PBB: Tahanan Perempuan di Korea Utara Dipaksa Aborsi
D'On, Korea Utara,- Perempuan hamil yang ditangkap di Korea Utara karena berusaha kabur dari negaranya dipaksa melakukan aborsi saat berada di dalam tahanan oleh para sipir, menurut PBB.
Sejumlah tahanan perempuan hamil mengalami keguguran setelah para sipir memukul mereka dan memaksa mereka melakukan pekerjaan berat, demikian temuan para peneliti.
Salah satu sumber yang diwawancarai para peneliti mengatakan dia menyaksikan para petugas penjara menyiksa seorang tahanan yang sedang hamil tua sampai anaknya meninggal dunia.
"Para sipir menaruh batu bata di punggungnya, dan memaksanya berkeliling. Dia harus memikul batu bata itu selama seminggu atau lebih. Dia tiba-tiba melahirkan. Bayinya masih hidup saat lahir. Saya diminta membungkus bayi itu dan meletakkannya di luar. Perempuan itu harus bekerja lagi besoknya," ceritanya, dikutip dari The Independent, Minggu (2/8).
Tahanan perempuan itu melahirkan di dalam selnya tanpa pertolongan tim medis - di mana saksi mata mengungkapkan dia curiga bayi itu dibiarkan mati dalam suhu musim dingin.
Dari 1.047 warga Korea Utara yang kabur ke Korea Selatan pada 2019, 80 persennya adalah perempuan. Laporan tersebut menyatakan, perempuan yang kerap dieksploitasi secara seksual atau dipaksa menikah oleh pelaku perdagangan manusia setelah meninggalkan Korea Utara dihukum secara sistematis dan dipenjara setelah kembali ke negaranya.
Seorang perempuan, yang melarikan diri ke China bercerita: “Saya dipukuli dengan sebuah alat pemukul oleh petugas investigasi awal dan ditendang oleh petugas. Perlakuan kejam juga berlangsung di Kementerian Keamanan Negara. Jika seseorang diketahui telah pergi ke gereja Korea Selatan saat tinggal di China, mereka pasti mati. Karena itu saya berusaha keras untuk tidak mengungkapkan kehidupan saya di China. Akibatnya saya dipukuli. Saya dipukuli sampai tulang rusuk saya patah. Saya masih merasakan sakitnya."
Para peneliti PBB, yang mewawancarai lebih dari 100 perempuan dalam jangka waktu satu dekade sejak 2009, menemukan beberapa orang menderita kelaparan sangat buruk sehingga menyebabkan mereka mengalami gizi buruk.
Para perempuan juga mengatakan kondisi di dalam penjara tidak manusiawi, penuh sesak dan kotor. Di dalam penjara, mereka rutin dipukuli atau disiksa. Sebagian lain mengungkapkan, mereka mengalami kekerasan seksual yang dilakukan para penjaga.
"Selama saya di penjara sekitar lima hingga enam orang meninggal. Sebagian besar dari mereka meninggal karena kekurangan gizi," kata seorang perempuan.
Orang lain yang diwawancarai mengatakan seorang tahanan hamil dipaksa melakukan satu pekerjaan agar mengalami keguguran.
"Dia melakukannya tiga atau empat kali tetapi itu (keguguran) tidak terjadi," ungkapnya.
“Dia dibawa keluar dari pusat penampungan dan diberikan suntikan agar keguguran. Saya melihatnya melahirkan dengan mata kepala sendiri. Saya mendengar tangisan, tetapi kemudian bayi itu ditelungkupkan, dibungkus plastik dan dibawa keluar sel oleh seorang penjaga penjara. Tidak ada pertolongan medis diberikan. Dia (ibu itu) meninggal setelah sekitar satu minggu. ”
Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michele Bachelet mengatakan: "Sangat memilukan membaca kisah-kisah perempuan yang melarikan diri dari negara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi pada akhirnya dihukum. Ini adalah perempuan yang sering menjadi korban eksploitasi dan perdagangan yang harus dijaga, tidak ditahan dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut. Perempuan-perempuan ini memiliki hak atas keadilan, kebenaran dan perbaikan. "
Sebuah laporan Human Rights Watch 2018 menemukan bahwa pejabat Korea Utara yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan memiliki impunitas atau kekebalan hukum sehingga pelecehan seksual begitu lazim dan dianggap normal - di mana perempuan secara rutin dipaksa untuk menanggung kekerasan seksual oleh pejabat pemerintah, polisi, penjaga penjara, petugas interogasi dan tentara.
(The Independent/mdk)