Harga Tembakau Naik 12 Persen, Ini Respon Para Perokok
D'On, Jakarta,- Warga DKI Jakarta Agus (61), merasa kaget harga rokok mengalami kenaikan di awal 2022. Kondisi ini tidak membuatnya mengurangi konsumsi rokok setiap hari.
Kendati menggeleng kecil, ia hanya menyebut "apa boleh buat" harga rokok lagi-lagi naik. Toh, ia menyebut konsumsi rokoknya sudah berkurang karena bertambah usia menjadi 4 batang-5 batang sehari.
Sempat mengisap rokok jenis kretek selama puluhan tahun, belakangan ini Agus beralih mengisap rokok filter yang ia akui lebih ringan kadar nikotin dan ramah kantong.
Ia mengaku satu bungkus rokok harga Rp18 ribu yang dikonsumsinya bisa bertahan selama 2-3 hari, sehingga ia menilai masih mampu menyisihkan uang untuk jajan rokok.
"Berhenti sih engga, rokok kan kayak barang ketagihan, ngerasa mau hisap aja, satu atau dua batang habis makan, habis itu ya sudah," tutur dia.
Warga DKI lain, Meisya (24) menyebut sebetulnya konsumsi rokok tidak ada hubungannya dengan produktivitas kerjanya. Hanya, rokok membantunya untuk mengatasi stress kerja.
Pekerja swasta ibu kota tersebut mengaku menyayangkan kenaikan harga yang mencapai rata-rata 12 persen di tahun ini karena menurut dia kebanyakan perokok adalah masyarakat kalangan ke bawah.
Ia menilai boleh saja harga dinaikkan untuk menekan konsumsi masyarakat, tapi tidak lantas naik dua digit. "Kalau naik engga mesti 12 persen, bisa 1-2 persen aja," katanya.
Seperti Agus, Meisya juga mengaku tak punya rencana mengurangi pembelian rokok kendati harga melonjak.
Danuri S (26) yang juga berdomosili Ibu Kota Jakarta bergeming mendengar kabar kenaikan harga rokok. Bukan hal baru lagi baginya karena sudah beberapa tahun terakhir pemerintah secara konsisten menaikkan harga rokok.
Dalam mengakalinya, dia sudah dua kali menurunkan jenis rokok konsumsi. Awalnya ia merupakan konsumen rokok kretek, namun karena harga sudah mencapai Rp30 ribuan per bungkus, Danuri memutuskan untuk mencari alternatif rokok lebih murah.
Ia kemudian beralih ke rokok filter dan tahun lalu mulai mencoba rokok buatan UMKM seharga Rp7.000 per bungkus. Arsitek freelancer tersebut mau tak mau harus kompromi dengan rasa agar kantong tidak jebol.
Namun, sejak pertengahan tahun ini ia mulai menyetop konsumsi rokok karena tuntutan ekonomi keluarga. "Berhenti bukan karena harga naik tapi memang mau nabung aja sih," kata dia.
Sementara warga Bandung, Jawa Barat Syafaat Sugiatmaja (30) berpendapat kalau kenaikan harga cukai hasil tembakau (CHT) yang pada ujungnya menaikkan harga rokok tak bakal mengurangi konsumsi rokok masyarakat. "Emang buat nambah pengasilan negara aja itu mah," tutur dia.
Kendari harga naik, karyawan swasta berdomisili di Bandung ini masih akan mengurangi konsumsi rokoknya
Syafaat bakal siap-siap menambah anggaran untuk konsumsi rokok di tahun ini, maklum ia merupakan konsumen rokok elektrik cair (vape) dan rokok batangan. Hitung-hitungan dia, sebulan ia mengeluarkan Rp120 ribu untuk vape saja, sedangkan setiap sekitar 3 hari ia merogoh Rp30 ribu untuk sebungkus rokok.
"Kalau saya kan konsumsinya gak berlebih. Kayaknya bakalan sama aja sih. Cuma jadi berat banget," tutupnya.
Seperti diketahui, harga rokok resmi naik mulai 1 Januari 2022, usai Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 12 persen di tahun ini.
Kenaikan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, Dan Tembakau Iris.
Selain rokok batangan, Sri Mulyani juga menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) terendah rokok elektrik. Kenaikan terjadi di semua jenis seperti rokok elektrik padat, rokok elektrik cair sistem terbuka, dan rokok elektrik cair sistem tertutup.