Biografi Tan Malaka, 23 Kali Pakai Nama Samaran
Dirgantaraonline.co.id,- Di antara ratusan pahlawan yang telah gugur, Tan Malaka merupakan pejuang bangsa yang mungkin tak banyak dikenal kaum millennial dan gen Z.
Ia salah satu tokoh yang pertama kali berjuang menentang kolonialisme di Hindia Belanda, bahkan sebelum Soekarno dan Hatta. Tan Malaka juga menjadi sosok yang pertama kali mencetuskan konsep tentang 'Negara Indonesia' dan ditulis dalam bukunya yang berjudul Naar de Republik Indonesia (1925).
Penasaran sama sosok hebat yang satu ini? Ikuti biografinya berikut ini.
1. Berbekal semangat untuk membela para buruh, perjuangan revolusi Tan Malaka dimulai
Tan Malaka adalah sosok yang menonjol ketika sekolah di Rijkskweekshcool atau Sekolah Kejuruan Guru Kerajaan/Negeri, di Kota Haarlem, Belanda. Kepintarannya membuat Tan Malaka sering dipuji oleh guru-gurunya. Di Haarlem inilah Tan Malaka bisa belajar tentang filsafat ekonomi dan sosial.
Setelah menyelesaikan sekolah di Belanda, Tan Malaka melanjutkan kariernya sebagai seorang guru Bahasa Melayu untuk anak-anak buruh perkebunan teh dan tembakau, di Sanembah, Sumatra Utara. Dari mengajarnya itulah, Tan Malaka akhirnya bisa tahu tentang penderitaan kaum buruh yang sering ditipu karena buta huruf dan tak pandai berhitung.
Berbekal semangat untuk membela para buruh, Tan memutuskan bergabung dengan ISDV (Perserikatan Demokrasi Sosial Hindia). ISDV merupakan organisasi bentukan para anggota partai buruh di Belanda pada tahun 1914 yang tinggal di wilayah Hindia Belanda.
ISDV terkenal cukup radikal dalam melawan penindasan dari kolonial Belanda. Bahkan, mereka sampai merekrut tentara dan pelaut Belanda untuk melawan komandan mereka sendiri. Namun, ujung perjuangan mereka harus berakhir di penjara, hingga disuruh pulang ke Belanda.
2. Perjalanan politik Tan Malaka hingga menjadi pejuang revolusi
Perjalanan perlawanan Tan Malaka ini mengantarkan dirinya ke dunia revolusi yang sebenarnya. Pada 2-6 Maret 1921, Tan Malaka tiba di Yogyakarta dan mengikuti kongres Sarekat Islam (SI). Selama di Yogyakarta, Tan Malaka tinggal di rumah mantan pemimpin surat kabar Budi Utomo cabang Medan, yaitu Sutopo.
Melalui Sutopo, Tan Malaka pun akhirnya bisa kenal dengan HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Darsono dan Semaun. Perkenalan tersebut secara langsung semakin membuka pintu gerbang realisasi perjalanan Tan Malaka atas praktik kolonialisme Belanda.
Berkat kecerdasan dan kearifan analisisnya saat kongres, akhirnya Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpinnya. Gayung pun bersambut, ajakan Semaun diterima dengan baik oleh Tan Malaka. Tan Malaka yakin dari rahim PKI yang dipimpin Semaun akan terwujud cita-cita revolusi seperti yang terjadi di Rusia pada 1917 oleh kaum Bolshevik.
Setibanya di Semarang, Tan Malaka difasilitasi untuk mendirikan sekolah rakyat oleh Semaun. Lalu, sekolah tersebut diberi nama Sekolah Sarekat Islam. Ternyata, sekolah yang dibuat Tan Malaka itu berkembang pesat, tak hanya di Pulau Jawa saja, melainkan juga di luar Pulau Jawa.
3. Tan Malaka diasingkan ke luar negeri dan sempat bergabung dengan Partai Komunis Belanda
Pada Kongres PKI 24-25 Desember 1921 di Semarang, Tan Malaka terpilih menggantikan posisi Semaun yang sedang tidak berada di Indonesia. Sejak saat itu, aktivitas politik Tan Malaka semakin meluas dan radikal. Berbagai kegiatan yang dilakukan Tan Malaka dianggap subversif dan mengancam status quo pemerintahan Hindia Belanda.
Untuk menjaga status quo pemerintah Hindia Belanda, Tan Malaka pun dbuang ke negeri Belanda. Pada 1 Mei 1992, untuk kedua kalinya Tan Malaka menginjakkan kakinya di negeri kincir angin tersebut.
