Pemerintah Filipina Jerat WNI Tersangka Terorisme dengan UU Antiterorisme
D'On, Filipina,- Rezky Fantasya Rullie alias Cici yang ditangkap oleh pasukan gabungan militer dengan polisi Filipina empat hari lalu akan menjadi kasus percobaan yang didakwa menggunakan UU Antiteror yang baru. UU yang disahkan pada Juli 2020 lalu sempat menuai kritik luas dari para aktivis karena para penegak hukum bisa menahan seseorang selama 24 hari tanpa dakwaan apa pun.
Cici ditangkap di sebuah rumah di Pulau Sulu lantaran sudah diburu oleh otoritas keamanan Filipina. Di rumah itu turut ditemukan dua perempuan lainnya yang diduga merupakan istri pimpinan kelompok Abu Sayyaf.
"Ini merupakan kasus besar pertama, saya kira di mana beberapa warga asing diduga akan melakukan tindakan teror dan didakwa menggunakan Undang-Undang Anti Teror yang baru," ungkap Menteri Kehakiman Filipina dan dikutip laman Arab News pada Rabu, 14 Oktober 2020.
Badan antiteror di Filipina telah menyetujui untuk memberlakukan aturan di dalam UU kontroversial Antiteror 2020. "Jaksa penuntut umum di Provinsi Sulu telah diinformasikan bahwa mereka telah memperoleh restu bila menggunakan UU Antiteror," ujarnya lagi.
Berapa lama ancaman hukuman yang harus dihadapi oleh Cici bila ia terbukti akan merencanakan teror di Filipina?
1. Cici tidak mengaku sebagai WNI ketika diinterogasi oleh polisi Filipina
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan KJRI Davao sudah mengirimkan dua surat kepada otoritas di Filipina. Pihak KJRI Davao ingin bertemu dengan Cici untuk memastikan status kewarganegaraannya.
"KJRI Davao masih menunggu diberikannya data dan akses kekonsuleran tersebut. Data dan akses bertemu dengan yang bersangkutan sangat diperlukan karena yang bersangkutan tidak mengakui seorang WNI ketika menjalani proses interogasi oleh aparat Filipina," ungkap Judha melalui keterangan tertulis pada hari ini.
Menurut Judha, saat diinterogasi oleh aparat Filipina, Cici mengaku bernama Nana Isirani dan berasal dari Malaysia. Diduga, hal itu merupakan cara agar bisa lepas dari jerat hukum di Filipina.
2. Cici diduga akan meledakan bom bunuh diri usai melahirkan
Kepala kepolisian Filipina (PNP) Jenderal Camilo Pancratius Cascolan sebelumnya mengatakan Cici akan melakukan aksinya usai melahirkan. Dalam keterangan pers, Cascolan mengatakan Cici tengah hamil lima bulan.
"Itu informasinya. Kami cukup beruntung bisa ikut menahan dia," ungkap Cascolan yang dikutip dari laman GMA Network Filipina, Selasa 13 Oktober 2020.
Cici merupakan satu dari tiga orang yang diburu oleh kepolisian Filipina. Wajah Cici sempat masuk dalam poster yang dibuat oleh militer Filipina dan disebar ke warga. Di dalam poster itu juga terdapat satu WNI lainnya bernama Andi Baso. Bahkan, di dalam poster, militer sempat mengiming-imingi akan memberikan 3 juta Peso atau setara Rp904,1 juta bagi yang bisa menemukannya.
"Di saat yang bersamaan kami masih harus meminta keterangan (kepada yang bersangkutan). Itu merupakan bagian dari prosedur yang ada, dan kami masih harus menjaga kesehatan fisiknya," kata dia lagi.
Menurut keterangan pejabat Filipina, milliter yang menggeledah rumah Cici menemukan beberapa bahan peledak seperti dua pipa tabung, satu batere 9V, satu tombol saklar, satu kabel yang diduga untuk detonator, satu klip baterai, dan satu rompi.
Kekuatan bom ini diperkirakan akan sama kuatnya dengan ledakan bom bunuh diri di Filipina, 24 Agustus 2020 lalu. Otoritas militer Filipina menduga, aksi teror Cici ini untuk membalaskan dendam kematian suaminya, Andi Baso.
3. Cici terancam hukuman bui maksimal 12 tahun
Berdasarkan UU Antiteror baru yang disahkan pada Juli 2020 lalu, menjelaskan yang dimaksud aksi terorisme adalah pidato, pernyataan deklarasi, tulisan, gambar, poster atau media lain yang mewakili. Melalui UU baru itu, Presiden Filipina diberikan kewenangan untuk menyebut individu dan kelompok tertentu sebagai teroris.
Otoritas di Filipina diberikan kewenangan untuk menahan seorang tersangka tanpa tuduhan resmi selama maksimal 24 hari. Selain itu, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan penyadapan terhadap kelompok atau individu tertentu hingga 90 hari.
Bagi individu yang terbukti bergabung dengan kelompok teror, maka ia bisa dijatuhi vonis selama 12 tahun. Publik Filipina sempat memprotes pengesahan UU Antiteror yang baru tersebut. Mereka menuding pemerintah akan menggunakannya untuk membungkam kelompok oposisi.
Lebih dari 30 petisi telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, baik oleh perorangan atau kelompok oposisi. Mereka mempertanyakan keabsahan dari UU Antiteror ini. Namun, Presiden Rodrigo Duterte menegaskan publik tidak perlu khawatir atas diberlakukannya UU itu. Sebab, ia mengesahkan aturan itu untuk melindungi warga Filipina dari aksi terorisme.
(IDN/mond/arab news)