Menelisik Kasus Kolonel Priyanto: Semula Kecelakaan Sejoli, Jadi Pembunuhan Berencana
D'On, Jakarta,- Tiga anggota TNI Angkatan Darat (TNI AD) terpaksa berurusan dengan hukum. Mereka terlibat kasus kematian sejoli di Jalan Nagreg, Jawa Barat, pada akhir Desember 2021 lalu.
Kasus ini bermula saat Handi Syahputra (17) dan Salsabila (14) berboncengan naik sepeda motor. Kemudian mobil Isuzu Panther yang ditumpangi tiga anggota TNI yakni Kolonel Inf Priyanto, Kopral Dua DA, dan Kopral Dua Ad menabrak sepeda motor Handi.
Keduanya terjatuh di jalan. Ketiga anggota TNI oleh saksi mata disebut langsung mengevakuasi korban ke dalam mobil. Tanpa menunggu kepolisian tiba di lokasi. Korban dibawa dan kemudian jasad mereka ditemukan di sekitar aliran Sungai Serayu, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pada Sabtu (11/12) atau dua hari setelah kecelakaan terjadi. Jasad Handi dan Salsabila diduga sengaja dibuang.
Singkat cerita, kasus ini sudah masuk Pengadilan Militer. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memberikan atensi khusus proses hukum terhadap tiga prajurit TNI AD diduga terlibat kasus tabrakan di Nagreg, Bandung benar-benar dijalankan.
Jenderal Andika juga berujar. Otak dari kematian dua sejoli Handi dan Salsabila adalah Kolonel P. Hal itu dipastikan setelah dilakukan konfrontir terhadap tiga anggota TNI AD tersebut.
Persidangan perdana sudah dilangsungkan pada 8 Maret lalu. Oditur mendakwa Kolonel P dengan pasal berlapis karena telah membunuh dua remaja tersebut. Pembacaan dakwaan dibacakan Oditur Militer Kolonel Sus Wirdel Boy dalam sidang perdana diketuai Hakim Brigjen TNI Faridah Faisal di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Adapun pasal yang disangkakan terhadap Kolonel P yakni Pasal 340 sebagai dakwaan primer. Pasal 340 KUHP mengatur tentang hukuman pidana pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup.
Selain itu, Kolonel P juga didakwa dengan Pasal 338 KUHP, Pasal 333 KUHP, dan Pasal 181 KUHP. Adapun Pasal 338 KUHP mengatur terkait pidana pembunuhan, yang dimaknai sebagai perbuatan sengaja merampas nyawa orang lain, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Kemudian, Pasal 328 KUHP mengatur soal pidana penculikan dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Dan Pasal 333 KUHP mengatur pidana perampasan kemerdekaan orang lain dengan ancaman hukuman delapan hingga sembilan tahun penjara.
Terakhir, Pasal 181 KUHP terkait pidana menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian seseorang, yang ancaman pidananya maksimal sembilan bulan.
Mengacu dari dakwaan itu, meski awal mula dari kasus ini adalah kecelakaan. Kolonel P tidak dijerat dengan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebab saat kejadian, bukan Kolonel P yang mengemudikan mobil. Melainkan anak buahnya.
Pasal pembunuhan berencana dikenakan pada Kolonel P karena dianggap sebagai otak pembunuhan dua sejoli dengan cara membuang jasad ke sungai. Oleh sebab itu, Oditur Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy menegaskan sampai saat ini pihaknya masih berusaha untuk membuktikan dakwaan Pasal Primer 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, dengan menghadirkan sejumlah saksi di persidangan.
Menurutnya, pengenaan pasal berlapis hingga memakai pasal pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup dipakai berdasarkan runutan kejadian yang telah tersusun dalam dakwaan untuk nanti ditentukan majelis hakim.
"Karena yang tadi pun yang dua kita hadirkan, itu nanti bagaimana hakim ketua nanti yang menentukan," ujarnya.
"Mendukung dari dakwaan. Dalam kenyataannya kan kalau untuk pasal yang pertamanya pasal pembunuhan berencana sama pembunuhan kan mereka bertiga dari dalam mobil itu," kata Wirdel saat ditemui di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (24/3).
Sementara terhadap Koptu Ahmad Sholeh, Kopda Andreas Dwi Atmoko yang merupakan anak buah Priyanto. Di dalam dakwaan dijabarkan sebagai pihak yang mengendarai mobil ketika menabrak Handi dan Salsabila.
Oleh karena itu mereka diadili terpisah pada dua perkara, yakni kecelakaan lalu lintas di Pengadilan Militer Bandung dan untuk perkara pembuangan mayat diadili di Pengadilan Militer Yogyakarta. Keduanya juga dinilai hanya turut terlibat dan menurut perintah untuk membuang jasad Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu, Jawa Tengah.
"Kan kemarin sudah kita panggil, dan tidak menutup kemungkinan misalnya kalau masih ini (butuhkan keterangan) nanti diperiksa lagi yang berdua itu (Koptu Ahmad Sholeh, Kopda Andreas Dwi Atmoko). Jadi nggak menutup kemungkinan," kata Wirdel.
Selain itu, Oditurat juga bakal menghadirkan ahli forensik untuk membuktikan dakwaan terkait kondisi Handi yang diketahui masih dalam kondisi hidup sebelum akhirnya dibuang ke sungai. Itu pula salah satu pertimbangan menerapkan pasal pembunuhan berencana sebagaimana pokok perkara.
"Sejauh ini sih ahli forensik satu orang pak Zaenuri, itu kan cuma kita nantinya ahli forensik itu perlunya dihadirkan apakah memang pada waktu dibuang itu sudah meninggal apa belum. Jadi yang memastikan, jadi rangkaian pertanyaan akan berputar sekitar di sana," katanya.
Atas kasus ini, Priyanto oleh Oditur Militer didakwa lebih berat dari kecelakaan lalu lintas, karena saat Handi dan Salsabila ditabrak dia bukan sopir mobil namun yang diduga memerintahkan. Sehingga didakwa pembunuhan berencana hingga membuang mayat dalam bentuk dakwaan gabungan.
(mdk/lia)
#OknumTNITabrakLari #TNI #Militer #TabrakLari #KolonelPriyanto