Jubir satgas COVID-19 Tegaskan Vaksin Nusantara Terawan bukan Buatan Indonesia
D'On, Subang (Jabar),- Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito menyebut vaksin Nusantara yang digagas eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bukan buatan Indonesia. Wiku menegaskan, vaksin Nusantara adalah vaksin pengembangan Amerika Serikat yang diujicobakan di Indonesia.
"Vaksin Nusantara adalah jenis vaksin yang dikembangkan di Amerika dan diujicobakan di Indonesia," kata Wiku dalam konferensi pers daring dari Gedung BNPB, Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Wiku menegaskan, pemerintah memperbolehkan penggunaan vaksin jika mendapat izin dari BPOM, terutama aspek keamanan penggunaan vaksin, efikasi maupun kelayakan vaksin untuk digunakan. Jika memenuhi standar, pemerintah pasti mendukung pelaksanaan vaksinasi Nusantara.
"Selama memenuhi kriteria pemerintah akan memberikan dukungan. Diharapkan tim pengembang faksi nusantara dapat berkoordinasi dengan baik dengan Badan POM agar isu yang ada terkait vaksin ini dapat segera terselesaikan," kata Wiku.
Hingga saat ini, vaksin yang diinisiasi Terawan itu memang bermasalah. Selain pihak yang bergabung dalam pengembangan vaksin tersebut mundur, seperti RS Kariadi maupun UGM, vaksin tersebut sudah diinjeksi ke manusia didugatanpa melewati kaidah akademis.
BPOM pun mengatakan vaksin yang digagas Terawan itu bermasalah. Dalam laporan hasil uji klinis terhadap vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember sampai 6 Januari di RSUD Kariadi Semarang terhadap 28 subjek mencatat sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat.
"Sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," kata Kepala BPOM Penny Lukito pada Selasa (13/4/2021).
Efek samping yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae (ruam bintik-bintik kecil), lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Jika dibandingkan dengan efek samping pada vaksin Sinovac, hanya dilaporkan sekitar 0,1 persen-1 persen pada uji klinis fase 3.
Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.
Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek samping derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.
"Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, namun berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut," kata Penny.
(*)