Pengasingan ke luar negeri itu dimaknai Tan Malaka sebagai sebuah ekspansi relasi dan ideologinya. Saat berada di luar negeri, begitu banyak posisi penting yang justru dijalani oleh Tan Malaka. Seperti menjadi calon anggota parlemen dari partai komunis Belanda, serta menjadi agen Komunis Internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur.
Namun, Tan Malaka juga sempat berselisih paham dengan Komintern terkait ketidaksetujuannya pada penolakan Komintern untuk bersatu dengan Pan-Islamisme saat Kongres Komintern IV 1922 di Moskow.
Tak hanya itu saja, Tan Malaka juga tak setuju dengan pemberontakan PKI di tahun 1926. Menurut Tan Malaka, kekuatan PKI saat itu belum cukup kuat untuk melakukan revolusi. Dari sinilah awal mula keretakan hubungan Tan Malaka dengan PKI bahkan sampai ke level Komintern.
4. Tan Malaka bersama dua rekannya membentuk Partai Republik Indonesia (PARI) sebagai kendaraan revolusi
Perpecahan dengan Komintern dan PKI mendorong Tan Malaka, Djamaluddin Tamin, dan Subakat mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok pada 2 Juni 1927. Pendirian PARI itu dimaksudkan untuk mempersatukan rakyat pribumi dalam melakukan revolusi Indonesia.
Adapun kader-kader yang bergabung dalam PARI, antara lain, Adam Malik, Sukarni, Maruto Nitimiharjo, Chaerul Shaleh, Pandu Kartawiguna, Mohammad Yamin, dan Iwa Kusumasumantri.
PARI yang bukan termasuk partai politik massa rupanya mampu bertahan hingga 20 tahun lamanya, yaitu dari tahun 1927 hingga 1946. PARI juga berhasil berkembang pesat di beberapa daerah, seperti Cepu, Wonogiri, Kediri, Sungai Gerong, Palembang, Medan, Banjarmasin, dan Riau.
Kendati sudah berkembang di beberapa daerah, namun PARI yang dinilai sebagai kendaraan revolusi Indonesia sayangnya tidak bisa semakin meluas lantaran diawasi pemerintahan Hindia Belanda. Semakin hari, ketidakstabilan roda organisasi PARI mulai terlihat saat ditangkapnya para pemimpin PARI, seperti Djamaluddin Tamin dan Subakat. Keduanya ditangkap oleh polisi Hindia Belanda saat mereka berada di Batavia.
Setelah keduanya ditangkap, peristiwa tragis pun terjadi saat Subakat dibunuh oleh pemerintah kolonial Belanda di penjara. Sejak kejadian itu, perlahan PARI pun mulai tenggelam dan hilang dalam arus revolusi.
5. Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dieksekusi
Selama masa perjuangan Tan Malaka, kurang lebih 89 ribu kilometer, dua benua, dan 11 negara telah dilaluinya. Mulai dari Pandan Gadang, Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang.
Selain itu, Tan Malaka juga sempat menggunakan 23 nama samaran yang digunakan untuk melindungi dirinya dari kejaran polisi. Ia juga sudah 13 kali dipenjara selama masa perjuangannya. Semua pengorbanan dan perjuangannya itu tentu menunjukkan kegigihan Tan Malaka untuk berjuang demi Indonesia.
Karena kegigihannya, perjuangan Tan Malaka dinilai melebihi perjuangan Soekarno dan Hatta. Bahkan, hal itu langsung diakui oleh Presiden Soekano dalam kongres ke-V Partai Murba pada 15 Desember 1960. Soekarno kala itu mengakui kepiawaian Tan Malaka sebagai seorang revolusioner.
Tetapi, nasib tragis harus dialami oleh Tan Malaka. Pada 21 Februari 1949 di kaki Gunung WIlis Kediri Desa Selopanggung, Tan Malaka dieksekusi dengan cara ditembak mati oleh bangsanya sendiri. Di usianya yang ke-52 tahun itu, ia meninggal dan tidak bisa menikmati kemerdekaan yang dia perjuangkan selama ini.
Tan Malaka ditembak mati atas perintah Letnan Duo Sukotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi Brawijaya. Perintah itu dikeluarkannya karena seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Soekarno-Hatta membuat kekosongan kepemimpinan dan elit militer yang tak ingin bergerilya, dianggapnya membahayakan stabilitas keamanan negara. Akhirnya, sang pejuang revolusi itu pun ditangkap dan dieksekusi mati.
Disarikan dari buku Tan Malaka, Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis.