Nelangsa Rusin, Orang Tua Guru Ngaji: Dua Hari Kayuh Sepeda Cari Keadilan
D'On, Bekasi (Jabar),- Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Rusin (47). Panas terik menyengat persis di ubun kepala. Siang bolong itu, 8 Desember 2021, Rusin mengayuh sepeda dari Bekasi ke Jakarta mencari pertolongan demi menyelamatkan anaknya, Muhammad Fikry (20), yang ditahan karena dituduh melakukan begal di daerah Bekasi.
Hanya sisa tenaga yang dimiliki Rusin saat itu. Beribu kali dia mengayuhkan kaki di pedal sepeda dengan harapan bisa mengadu ke wakil rakyat di parlemen DPR, serta mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian.
Rusin kehabisan uang dan tak tahu lagi ke mana harus mengadu. Sudah berbulan-bulan anaknya ditahan polisi. Sepanjang waktu wajahnya tampak gelisah. Ia yakin betul tuduhan polisi keliru dan mengada-ada.
Selama itu pula Rusin tak tinggal diam. Dia berusaha keras agar anaknya dilepaskan karena memang tak pernah melakukan begal. Fikry berada di musala saat begal terjadi pada malam kejadian begal pada 24 Juli 2021 lalu.
"Benar bahwa anak-anak kami terutama anak saya Muhammad Fikry ada di musala, jelas terekam dan motor saya pun ada di depan rumah terekam kamera CCTV. (Berdasarkan itu) kita melakukan perlawanan pada pihak kepolisian," kata Rusin beberapa waktu lalu.
Rusin, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu dan membuka warung kelontong, menjelaskan bahwa anaknya bernama Fikry ditangkap secara paksa pada 28 Juli 2021. Penangkapan dilakukan di warung depan rumahnya.
Fikry jadi tersangka kasus pembegalan lalu dibawa ke persidangan sebagai terdakwa. Saat proses hukum masih ditangani Polsek Tambelang, Rusin patungan Rp10 juta untuk membayar pengacara.
Patungan dilakukan bersama dengan orang tua dari Abdul Rohman (20), Randi Apriyanto (19), dan Muhammad Rizki (21) yang juga dituduh melakukan begal.
Namun, pengacara tersebut tidak menjalani tugasnya. Pengacara itu justru mengobrol dengan polisi saat polisi menyusun berita acara pemeriksaan (BAP). Bukan mendampingi Fikry dan kawan-kawan.
"Ada kuasa hukum, cuma menurut pengakuan si Fikry kuasa hukum ini enggak ngedampingin, dia ngobrol sama Kanit (Reskrim) nya," tutur Rusin.
Melihat ada gelagat pengacara yang tidak beres, keluarga para terdakwa mencabut kuasa mereka.
Praperadilan Kandas
Rusin memutuskan untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Cikarang. Dia merasa ada kecacatan prosedur dalam proses hukum yang dilakukan Polsek Tambelang terhadap anaknya.
Saat penangkapan, polisi polisi tidak menunjukkan surat penangkapan, surat tugas, dan surat perintah penangkapan. Mereka juga menduga polisi melakukan intimidasi dan tekanan fisik agar empat remaja itu mengaku melakukan begal.
Selain itu, mereka juga menilai penetapan tersangka itu cacat hukum karena tidak disertai dua alat bukti yang cukup terkait pasal yang disangkakan.
Bahkan, salah satu barang bukti polisi adalah sepeda motor milik Rusin. Maka dari itu, Rusin yakin ada kecacatan prosedur. Bagaimana mungkin Fikry menjadi pelaku begal dengan barang bukti milik ayahnya sendiri.
Keluarga menyertakan bukti CCTV yang merekam penangkapan Fikry. Mereka juga mengajukan sejumlah saksi yang menyaksikan empat remaja itu dianiaya polisi.
Namun, hakim Pengadilan Negeri Cikarang menolak permohonan praperadilan keluarga Fikry. Hakim juga menolak eksepsi dari pihak termohon, yakni Polsek Tambelang.
Dalam berkas putusan praperadilan, pihak Polsek Tambelang mengklaim penetapan tersangka sah dan memberikan surat pemberitahuan penahanan dengan dilampirkan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan. Polisi juga membantah telah melakukan tekanan fisik.
"Tapi ya tetap hasilnya seperti itu kita nggak dimenangkan, tapi eksepsinya termohon polisi ditolak, permohonan praperadilan kita pun ditolak," kata Rusin.
