Kejagung Resmi Bentuk Tim Penyidikan Kasus HAM Berat di Paniai
D'On, Jakarta,- Kejaksaan Agung (Kejagung) membentuk tim penyidikan untuk mengusut Kasus Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Paniai, Papua, pada 2014 lalu. Pembentukan itu tertuang dalam surat perintah penyidikan yang ditandatangani Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 3 Desember 2021.
Tim penyidik akan berisi 22 jaksa senior dan diketuai langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ali Mukartono.
"Telah menandatangani Keputusan jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai Provinsi Papua tahun 2014. Serta surat perintah penyidikan nomor: Print-79/A/JA/12/2021," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis, Jumat (3/12).
Leonard mengatakan keputusan tersebut mempertimbangkan surat dari Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 pada 27 September 2021. Komnas HAM bersurat untuk menanggapi keputusan Kejagung mengembalikan berkas hasil penyelidikan dari Komnas HAM.
Menurut Leonard, kala itu jaksa sebagai penyidik kasus melihat tidak terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status perkara tersebut menjadi penyidikan.
"Oleh karena itu perlu dilakukan penyidikan umum dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang dugaan pelanggaran HAM yang Berat guna menemukan pelakunya," tambah Leonard.
Insiden Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Dalam peristiwa itu, empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer, sementara satu orang lain tewas usai dirawat di rumah sakit beberapa bulan kemudian. Tujuh belas lainnya luka-luka dalam peristiwa tersebut.
Lima korban tewas bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).
Komnas HAM sempat menyayangkan Kejaksaan yang kerap mengembalikan berkas penyelidikan kasus tersebut. Pada Juni 2020 lalu, mereka menyebut bahwa pengusutan kasus tersebut berpotensi mandek seperti yang lain.