Jaksa Agung: Tuntutan Mati Koruptor untuk Beri Efek Jera
D'On, Jakarta,- Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan komitmennya dalam pemberantasan kasus korupsi dengan melakukan terobosan hukum melakukan tuntutan mati bagi terdakwa korupsi. Tuntutan mati bagi koruptor kakap itu dilakukan agar memberikan efek jera.
“Kejaksaan sangat berkomitmen dalam penegakan hukum secara konsisten dan tegas di bidang pemberantasan korupsi. Kejaksaan melakukan terobosan hukum dengan penerapan hukum hukuman mati pada para terdakwa tindak pidana korupsi,” kata Burhanuddin saat memberikan sambutan di webinar bertajuk ‘Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern’ yang disiarkan secara daring, Rabu (15/12/2021).
Burhanuddin menegaskan, tuntutan mati terhadap para koruptor bertujuan untuk menimbulkan efek jera. Pemberantasan korupsi yang dilakukan Kejagung, menurut Burhanuddin, bukan hanya pada orientasi penghukuman saja, akan tetapi juga bagaimana Kejagung dapat mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan para koruptor.
“Hal ini bertujuan menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi tersebut, tidak hanya berorientasi pada penghukuman secara semata, akan tetapi Kejaksaan juga berkomitmen untuk mengembalikan negara dari tindak pidana korupsi pada para pelaku,” ungkap Burhanuddin.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin sedang mengkaji tuntutan hukuman mati bagi koruptor. Burhanuddin berharap hakim memberikan terobosan hukum dalam memberikan hukuman mati bagi koruptor.
Hal itu disampaikan Burhanuddin dalam webinar bertajuk ‘Efektivitas Penerapan Hukuman Mati terhadap Koruptor Kelas Kakap’ yang disiarkan secara virtual melalui YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Kamis (25/11/2021).
Awalnya Jaksa Agung ST Burhanuddin berbicara tentang apakah terpidana korupsi yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup dapat dituntut lagi di kasus berbeda dengan tuntutan lebih berat, misalnya hukuman mati.
“Dalam sistem kepidanaan yang kita anut maksimal pidana penjara sementara bagi pelaku kejahatan adalah selama 20 tahun atau penjara selama seumur hidup. Pertanyaannya adalah apabila seorang koruptor telah dihukum pidana penjara seumur hidup dan kemudian ketika terpidana masih menjalani masa pemidanaan ternyata diketemukan kembali perkara korupsi yang lain yang justru perkara tersebut lebih besar, maka apakah terhadap pelaku pidana bisa diberikan hukuman yang lebih berat, yaitu hukuman mati?,” tanya Burhanuddin.
Burhanuddin menilai akan janggal apabila seorang penuntut umum menuntut rendah terhadap terpidana koruptor yang telah divonis pidana seumur hidup, padahal ditemukan kasus korupsi yang lebih besar daripada kasus sebelumnya. Burhanuddin menilai dalam kasus tersebut ia mempertanyakan apakah dapat diterapkan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati bagi koruptor.
“Adalah janggal seorang penuntut umum menuntut nol tahun dengan alasan bahwa sudah dihukum seumur hidup pada kasus yang pertama, sementara di kasus kejahatan yang kedua ternyata lebih jahat serta merugikan kerugian yang lebih besar, hanya justru kemudian akan mencederai rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat dan dapat dianggap sebagai kegagalan di dalam penuntutan bahkan kegagalan dalam penegakan hukum dengan tidak menyerap aspirasi hukum yang ada di masyarakat, mengingat masih ada hukuman yang lebih berat lagi di atas hukuman penjara di atas seumur hidup, yaitu hukuman mati yang dapat kita gunakan,” ujarnya.
Burhanuddin meyakini hakim dalam memutus suatu perkara korupsi tidak sekadar berdasarkan dakwaan jaksa semata, tetapi juga mempertimbangkan segala materi yang ada di dalam pemeriksaan dalam persidangan, serta memperhatikan nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Burhanuddin meminta hakim juga melakukan terobosan hukum dalam memutus pidana korupsi.
“Terobosan hukum berupa penjatuhan sanksi pidana mati dalam proses penuntutan saya berharap dapat ditindaklanjuti pula dengan terobosan hakim dalam memutus suatu perkara korupsi,” kata Burhanuddin.
Diketahui sebelumnya, jaksa penuntut umum melakukan tuntutan mati kepada Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dalam kasus megakorupsi PT ASABRI. Apa pertimbangan jaksa?
Sebelum membacakan tuntutan mati, jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada diri Heru Hidayat. Salah satu hal yang memberatkan adalah perbuatan Heru Hidayat disebut jaksa masuk ke kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime.
“Perbuatan Terdakwa merupakan kejahatan extraordinary crime yang artinya perilaku korupsi sangat berbahaya integritas negara dan martabat bangsa, perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah memberantas KKN, akibat yang ditimbulkan Terdakwa adalah sebesar Rp 12.643.400.946.226 (triliun) sedangkan aset Terdakwa hanya Rp 2.434.538.383.853 (triliun),” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/12/2021)
Selain itu, Heru juga merupakan terpidana seumur hidup di kasus korupsi asuransi Jiwasraya.
“Terdakwa Heru Hidayat juga merupakan terpidana seumur hidup dalam perkara korupsi pengelolaan investasi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara Rp 16.807.283.375.000 (triliun),” kata jaksa.
Terkait pertimbangan meringankan, jaksa mengatakan tidak ada hal yang meringankan. Menurut jaksa, meski ada hal meringankan itu tidak berarti apa-apa karena perbuatan Heru Hidayat yang membuat negara merugi.
“Meskipun di persidangan terungkap adanya hal-hal meringankan dalam diri Terdakwa, hal tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan Terdakwa. Oleh karena itu, hal meringankan patutlah dikesampingkan,” tegas jaksa.
Heru Hidayat diyakini jaksa bersalah melakukan korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun. Heru juga diyakini jaksa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati,” tegas jaksa.
Heru Hidayat diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.