Gara-gara "Rem Darurat" Anies, Menteri Jokowi Protes sebab PSBB Picu Ekonomi Anjlok
D'On, Jakarta,- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanpa embel-embel 'transisi' pada Senin 14 September 2020. Pembatasan yang sama seperti awal Maret ini diterapkan untuk mengantisipasi dampak terburuk dari COVID-19 yang tak kunjung teratasi.
Menurutnya tanpa PSBB--yang ia sebut sebagai kebijakan “rem darurat”--rumah sakit di ibu kota terancam kolaps. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI, diprediksi tanpa rem darurat ICU khusus COVID-19 akan penuh pada 15 September, sementara tempat tidur isolasi tak tersisa pada 6 Oktober.
Para pejabat di tingkat pusat menanggapi negatif rencana ini dari sudut pandang ekonomi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, misalnya, menyatakan pengumuman Anies, yang ia sebut sebagai “rem mendadak,” telah menimbulkan ketidakpastian pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Per Kamis (10/9/2020), IHSG turun 4,88 persen dari posisi 5.084,32 pada pembukaan menjadi 4.886,98 sekitar pukul 11.
“Kalau direm mendadak kita harus menjaga kepercayaan publik karena ekonomi ini tidak semua faktor fundamental, tapi ada sentimen, terutama capital market,” ucap Airlangga dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Kamis (10/9/2020).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang juga merespons negatif dengan mengaitkan penerapan PSBB dengan kinerja industri. Ia bilang Kementerian Perindustrian menargetkan tahun 2020 utilisasi pabrik bisa naik setidaknya di angka 60 persen, setelah turun jadi 30-35 persen pada Mei lalu. Kebijakan PSBB dapat membuat target tersebut tak tercapai.
“Kalau diikuti provinsi lain yang kembali menerapkan PSBB ketat, kami melihat industri yang sudah menggeliat ini khawatir mendapat tekanan,” ucap Agus dalam kesempatan yang sama.
Sementara Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan jika PSBB membuat jalur distribusi terhambat, itu bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi. “PDB kita 50 persen konsumsi. Kalau distribusi ini tidak lancar akan mengganggu PDB kita,” ucap Agus.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar juga mengkhawatirkan PSBB dari sudut pandang ekonomi, bukan politik luar negeri. Ia bilang PSBB Anies bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi Q3-Q4 2020. Pemerintah meyakini semester II 2020 bakal terjadi pemulihan, tetapi dengan asumsi tidak ada lagi PSBB.
Pertumbuhan negatif pada Q3 berarti membuat Indonesia masuk resesi teknikal.
Oleh karena itu ia meminta jika PSBB benar-benar diterapkan, Anies memberikan pengecualian bagi industri manufaktur dan sektor usaha, tentu dengan tetap menjalankan protokol pencegahan COVID-19.
“Saya khawatir kalau dipukul rata seperti ini, tidak realistis kita berpandangan pandemi akan selesai. Dalam jangka pendek tidak ada yang tahan,” ucap Mahendra, juga dalam rapat yang sama.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan penerapan PSBB sudah pasti akan memperburuk ekonomi. Perhitungan Indef, pertumbuhan ekonomi RI di Q3 bakal terkontraksi sekitar 3,2 persen sampai 2,8 persen, dengan asumsi pemerintah masih menerapkan PSBB transisi. Angka ini jauh lebih buruk dari prediksi Kementerian Keuangan, kontraksi 2 persen sampai 0 persen.
Jika PSBB total diterapkan di sisa 1,5 bulan Q3, maka kontraksi kuartal itu akan lebih buruk dari 3,2 persen. Sebagai perbandingan, saat PSBB separuh Maret saja, ekonomi Q1 sudah melambat menjadi 2,97 persen. PSBB penuh April-Juni menyebabkan Q2 kontraksi 5,32 persen.
Karena sumbangsih PDB Jakarta sebesar 18 persen terhadap PDB nasional alias yang terbesar dari semua provinsi lain, penurunan aktivitas industri dan perdagangan di ibu kota praktis bakal mengerek turun pertumbuhan ekonomi nasional. Belum lagi, di Jakarta-lah sebagian besar peredaran uang terjadi.
Ekonomi bisa semakin anjlok jika PSBB DKI diikuti oleh provinsi lain di Jawa yang punya peran penyangga industri nasional, katanya, seperti Jawa Barat (13,4 persen PDB), Jawa Tengah (8,6 persen PDB), dan Jawa Timur (14,9 persen PDB). Porsi tiga provinsi ditambah DKI saja sudah mencapai 54,9 persen PDB nasional.
Atas dasar itu semua, “resesi kita itu akan semakin dalam. Perekonomian kita masuk ke jurang lagi ke kondisi yang lebih buruk,” ucap Rizal saat dihubungi pada Kamis (10/9/2020).
Belum lagi faktor buruknya penyerapan anggaran dan bantuan pemerintah yang tak tepat sasaran. Per 4 September, realisasi anggaran pemulihan ekonomi baru 39,11 persen, jauh di bawah standar asumsi Indef, 50 persen.
Meski buruk bagi ekonomi, Rizal menilai saat ini mau tak mau fokus pemerintah adalah menangani pandemi atau memprioritaskan kesehatan. Biarlah resesi, asal nyawa masyarakat bisa dijaga dan COVID-19 bisa cepat selesai, katanya, sehingga perekonomian bisa lebih lekas melompat terutama di 2021.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri juga sependapat. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (31/8/2020), Faisal mengingatkan jangan sampai target pemerintah adalah tidak resesi pada Q3, tapi “sampai September benahi virus, sehingga Q3 biarkan minus.”
Ini penting karena menurutnya “buat apa kita mengambil risiko huruf W begitu? Ekonomi naik turun.”
(Tirto)