Dalam pidato kampanye di ajang 'Mahasiswa untuk Trump' di Phoenix, Arizona, Trump beberapa kali menggunakan bahasa-bahasa yang dinilai memperlihatkan sikap dan pandangan diskriminasi rasial.
Dia menyebut Covid-19 sebagai penyakit Kung Flu, karena disebut berasal dari China dan negara itu harus bertanggung jawab atas penyebaran virus tersebut. Lantas ketika Trump menyinggung soal demonstrasi antirasialisme Black Lives Matter, para pengunjung yang hadir menyoraki.
Trump juga menyatakan menolak keputusan sejumlah pemerintah daerah dan negara bagian yang memindahkan patung-patung tokoh pemberontak konfederasi yang mendukung perbudakan di masa lalu.
"Kata-kata itu penting, apakah itu pernyataan presiden atau saya," kata Senator Republik asal Alaska, Lisa Murkowski.
Murkowski menyatakan saat ini dia kesulitan mempromosikan kampanye pilpres Trump.
Menurut Senator Republik dari Texas, John Cornyn, Trump sebaiknya mengubah gaya kampanye untuk merebut hati basis massa dan pemilih mengambang. Namun, menurut dia, yang menjadi persoalan adalah Trump kerap keras kepala dan tetap menyampaikan pidato semaunya.
"Ini adalah pekan-pekan yang sulit. Terkadang dia (Trump) tidak peduli dengan dirinya sendiri," ujar Cornyn.
sumber: cnnindonesia.com