MK Tolak Pernikahan Beda Agama, Ini Alasannya!
D'On, Jakarta,- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait uji materi atau judical review mengenai pernikahan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan. Menurut MK, undang-undang hanya mengatur administrasi pernikahan, sedangkan sah tidaknya berdasarkan hukum agama masing-masing.
Uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) telah disidangkan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Selasa (31/1/2023).
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, bersama delapan hakim anggota.
Dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi tersebut, majelis hakim menolak gugatan secara keseluruhan terkait uji materi dalam UU Perkawinan.
"Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan. Satu mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Dua, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Tiga, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan undang-undang dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan seterusnya amar putusan mengadili menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Anwar Usman.
Keputusan majelis MK diambil setelah meninjau berbagai pertimbangan. Salah satunya pertimbangan dari ahli-ahli presiden hingga lembaga agama.
MK menegaskan bahwa konstitusi mengatur mengenai administrasi dalam perkawinan. Sementara, perihal sahnya pernikahan dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya masing-masing. Misalnya, agama Islam dan Kristen secara terang-terangan melarang adanya menikah beda agama.
Dalam konstitusi, kaidah pasal-pasal UU Perkawinan pun telah menegaskan kebebasan dalam beragama sebagaimana yang tertuang ketentuan dalam Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UU Dasar 1945.
"Sesungguhnya mahkamah sudah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan," kata hakim anggota MK, Enny Nurbaningsih.
"Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga organisasi keagamaan tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian, dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai semangat pasal 28D Ayat 1 UUD 1945," ucap Enny.
Sebelumnya, gugatan uji materi mengenai nikah beda agama dalam UU Perkawinan itu diajukan seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua bernama E Ramos Petage. Gugatan ini diajukan lantaran Ramos yang beragama Katolik mengaku gagal menikah karena perbedaan agama dengan pasangannya yang beragama Islam akibat pemberlakuan aturan dalam UU Perkawinan.
Menurutnya, UU Perkawinan tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.
Adapun salah satu pasal yang diuji materi oleh Ramos adalah Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan bunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
Ramos membeberkan beberapa alasan permohonannya. Salah satunya terkait ambiguitas keabsahan perkawinan yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) itu.
Dia menilai, aturan ini membuat perkawinan bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UU Dasar 1945 serta tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
Dalam petitum, Ramos meminta MK memeriksa, mengadili dan membuat keputusan, semua permohonannya
#PernikahanBedaAgama #MahkamahKonstitusi #nasional