Keganasan Polisi ke Jurnalis: Intimidasi, Hajar, Tangkap
D'On, Jakarta,- Jurnalis diintimidasi, dihajar, bahkan ditangkap oleh polisi saat menjalankan tugas meliput protes masyarakat terkait pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Ini terjadi di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Surabaya, Samarinda, hingga Semarang.
Salah satu korban bernama Ponco Sulaksono, jurnalis merahputih.com. Ia meliput demonstrasi di bilangan Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020) lalu. Ponco sempat dikabarkan hilang pada hingga Kamis malam oleh redaksinya. Pada Jumat dini hari baru diketahui ternyata ia ditangkap polisi.
Foto terkini Ponco menunjukkan mata yang lebam dan ada darah di bagian hidung. Belum jelas bagaimana ia mendapatkan luka tersebut.
Kemudian Tohirin dari cnnindonesia.com dan Peter Rotti dari suara.com.
Tohirin mengatakan kepalanya dipukul polisi dan ponselnya dihancurkan saat sedang meliput di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Ketika itu ia sedang meliput demonstran yang ditangkapi dan dipukuli polisi--meski tak merekam atau memotretnya. Selama liputan ia mengenakan rompi bertulis ‘pers’.
Peter juga terluka saat meliput di Thamrin. Saat meliput pengeroyokan gerombolan polisi terhadap demonstran, Peter diseret sambil dipukul dan ditendang oleh Brimob meski menjelaskan kalau dia adalah wartawan. Memori kameranya diambil, sementara kamera dikembalikan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut sampai Jumat kemarin sudah ada tujuh wartawan yang dianiaya. Jumlahnya mungkin bertambah karena penelusuran masih dilakukan.
Korban di Jakarta tak hanya jurnalis profesional. Polda Metro Jaya juga menangkap 18 jurnalis pers mahasiswa (persma). Hingga Jumat sore mereka masih ditahan, begitu juga dengan Ponco.
Beberapa di antaranya adalah Berthy Johnry, (Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta); Syarifah, Amalia (Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung); dan Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta).
Di Surabaya, setidaknya lima jurnalis jadi korban saat meliput demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di sekitar gedung Grahadi, Surabaya.
AJI Surabaya mencatat mereka diintimidasi dan diminta menghapus materi liputan. Mereka diintimidasi polisi untuk menghapus rekaman video dan foto yang mengabadikan penangkapan para demonstran. Mereka terpaksa menghapusnya.
Kejadian ini dialami Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com, dan Miftah Faridl, koresponden CNN Indonesia TV. Miftah bahkan ditantang berkelahi seorang polisi yang melarangnya mengambil gambar.
Penghalangan kerja-kerja jurnalistik juga terjadi di Semarang. Muhammad Dafi Yusuf dari suara.com dan Praditya Wibi dari serat.id diminta oleh polisi untuk tidak mengambil gambar dan menghapus video liputan. Keduanya meliput penangkapan demonstran di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Rabu (7/10/2020).
Di Samarinda setali tiga uang. Lima jurnalis diintimidasi aparat kepolisian. Saat itu mereka meliput di Polresta Samarinda.
Mereka adalah Samuel Gading (Lensa Borneo/dijambak), Mangir (Disway Nomersatu Kaltim/diinjak kakinya), Kiky (Kalimantan TV/dipukul bagian dada), Yuda Almeiro (IDN Times/Diintimidasi), dan Faishal Alwan Yasir (Koran Kaltim/sempat ditahan oleh polisi).
Berulang
Kekerasan terhadap jurnalis terus berulang, dan daftarnya makin panjang setelah kejadian kemarin. AJI menyebut sejak 2006 hingga bulan lalu, terdapat 785 jurnalis jadi korban kekerasan. Rinciannya: kekerasan fisik 239 kasus; pengusiran/pelarangan liputan 91; dan ancaman teror 77. Pelakunya didominasi oleh polisi dengan 65 kasus; 60 massa; dan 36 kasus tidak dikenal.
Pada 2019, saat demonstrasi ‘reformasi dikorupsi’, empat jurnalis yang berbasis di Jakarta melaporkan kasus kekerasan kepada polisi. Hingga kini penyelesaiannya menggantung.
“Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dan terus memproses laporan kami tahun lalu,” kata Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta.
Sementara Koordinator Divisi Advokasi AJI Surabaya Yovinus Guntur Wicaksono mengatakan saat bertugas para jurnalis mengidentifikasi diri dengan kartu pers--biasanya dikalungkan di leher. Polisi juga tahu mereka adalah wartawan. Oleh karena itu ia meminta polisi “memahami fungsi dan tugas jurnalis di lapangan dan belajar lagi isi UU Pers.”
Pasal 8 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebut “dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Lalu pasal 4 ayat 2 berbunyi “terhadap pers nasional, tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.”
Sanksi terhadap penghalangan jurnalis berupa pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono mengklaim kekerasan tersebut tak terjadi jika jurnalis menunjukkan identitas dan memberi tahu kepolisian.
“Kami sebenarnya melindungi wartawan, tapi kadang-kadang situasinya chaos dan anarkis. Anggota juga melindungi dirinya sendiri. Tentunya kita (polisi dan jurnalis) bisa saling komunikasi di lapangan, kemudian menunjukkan identitas yang jelas,” ucap Argo di Mabes Polri, Jumat (9/10/2020).
Faktanya, jurnalis seperti Tohirin sudah bilang dia pers. Jurnalis lain juga sudah pakai rompi ‘pers’, tapi tetap saja jadi korban.
(Tirto)