Insting Politik Megawati
Dirgantaraonline.co.id,- Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDIP, seperti membiarkan begitu saja para pembenci dan perundung yang merisak dirinya tanpa ampun di media sosial. Hal ini terkait dengan sikap politiknya yang tak kunjung mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, bahkan putri Bung Karno itu memandang sebelah mata Ganjar dalam setiap kesempatan, padahal kader PDIP yang juga gubernur Jawa Tengah itu selalu merajai elektabilitas survei sejumlah lembaga.
Publik menduga, Megawati ingin anak biologisnya yang dimajukan, yaitu Puan Maharani. Namun apa daya, elektabilitas Puan tak kunjung naik, bahkan stagnan, padahal berbagai ikhtiar politik telah dilakukan oleh tim pemenangannya. Sedang Ganjar, sebagaimana Joko Widodo, di mata Megawati hanyalah sekadar anak ideologis. Megawati ingin bukan petugas partai yang menjadi Presiden, melainkan pewaris partai.
Pewaris partai? Ya, karena besar kemungkinan setelah Megawati lelah karena faktor usia, dalam kongres PDIP ke depan, pergantian kepemimpinan di PDIP dari Megawati ke Puan bakal menjadi kenyataan. Ini kalau Prananda, anak Megawati yang lainnya, cukup bermain di belakang layar seperti selama ini dilakukannya.
Maka, pada Kongres PDIP kelak tidak usah repot-repot voting dengan memanggungkan "calon ketua umum hiasan", langsung aklamasi saja sebagaimana Susilo Bambang Yudhoyono mewariskan Demokrat kepada anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono. Bukankah demokrasi yang pas sesuai konstitusi adalah musyawarah-mufakat?
Kembali ke Megawati dengan sikap politiknya. Tepat di Hari Kartini 21 April 2023, Megawati mengenakan kopiah hitam di atas kepala rambut putih Ganjar Pranowo sang pemilik elektabilitas tertinggi di antara capres kuat lainnya; Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Seolah-oloh Megawati menjawab keraguan publik yang masih menganggap pilihannya cenderung ke Puan dengan menetapkan Ganjar sebagai capres dari PDIP. Rupanya pengumuman di Hari Kartini dan narasi perempuan di awal pidatonya sekadar "twist plot" saja. Ada efek dramatis di sana dan Megawati paham sisi emosional publik.
Mari kita letakkan penunjukkan Ganjar selaku capres dari PDIP dalam konstelasi politik nasional jelang Pemilu Legislatif dan Pilpres. Apakah koalisi yang terbentuk nanti menjadi tiga sehingga terdapat tiga pasangan capres-cawapres?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sedikit membahas "gesture" Jokowi yang hadir semeja dengan Puan, Megawati dan Ganjar saat Sekjen Hasto Kristiyanto memberi kesempatan Jokowi berbicara. Selain "berwajah masam" (tanpa senyum), Jokowi hanya selintas menyebut nama Ganjar Pranowo, apalagi tak ada ucapan mendukung Ganjar secara terang-terangan.
Besar kemungkinan Jokowi masih dongkol dengan pernyataan Ganjar yang setali tiga uang dengan I Wayan Koster yang menolak kehadiran tim sepakbola Israel di Indonesia. Penolakan ini berakibat pada pembatalan Indonesia oleh FIFA selaku tuan rumah Piala Dunia U20 yang telah dipersiapkan pemerintah Jokowi secara matang.
Muka "masam" Jokowi karena mungkin teringat "nasib" Prabowo Subianto yang selama ini terus dipromosikannya. Bagaimanapun Prabowo selaku menteri pertahanan adalah "all the president men" terdekatnya dibanding Ganjar yang "hanya" selaku gubernur, meski Prabowo dari partai di luar PDIP.
Jujur, pernyataan Ganjar tentang penolakan tim Israel sungguh mengecewakan hati Jokowi. Beberapa pernyataan menunjukkan kekecewaan itu meski tidak secara terang-terangan. Tetapi bagi PDIP, penolakan kahadiran tim bal-balanan Israel akan mendapat simpatik Islam garis keras yang selalu membela Palestina.
Secara realitas politik, penolakan kehadiran tim Israel seharusnya disuarakan Anies Baswedan yang selama ini justru mendapat dukungan garis keras itu. Tetapi Anies diam karena mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di sini terlihat kematangan PDIP dalam memainkan isu Israel untuk menaikkan elektabilitas partainya.
Dengan ditunjuknya Ganjar, jelas sudah sedikitnya ada tiga pasangan capres-cawapres. Adanya tiga pasang inilah yang tidak dikehendaki Presiden Joko Widodo yang diam-diam telah bertindak selaku "kingmaker" yang berusaha "mempersatukan" Ganjar Pranowo dengan Prabowo Subianto. Intinya, Prabowo-Pranowo tetap ingin menjadi "all the president men" baginya melawan capres "antitesa"-nya, Anies Baswedan.
Jokowi berkepentingan, siapapun yang menggantikannya nanti dijamin bakal meneruskan program-programnya yang belum terselesaikan sepanjang dua periode kepemimpinannya.
Dalam konteks koalisi, menjadi pertanyaan; apakah PDIP yang telah memenuhi syarat Presidential Threshold 20 persen akan berjalan sendiri tanpa teman atau tetap harus berkoalisi? Bagi PDIP, berkaca kepada penunjukan Ma'ruf Amin di saat-saat kritis, tentu tidak perlu mempertimbangkan cawapres dari koalisi partai, melainkan lebih ke faktor "vote getter" yang dimiliki Ma'ruf sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Sepertinya penunjukan cawapres buat Ganjar pun akan menempuh pola yang sama.
Dengan demikian, jalan sendiri pun rasanya bisa dilakukan PDIP. Lagi pula, bergabung ke Koalisi Besar risih juga kalau meminta jatah capres ternyata anggota koalisi menolak, maka pencapresan Ganjar selaku kadernya sendiri sebagai jalan keluar agar PDIP tetap berada di titik sentral. Hanya saja untuk amannya, PDIP tetap harus menggandeng kawan seiring. Bisa saja kawan seiring yang dimaksud adalah Koalisi Indonesia Bersatu (Golkar, PAN, PPP), sehingga Koalisi Besar yang digagas Jokowi menjadi kenyataan.
Koalisi Besar juga menyasar Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang diinisiasi oleh Gerindra dan PKB. Tetapi dengan penatapan Ganjar selaku capres PDIP, maka Prabowo tetap bisa berjalan bersama PKB di perahu KKIR. Bahkan mungkin karena masih menyimpan kekecewaannya, Jokowi tetap menginisiasi pembentukan Koalisi Besar, yaitu KKIR plus KIB minus PDIP, meski ini tipis kemungkinan. Yang mungkin terjadi adalah Jokowi membujuk Prabowo agar rela menjadi cawapres bagi Ganjar di Koalisi Besar itu.
Yang jelas, dengan diumumkannya Ganjar sebagai capres PDIP akan semakin serulah "rollercoaster" politik negeri ini. Segalanya masih memungkinkan dan terbuka, khususnya terkait kombinasi pasangan capres-cawapres di masing-masing koalisi.
Penunjukan Ganjar selaku bakal capres juga mencerminkan elektabilitas capres berbagi lembaga survei itu mendekati kenyataan, bahwa capres tidak lepas dari pemilik tiga besar elektabilitas tertinggi, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Sekarang tinggal menanti langkah Jokowi selanjutnya saja.
Penulis: Pepih Nugraha
#Politik #Nasional #Opini