Novel Baswedan Jangan Seenaknya Sendiri, Semau-maunya Sendiri, Bisa Hancur Negara Ini
D'On, Jakarta,- Pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam menyoroti sikap Novel Baswedan yang berlebihan.
Itu setelah penyidik senior KPK itu menolak ikut dibina jika namanya masuk dalam 24 pegawai KPK yang masih mendapat kesempatan diangkat sebagai ASN.
“Saya kira Novel jangan seperti seenaknya sendiri dan semau-maunya sendiri,” ujarnya, Minggu (30/5/2021).
Menurutnya, cepat atau lambat, publik akan menilai sikap Novel itu tidak baik.
“Kalau misalnya Novel termasuk 24 pegawai yang masih bisa dibina, mestinya tidak menolak,” sambungnya.
Jika Novel tetap menolak dibina, publik akan menganggap bahwa Novel sedang jual pengaruh dan playing victim kepada publik yang seolah-olah dizolimi.
“Kalau tetap menolak, maunya Novel apa? Maunya lulus? Kalau memang tidak lulus bagaimana?” heran Saiful.
Semestinya, kata Saiful, Novel legowo seperti peserta seleksi CPNS lain yang gagal ikut tes.
Di mana mereka harus mengulang saat tes itu kembali digelar.
“Kalau kemudian mereka memberontak seperti halnya Novel, maka bisa hancur negara ini,” tegasnya.
“Saya kira Novel harus gentlemen, kalau memang tidak lulus mestinya menyerahkan mandat,” tandasnya.
Publik akan Melihat
Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia, Asip Irama menilai, polemik TWK saat ini kian meruncing yang salah satunya, akibat ego sektoral kelompok tertentu yang ‘sakit hati’ karena namanya masuk di daftar 51 orang yang diberhentikan.
Salah satunya tidak lain adalah Novel Baswedan yang disebut tidak lolos TWK dan mengklaim tes tesebut hanya alat untuk menyingkirkan dirinya dan pegawai KPK yang lain.
Semestinya, Novel tak perlu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan atau bahkan sampai memunculkan polarisasi di masyarakat, karena sosoknya merupakan public address.
Asip Irama berpendapat, TWK kini cendrung dijadikan senjata untuk menyudutkan lembaga antirasuah yang teah memutuskan memecat 51 pegawai yang tidak lulus tes TWK.
Padahal, TWK adalah prosedur konstitusional lembaga, sebagaimana diatur UU 19/2019 tentang KPK, UU 5/2014 tentang ASN, dan PP 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
“Keputusan pemerintah melalui rapat koordinasi Pimpinan KPK, Menpan RB, Menkumham, BKN, LAN, dan KASN memang sudah tepat, memberhentikan 51 pegawai sementara 24 lainnya mendapat pendidikan wawasan kebangsaan,” ucapnya.
Berdasarkan informasi yang disampaikan KPK sebelumnya, ada sebanyak 51 pegawai mendapatkan nilai buruk dari tiga aspek asesmen TWK. Yaitu, aspek pribadi, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang Sah).
“Tentu saja, aspek terakhir TWK memiliki peran fundamental yang tak bisa ditawar, dan masalahnya, 51 pegawai dari 75 yang tak lolos TWK, buruk di aspek PUNP,” tuturnya.
Karena itu ia berkesimpulan bahwa pemberhentian 51 pegawai dan pembinaan terhadap 24 pegawai KPK lainnya sudah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak merugikan pegawai KPK dalam alih status menjadi ASN.
Bahkan katanya, frasa ‘tidak merugikan’ bukan berarti semua pegawai KPK harus dialih statuskan jadi ASN.
Tapi 51 pegawai yang tidak lolos justru masih bisa tetap bekerja hingga 1 November 2021. Termasuk, hak-hak kepegawaian mereka tidak pernah dirampas.
Karena itu, ia mengimbau publik dan masyarakat mesti hati-hati dalam membaca kisruh soal TWK KPK.
“Mestinya, masyarakat tak perlu membuat hal ini sebagai masalah besar yang justru kontraproduktif dan destruktif,” ucapnya.
(rmol/ruh/pojoksatu)