Lawan Ancaman China, Amerika Serikat Berencana Bangun Koalisi Global
D'On, Amerika Serikat,- Amerika Serikat berencana membangun koalisi global untuk melawan China yang dinilai berusaha meraup keuntungan di tengah pandemi Covid-19. AS dikabarkan mulai menyamakan persepi dengan negara-negara yang terlibat perseteruan dengan China.
Reuters melaporkan, Rabu (22/7/2020), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mark Pompeo, mengadakan pertemuan kenegaraan dengan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, di London pada Selasa (21/7/2020) kemarin.
Dalam kesempatan tersebut, Pompeo memuji ketegasan Inggris melarang semua perangkat ponsel 5G Huawei buatan China beredar di negara Eropa barat tersebut. Pompeo menyebut langkah tersebut sangat tepat, sebab perangkat Huawei memungkinkan data pribadi penggunanya disalahgunakan oleh Partai Komunis China.
Ketegangan antara China dan Amerika Serikat memanas sejak awal Januari lalu. Virus Corona yang pertama kali muncul di Wuhan, China, pada Desember 2019 dituding sebagai propaganda China mengacaukan perekonomian dunia.
Presiden Donald Trump bahkan berulang kali meminta Beijing bertanggung jawab atas meninggalnya ratusan ribu jiwa akibat virus tersebut di seluruh dunia.
Bukan hanya AS dan Inggris, China juga terlibat ketegangan dengan India terkait perbatasan di Ladakh, wilayah pegunungan Himalaya. Pada Juni lalu, bentrokan antara militer dua negara menyebabkan 20 tentara India meninggal dunia.
China kembali memicu kontroversi luas setelah mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang membatasi kebebasan warga Hong Kong, serta berusaha mengintimidasi Taiwan dan negara-negara Asian Tenggara terkait Luat China Selatan.
"Kami berharap kami dapat membangun koalisi yang memahami ancaman dan bekerja secara kolektif untuk meyakinkan Partai Komunis China bahwa hal-hal semacam itu bukan kepentingan terbaik," kata Pompeo.
Pompeo mengatakan Amerika Serikat berupaya menyamakan persepsi dengan negara-negara yang berseteru dengan China. Dia menganggap Beijing merupakan ancaman kebebasan dunia.
"Kami ingin melihat setiap negara yang memahami kebebasan demokrasi. Untuk memahami ancaman yang ditujukan oleh Partai Komunis China kepada mereka," lanjutnya.
(Heta/Reuters)
Reuters melaporkan, Rabu (22/7/2020), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mark Pompeo, mengadakan pertemuan kenegaraan dengan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, di London pada Selasa (21/7/2020) kemarin.
Dalam kesempatan tersebut, Pompeo memuji ketegasan Inggris melarang semua perangkat ponsel 5G Huawei buatan China beredar di negara Eropa barat tersebut. Pompeo menyebut langkah tersebut sangat tepat, sebab perangkat Huawei memungkinkan data pribadi penggunanya disalahgunakan oleh Partai Komunis China.
Ketegangan antara China dan Amerika Serikat memanas sejak awal Januari lalu. Virus Corona yang pertama kali muncul di Wuhan, China, pada Desember 2019 dituding sebagai propaganda China mengacaukan perekonomian dunia.
Presiden Donald Trump bahkan berulang kali meminta Beijing bertanggung jawab atas meninggalnya ratusan ribu jiwa akibat virus tersebut di seluruh dunia.
Bukan hanya AS dan Inggris, China juga terlibat ketegangan dengan India terkait perbatasan di Ladakh, wilayah pegunungan Himalaya. Pada Juni lalu, bentrokan antara militer dua negara menyebabkan 20 tentara India meninggal dunia.
China kembali memicu kontroversi luas setelah mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang membatasi kebebasan warga Hong Kong, serta berusaha mengintimidasi Taiwan dan negara-negara Asian Tenggara terkait Luat China Selatan.
"Kami berharap kami dapat membangun koalisi yang memahami ancaman dan bekerja secara kolektif untuk meyakinkan Partai Komunis China bahwa hal-hal semacam itu bukan kepentingan terbaik," kata Pompeo.
Pompeo mengatakan Amerika Serikat berupaya menyamakan persepsi dengan negara-negara yang berseteru dengan China. Dia menganggap Beijing merupakan ancaman kebebasan dunia.
"Kami ingin melihat setiap negara yang memahami kebebasan demokrasi. Untuk memahami ancaman yang ditujukan oleh Partai Komunis China kepada mereka," lanjutnya.
(Heta/Reuters)