Melihat keganjilan putusan ini, keluarga para terdakwa memutuskan melaporkan hakim tersebut ke Komisi Yudisial.
Lapor Propam Polda Metro Jaya
Mendapati anaknya ditangkap dan motornya disita tanpa surat, Rusin kemudian melaporkan tindakan Polsek Tambelang ke Propam Polda Metro Jaya pada 17 September 2021.
Menurut Rusin, pihak Propam masih menyelidiki kasus tersebut dan masih dalam tahap pemanggilan sejumlah anggota kepolisian.
"Belum keluar hasil, masih diproses karena belum semuanya dipanggil penyidik," kata Rusin.
Selain Rusin, pemuda setempat, Sahroji juga meminta perlindungan hukum terhadap 5 orang yang ditangkap dan kemudian dibebaskan. Mereka pun melaporkan dugaan kekerasan yang dialami Fikry dkk di area Gedung Cabang Telkom Tambelang.
"Kita laporkan arogansi kepolisian," kata Sahroji.
Sejumlah warga yang menyaksikan empat remaja itu telah dimintai keterangan. Propam juga memeriksa Kanit Reskrim Polsek Tambelang, Ipda Haryono.
Terpisah, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan mengklaim Propam dan Kompolnas tidak menemukan kejanggalan serta kekerasan dalam kasus ini.
"Propam Polda Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan dan juga penyelidikan dengan hasil tidak ditemukan dugaan salah tangkap dan rekayasa tersebut," kata Endra Zulpan beberapa hari berselang sebelum Rusin mendatangi Propam.
Bersepeda ke DPR dan Komnas HAM
Terhimpit keadaan ekonomi dan nasib anaknya, Rusin memutuskan pergi ke Jakarta guna mencari bantuan. Pria paruh baya itu mengayuh sepeda bututnya selama dua hari.
Ia berangkat pagi 8 Desember 2021 lalu. Hari itu, kata Rusin, cuaca sangat panas. Tangannya kotor karena rantai sepedanya berkali-kali lepas. Sekitar pukul 13.00 WIB Rusin tiba DPR RI. Namun, petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) menahannya.
"Mau masuk enggak boleh karena memang pakaian saya dekil atau karena saya mengayuh sepeda. Tangan saya pun kotor karena rantai sepeda sering copot," ujar Rusin.
Setelah tertahan hampir tiga jam, Rusin akhirnya dipanggil salah satu staf Pimpinan Komisi III, Taufik Basari. Ia menjelaskan dugaan salah tangkap yang menimpa anaknya.
Ia juga menyerahkan berkas perkara anaknya. Pernyataannya pun direkam dalam sebuah video. Namun, kata Rusin, hingga saat ini belum ada tindakan dari Komisi III.
Esok harinya, Rusin mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Rusin membuat pengaduan dan menyerahkan sejumlah berkas kepada salah satu staf pada 8 Desember.
Rusin pun tak menyia-nyiakan waktunya selama berada di Jakarta. Dia mengunjungi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Kini ia dibantu pengacara publik dari LBH Jakarta untuk mendampingi Fikry menjalani sidang di Pengadilan Negeri Cikarang.
Menanggung Utang, Menanggung Malu
Perjuangan keluarga empat remaja yang dituding melakukan begal harus ditanggung dengan biaya yang mahal. Harta terkuras. Mereka juga utang sana-sini.
Rusin mengaku sudah menjual sebagian harta bendanya. Ia juga mengutang belasan juta dengan jaminan sebuah rumah kontrakan.
"Dagangan warung saya jadi sepi, uangnya kan buat kita muter kemana-mana, enggak bisa muter buat usaha. Bengkel juga ala kadarnya aja sekarang ini," kata Rusin.
Hal serupa juga dialami keluarga lainnya. Orang tua Rizky, misalnya, yang bekerja sebagai satpam kini harus menanggung utang.
Ibu Rizky, Pustika Dewi mengaku keluarganya begitu terpukul atas tudingan begal. Ia harus mencari pinjaman uang kesana kemari. Tidak hanya itu, mereka juga menanggung malu karena identitas dan foto mereka disebarkan di media massa dan sosial sebagai pelaku begal.
"Malu banget. Kok tahu-tahu disebarin di Facebook nama anak itu berempat. Sedangkan mereka nggak ngelakuin tapi tahu-tahu liat itu sudah di Facebook, muka dia disebarin, nama dia disebarin," kata Dewi sedih dan geram.
(iam/bmw/gil)
#OknumPolisiAniayaGuruNgaji #GuruNgaji #Kekerasan